Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ana Fras

Poe Ibu, Gotong Royong atau Cuci Tangan Negara?

Kebijakan | 2025-10-21 00:56:52
gambar: internet

Surat edaran Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tentang gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) terdengar manis di telinga publik. Hanya seribu rupiah sehari, seperti angka kecil, kata mereka, tapi bisa membantu pendidikan dan kesehatan darurat warga. Semangatnya “silih asah, silih asih, silih asuh”. Indah, bukan?

Namun di balik narasi gotong royong itu, ada aroma lain yang tercium. Ketika negara mengajak rakyatnya patungan demi menambal lubang kebijakan sosial, itu bukan tanda solidaritas, tapi tanda kegagalan. Rakyat bukan lumbung dana darurat negara. Mereka justru pihak yang semestinya dilindungi dari konsekuensi buruk pengelolaan ekonomi yang tak adil.

Program Poe Ibu menunjukkan wajah klasik dari pemerintahan populis yang gemar mengangkat simbol budaya untuk menutupi luka struktural. Padahal, di provinsi yang sama, 3,6 juta orang hidup dalam kemiskinan. Seribu rupiah dari dompet rakyat miskin mungkin tampak ringan, tapi bagi mereka yang saban hari menghitung harga beras, angka itu bisa jadi ironi yang pahit.

Gotong royong dalam masyarakat memang mulia, tapi ia berhenti menjadi kebajikan ketika diubah menjadi instrumen untuk menutupi absennya negara. Rakyat bukan badan amal pemerintah. Dan ketika dana yang terkumpul dikelola oleh struktur birokrasi yang dikenal rawan korupsi, kekhawatiran publik pun bukan tanpa alasan. Kita tentu tidak menolak gotong royong, tapi gotong royong seharusnya tumbuh dari nurani warga, bukan diarahkan lewat surat edaran. Apalagi ketika pengelolaannya melewati jalur birokrasi yang selama ini sulit steril dari kepentingan.

Di negeri dengan lebih dari 1.600 kasus korupsi dalam dua dekade terakhir, ajakan seribu sehari bisa saja berubah menjadi celah baru, bukan berkah baru. imbauan “sumbang seribu sehari” terdengar seperti lelucon di tengah bencana moral. Kita hidup dalam sistem yang begitu lihai menjadikan moralitas rakyat sebagai bumper dari kebangkrutan ideologi.

Di sini letak paradoksnya: gotong royong dikagumi, tapi keadilan diabaikan. Masyarakat diajak berbagi remah, sementara segelintir elite terus menimbun roti, rakyat terus diajak berempati, sementara negara terus berhemat atas nama kebersamaan. Gotong royong adalah nilai luhur tapi ia bukan pengganti fungsi negara.

Islam, dalam hal ini, menawarkan kacamata yang lebih jernih. Dalam pandangan Islam, penguasa bukanlah pengelola sumbangan, melainkan penanggung jawab kesejahteraan. Harta publik dan sumber daya alam adalah amanah untuk memastikan setiap warga terpenuhi kebutuhannya tanpa harus saling berderma demi menutup kegagalan sistem. Dalam Islam, kemiskinan bukan urusan warga untuk saling menolong seadanya, tapi tanggung jawab negara untuk memastikan setiap individu hidup layak. Negara bukan pengumpul receh, tapi pengelola yang mengurusi rakyatnya. Harta publik seperti sumber daya alam dan zakat adalah instrumen keadilan, bukan sumber kampanye moral.

Gotong royong adalah nilai, bukan mekanisme politik. Ia indah ketika tumbuh dari kesadaran rakyat, bukan ketika digiring dari atas. Karena sejatinya, tugas negara bukan memotivasi rakyat untuk menolong sesama, melainkan memastikan tak ada rakyat yang menderita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image