Kontroversi Trans7 dan Pesantren: Antara Kritik, Tradisi, dan Kekuasaan Simbolik
Agama | 2025-10-21 11:09:55Ditulis oleh Ruslan Sudrajat; Mahasiswa Magister Sosiologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Antara Kritik dan Kekuasaan Simbolik: Membaca Ulang Kontroversi Trans7 dan Dunia Pesantren
Beberapa hari terakhir, publik kembali dihadapkan pada perdebatan lama yang tak kunjung selesai: relasi antara media dan lembaga keagamaan. Kasus terbaru melibatkan salah satu program di Trans7 yang dianggap melecehkan kehidupan pesantren. Tayangan tersebut menyoroti praktik keseharian di sebagian pondok — dari cara santri berinteraksi dengan kiai, bentuk penghormatan yang sangat hierarkis, hingga rutinitas fisik seperti memasak, bertani, atau membersihkan lingkungan pesantren. Sebagian masyarakat menilai kritik itu sebagai bentuk penghinaan terhadap tradisi keagamaan, sementara yang lain justru menganggapnya sebagai cermin dari realitas sosial yang memang perlu dikoreksi.Di tengah riuh tudingan dan pembelaan itu, kita lupa bahwa yang sedang dipertarungkan bukan sekadar narasi media versus dunia pesantren, melainkan soal siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran sosial dan moral dalam masyarakat. Media merasa berhak mengkritik dengan dalih kebebasan informasi, sementara pesantren merasa berhak mempertahankan martabat tradisinya sebagai lembaga yang telah berabad-abad membentuk karakter bangsa. Di sinilah konflik simbolik itu bermula: antara kekuasaan wacana modern yang diwakili media dan kekuasaan spiritual yang dipegang oleh pesantren.
Budaya Feodal dan Kekuasaan yang Dilanggengkan
Kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian pesantren memang masih mempertahankan bentuk relasi sosial yang bersifat feodalistik — suatu pola hubungan di mana otoritas kiai begitu besar dan tak jarang menempatkan santri dalam posisi tunduk tanpa ruang dialog. Misalnya, ketika santri harus jongkok saat menerima makanan dari pengurus, menundukkan kepala di hadapan kiai, atau bahkan menerima makanan dengan cara dilempar, semua itu kerap dibingkai dalam istilah “adab” atau “berkah”.Dalam kerangka sosiologi budaya, relasi seperti ini membentuk habitus kepatuhan — seperangkat disposisi sosial yang ditanamkan melalui rutinitas dan simbol-simbol penghormatan. Habitus itu menormalisasi ketimpangan posisi antara kiai dan santri, bukan hanya dalam hubungan sosial, tapi juga dalam ranah makna. Kepatuhan kemudian dianggap sebagai jalan menuju keberkahan, dan segala bentuk kritik terhadap struktur itu sering kali dimaknai sebagai tindakan melawan nilai-nilai suci.Namun, jika kita tarik lebih dalam, pola relasi ini tidak semata hasil pilihan personal, melainkan bagian dari kekuasaan simbolik yang bekerja halus. Kiai bukan sekadar pemimpin spiritual, melainkan juga pemegang otoritas simbol atas apa yang disebut “ilmu”, “berkah”, dan “ketaatan”. Dengan cara ini, relasi kuasa tidak selalu memaksa lewat kekerasan fisik, tapi melalui legitimasi budaya yang sudah diinternalisasi dalam kesadaran kolektif santri. Inilah bentuk kekuasaan yang sulit digugat, karena ia hidup dalam bahasa, ritual, dan kepercayaan.
Kritik Media dan Logika Industri
Di sisi lain, kita juga perlu berhati-hati membaca niat media dalam menyoroti realitas pesantren. Media modern bekerja dalam logika industri: mereka tidak hanya memproduksi informasi, tetapi juga mengonstruksi realitas sosial agar menarik perhatian khalayak. Kritik terhadap pesantren mungkin dimaksudkan sebagai upaya pencerahan, tetapi dalam sistem kapitalisme media, kritik itu juga berfungsi sebagai komoditas — sesuatu yang dijual agar menaikkan rating, meningkatkan trafik, dan memperluas jangkauan.Dalam pandangan teori kritis, industri media kerap mereproduksi bentuk baru dari dominasi kultural, di mana kesadaran publik diarahkan untuk mengonsumsi narasi tertentu seolah-olah itu adalah kebenaran objektif. Maka, ketika Trans7 menampilkan kehidupan pesantren dalam bingkai yang “aneh” atau “tidak modern”, ia sesungguhnya sedang memperkuat dikotomi antara dunia rasional modern dan dunia tradisional yang dianggap tertinggal. Ini bukan sekadar soal representasi, melainkan bentuk lain dari hegemoni kultural — ketika cara pandang modernitas menjadi ukuran tunggal bagi kemajuan.Dengan kata lain, media mengklaim posisi sebagai pembawa pencerahan, tetapi tanpa disadari turut melanggengkan ideologi kemajuan yang elitis: bahwa yang modern itu superior, sementara yang tradisional harus dikritik, disesuaikan, atau ditinggalkan. Padahal, tidak semua praktik pesantren bisa disamakan, dan banyak di antaranya yang telah bertransformasi menjadi ruang pembelajaran yang progresif, egaliter, dan berbasis partisipasi.
Dialektika Tradisi dan Kritik
Persoalan ini sesungguhnya bukan sekadar salah siapa, tapi bagaimana kita memahami dinamika antara tradisi dan modernitas secara lebih dialektis. Dunia pesantren tidak bisa dilihat semata sebagai benteng konservatisme, begitu pula media tidak bisa dibiarkan mengklaim posisi tunggal sebagai suara rasionalitas. Yang dibutuhkan adalah refleksi bersama, bukan saling tuding.Tradisi, sebagaimana dikatakan oleh para pemikir kritis, tidak harus dihapuskan demi modernitas, tetapi ditransformasikan agar relevan dengan kesadaran baru. Dalam konteks pesantren, transformasi itu berarti membuka ruang dialog antara kiai dan santri, menegaskan kembali makna “berkah” bukan sebagai legitimasi ketundukan, tetapi sebagai penghargaan terhadap nilai kemanusiaan dan ilmu. “Adab” tidak harus diwujudkan dalam bentuk penghinaan simbolik, tetapi dalam sikap saling menghormati.Sementara itu, media juga harus belajar menempatkan diri bukan sebagai hakim moral, melainkan fasilitator dialog publik. Kritik terhadap institusi sosial harus dilakukan dengan empati dan pemahaman konteks kultural. Sebuah tayangan yang menyoroti praktik feodal di pesantren semestinya dilengkapi dengan pemahaman historis dan sosiologis — mengapa tradisi itu lahir, bagaimana fungsinya dalam menjaga tatanan sosial, dan sejauh mana ia masih relevan dalam kehidupan modern. Tanpa pemahaman itu, kritik mudah berubah menjadi cemoohan, dan ruang publik kehilangan kedalaman refleksinya.
Menuju Kesadaran Emansipatoris
Konflik antara Trans7 dan sebagian kalangan pesantren seharusnya menjadi momentum untuk membangun kesadaran emansipatoris — kesadaran yang membebaskan semua pihak dari dominasi, baik dominasi simbolik di dalam pesantren, maupun dominasi kultural oleh media. Pesantren perlu merefleksikan ulang struktur internalnya, apakah nilai-nilai ketaatan yang diajarkan benar-benar menumbuhkan kemanusiaan atau justru mematikan daya kritis santri. Sementara media, perlu menyadari bahwa kekuasaan mereka dalam membentuk opini publik adalah bentuk lain dari tanggung jawab sosial yang harus dijaga dengan kebijaksanaan.Emansipasi bukan berarti menghapus tradisi, melainkan membebaskannya dari bentuk-bentuk kekuasaan yang menindas. Pesantren memiliki potensi besar sebagai ruang pembentukan karakter dan moralitas publik, tetapi potensi itu hanya akan tumbuh jika ia bersedia membuka diri terhadap kritik yang konstruktif. Sebaliknya, media harus belajar menulis dengan sensitivitas budaya, menyadari bahwa realitas sosial Indonesia tidak bisa dibaca dengan kacamata tunggal modernitas Barat.
Belajar Menjadi Reflektif
Kritik terhadap pesantren tidak salah, begitu pula pembelaan terhadap nilai-nilai adab dan keberkahan tidak sepenuhnya keliru. Yang bermasalah adalah ketika masing-masing pihak merasa memiliki kebenaran absolut dan menutup ruang refleksi. Dalam masyarakat yang sehat, kritik adalah bagian dari kasih sayang sosial — bukan penghinaan, melainkan ajakan untuk tumbuh bersama.Sebagaimana ditegaskan oleh tradisi pemikiran kritis, tugas intelektual bukan hanya mengungkap realitas, tetapi juga membebaskan manusia dari belenggu yang membuatnya tidak sadar sedang diperintah oleh simbol dan struktur. Pesantren dan media sama-sama berada dalam arus besar modernitas yang menuntut refleksi terus-menerus. Jika keduanya mampu saling belajar, maka yang lahir bukan pertentangan, melainkan kebijaksanaan baru tentang bagaimana menjadi manusia yang berpikir, beriman, dan berbudaya secara utuh.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
