Tantangan dari Langit: Refleksi Puitis Surah Al-Baqarah Ayat 23
Agama | 2025-11-03 05:55:41Oleh Muliadi Saleh
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَاِ نْ کُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَا دْعُوْا شُهَدَآءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
“Dan jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah yang semisal dengannya, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Ayat ini datang seperti petir di langit akal manusia. Ia bukan sekadar kalimat, melainkan sebuah tantangan ilahiah yang tak pernah lekang dimakan zaman: menguji kesombongan manusia dengan bahasa, logika, dan keindahan yang melampaui batas pikiran. Ayat ini menatap manusia yang merasa pandai, yang mengira dirinya mampu menandingi firman Tuhan dengan pena dan pikiran. Tapi lihatlah—selama empat belas abad, tidak satu pun mampu menjawab tantangan itu.
Surah Al-Baqarah ayat 23 bukan hanya ajakan debat, melainkan penegasan eksistensi wahyu sebagai kebenaran yang datang dari sumber yang mutlak. Dalam ayat sebelumnya (ayat 22), Allah menampilkan bukti kosmik: bumi sebagai hamparan, langit sebagai atap, air sebagai rahmat. Lalu di ayat ini, bukti berpindah dari alam ke kalam. Dari semesta yang terlihat, menuju firman yang terdengar.
Para mufasir besar seperti Ibn Katsir menafsirkan ayat ini sebagai tantangan terbuka terhadap kaum Quraisy dan seluruh manusia yang meragukan kenabian Muhammad ﷺ. Bukan hanya untuk meniru bunyi, tapi menandingi makna, keindahan, dan pengaruh yang dibawa oleh Al-Qur’an terhadap hati manusia. Al-Razi menambahkan bahwa ayat ini adalah bukti rasional kenabian, karena jika firman itu bukan dari Allah, pasti bisa dibuat yang serupa. Tapi sejarah membuktikan: tidak ada. Bahkan para ahli bahasa Arab pada masa itu, yang hidup dalam keemasan sastra, hanya bisa terdiam.
Di sinilah letak keajaiban: Al-Qur’an bukan hanya teks, melainkan napas Tuhan yang menembus sejarah. Ia berbicara dengan jiwa yang mendengar, bukan hanya telinga yang membaca.
Sufi besar Jalaluddin Rumi pernah berkata,
“Al-Qur’an adalah cinta yang ditulis dengan huruf-huruf cahaya. Ia datang dari samudra keheningan, menuju gelombang kesadaran manusia.”
Sedangkan Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin, bahwa wahyu adalah cermin jiwa: semakin bersih hati seseorang, semakin jelas pantulan maknanya. Maka ketika seseorang membaca Al-Qur’an, sejatinya ia sedang membaca dirinya sendiri.
Hari ini, di tengah zaman yang bising oleh kata-kata, ayat ini kembali menegur kita. Kita hidup di era ketika manusia bisa menulis dengan kecerdasan buatan, mencipta puisi dengan algoritma, dan meniru suara dengan mesin. Namun, tak satu pun mampu menandingi getaran makna satu ayat Al-Qur’an. Karena ayat bukan sekadar teks — ia ruh yang diturunkan.
Refleksi ini membawa kita pada pertanyaan: Bagaimana sikap kita terhadap ayat tersebut saat ini? Pertama, jangan sekadar membaca Al-Qur’an dengan mata, tapi dengan hati. Ia bukan bahan perdebatan, tapi sumber pencerahan. Kedua, pelajari bahasanya, pahami kandungannya, dan biarkan ia membimbing cara berpikir dan bertindak. Tantangan Allah bukan untuk menyaingi, tetapi mengakui bahwa tidak ada kalam yang sebanding dengan kalam-Nya. Ketiga, jawablah tantangan itu bukan dengan menulis tandingan, melainkan dengan menulis kehidupan yang berakhlak Qur’ani.
Ketika kita jujur, amanah, adil, berkasih sayang, maka kita sejatinya sedang menjawab ayat 23 dengan tindakan, bukan kata. Ketika kita menolak hoaks, menghindari dusta, dan menjaga lidah, maka kita sedang membenarkan wahyu dengan amal. Dan ketika kita menyerahkan akal, ego, dan kehendak pada petunjuk-Nya, maka kita sedang berkata:
“Kami tak mampu menandingi firman-Mu, tapi kami berusaha hidup di dalamnya.”
Al-Qur’an tidak meminta kita menjadi penantang, tapi penyaksi. Ia mengundang manusia untuk menundukkan kesombongan dan menegakkan kebenaran. Ia bukan kitab yang ingin dipertandingkan, tapi kitab yang ingin menghidupkan.
Maka, di tengah dunia yang kehilangan makna, Surah Al-Baqarah ayat 23 datang sebagai tamparan lembut dari langit: Bahwa kebenaran bukan harus kita ciptakan, melainkan kita hayati. Bahwa keajaiban bukan di tangan manusia, tetapi di hati yang tunduk kepada Tuhannya.
Dan mungkin, di setiap malam ketika kita membuka mushaf dan membaca satu ayat dengan penuh takzim, itulah saat kita sedang membuktikan keajaiban yang dijanjikan Tuhan. Tidak dengan menandingi-Nya, tetapi dengan menyaksikan kemahakuasaan-Nya dalam diri kita sendiri.
— Muliadi Saleh, esais reflektif dan Direktur Eksekutif SPASIAL
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
