Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Sholihin

Surat Reflektif: Tentang Seorang Ulama dan Sebuah Ingatan yang Belum Selesai

Agama | 2025-10-20 09:38:48

Kepada Yth. Bapak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, di Jakarta.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bapak Presiden,

Izinkan saya menulis surat ini bukan sebagai orang besar, bukan pula sebagai ahli sejarah. Saya hanya seorang jamaah kecil dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah — organisasi yang lahir dari surau, dari tempat-tempat sunyi tempat ilmu dan doa tumbuh bersama embun pagi. Dari tempat seperti itulah, dulu seorang ulama bernama Syekh Sulaiman Arrasuly menyalakan lentera yang masih bergetar cahayanya hingga kini.

Mungkin nama itu terdengar jauh di antara riuh politik dan strategi negara. Tapi di kampung kami, di Canduang, nama itu bukan sekadar masa lalu. Ia adalah napas. Ia adalah ingatan yang hidup. Ia adalah guru yang tak pernah meninggalkan murid-muridnya, bahkan setelah tanah menutup tubuhnya.

Bapak Presiden,

Ketika bangsa ini masih muda dan belum punya bentuk yang pasti, Syekh Sulaiman Arrasuly sudah menanam akar yang kelak menyangga tubuh Indonesia: iman, ilmu, dan kebangsaan. Ia mendirikan madrasah saat sekolah formal masih langka. Ia mengajar murid-murid agar berpikir, tapi juga berdoa. Ia menulis tafsir, tapi juga memimpin rakyatnya menolak penjajahan dengan cara yang tenang dan terdidik.

Beliau percaya bahwa Islam tidak pernah menolak kemajuan, bahwa cinta tanah air bukanlah bid’ah, dan bahwa akal adalah sahabat iman. Di masanya, ketika sebagian orang berdebat tentang bentuk negara, beliau memilih berdialog — mencari jalan tengah di antara keyakinan dan kemodernan.

Kini, delapan puluh tahun lebih telah berlalu. Negeri ini berubah, tapi akar yang beliau tanam tetap menyimpan air kehidupan. Dari madrasah yang beliau dirikan, lahir ribuan guru, ustaz, dan tokoh yang melanjutkan cita-citanya: membentuk manusia berilmu dan berakhlak. Dari ajarannya, tumbuh semangat moderasi dan kasih terhadap sesama.

Namun sejarah kadang pelupa, Bapak. Ia mengingat yang berteriak keras, tapi sering melupakan mereka yang berjuang dalam sunyi. Ia menulis nama-nama yang dekat dengan pusat, tapi kerap lupa pada yang berjuang dari pinggiran.

Maka izinkan saya, seorang jamaah kecil, menulis agar sejarah tak terus kehilangan keseimbangannya.

Syekh Sulaiman Arrasuly adalah satu dari sedikit ulama yang menghubungkan pesantren dengan negara, bukan dengan kekuasaan, tapi dengan cinta dan tanggung jawab moral. Ia adalah jembatan — antara masa lampau dan masa depan, antara langgar di lereng gunung dan cita-cita republik yang baru lahir.

Bapak Presiden,

Saya tahu Bapak datang dari dunia yang keras, dunia medan dan keputusan cepat. Tapi mungkin justru dari situ Bapak memahami: kekuatan sejati bukan hanya pada pedang atau strategi, tapi pada hikmah dan kesabaran. Dan dua hal itu telah lebih dulu diajarkan oleh para ulama seperti Inyiak Canduang.

Bangsa ini tidak dibangun hanya oleh mereka yang memimpin di medan perang, tetapi juga oleh mereka yang memimpin di medan jiwa — yang melawan kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan dengan ilmu. Syekh Sulaiman Arrasuly adalah pejuang dari medan yang senyap itu. Dan tanpa medan itu, Indonesia takkan punya ruh.

Dalam suraunya, beliau menanam nilai-nilai yang kini menjadi inti Pancasila: ketuhanan yang menuntun, kemanusiaan yang menyejukkan, keadilan yang menghidupi. Ia mengajarkan nasionalisme tanpa kehilangan iman, modernitas tanpa kehilangan adab. Bukankah itu yang kini kita rindukan di tengah dunia yang semakin gaduh dan kehilangan arah?

Bapak Presiden,

Mungkin Bapak pernah mendengar kalimat, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Tapi bangsa yang bijak, saya kira, adalah bangsa yang tidak menunggu jasa itu diteriakkan untuk dikenang.

Bagi kami, pengakuan negara atas Syekh Sulaiman Arrasuly bukan semata gelar, bukan pula urusan administratif. Ia adalah pengakuan atas warisan moral bangsa ini, bahwa perjuangan bukan hanya soal mengangkat senjata, tapi juga tentang menyalakan akal dan menuntun hati.

Dalam doa kami, nama beliau disebut dengan lembut setiap selesai salat. Tapi doa, meski abadi, kadang butuh bentuk nyata agar anak cucu tahu kepada siapa mereka berhutang arah. Dan pengakuan negara adalah salah satu bentuk nyata itu — tanda bahwa ingatan bangsa tidak buta terhadap nur yang telah menuntunnya keluar dari gelap.

Bapak Presiden,

Saya tidak tahu apakah surat ini akan sampai ke meja Bapak, atau hanya berhenti di tumpukan berkas yang menunggu nasib. Tapi jika Bapak sempat membaca sampai di sini, izinkan saya mengucap terima kasih, bukan karena saya telah didengar, tapi karena saya bisa percaya bahwa seorang rakyat kecil masih boleh berbicara kepada pemimpinnya dengan jujur dan penuh hormat.

Saya tidak menulis untuk menuntut. Saya hanya menulis untuk mengingatkan — bahwa di antara batu bata sejarah bangsa ini, ada satu batu kecil dari Canduang yang masih bersinar pelan-pelan. Namanya Syekh Sulaiman Arrasuly. Ia tidak meminta diingat. Tapi kita, murid-muridnya, merasa berdosa jika membiarkan cahaya itu padam.

Barangkali Bapak tak mengenalnya seakrab kami. Tapi bila Bapak sempat berjalan ke Minangkabau, datanglah ke surau tua di kaki Gunung Marapi. Di sana masih ada anak-anak kecil yang belajar mengaji, dengan suara terbata tapi penuh semangat. Di sana, nama Syekh Sulaiman masih disebut dalam setiap nasihat, dan cita-citanya masih hidup dalam setiap buku dan pengajaran.

Mereka belajar bukan untuk menjadi terkenal, tapi agar tetap menjadi manusia. Itulah ajaran Inyiak Canduang — dan itulah semangat yang dibutuhkan bangsa ini: ilmu yang rendah hati, iman yang terbuka, dan cinta yang melampaui batas golongan.

Saya yakin Bapak memahami bahwa kekuatan sejati sebuah negara tidak hanya diukur dari kekuatan militernya, tapi juga dari kedalaman akhlaknya. Dan para ulama seperti beliau telah menjadi penjaga akhlak bangsa sejak sebelum republik ini bernama.

Maka, Bapak Presiden, dengan segala kerendahan hati, kami memohon: angkatlah Syekh Sulaiman Arrasuly sebagai Pahlawan Nasional, agar cahaya dari surau kecil itu bersinar lebih luas — tidak hanya untuk murid-muridnya, tapi untuk seluruh anak bangsa yang kini mencari kembali makna perjuangan yang jujur dan bersahaja.

Semoga langkah Bapak diberkahi dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Semoga negeri ini tidak pernah kehabisan orang yang berani mengingat — dengan hati yang bening, bukan dengan amarah.

Dan semoga suatu hari nanti, ketika generasi baru membaca nama Syekh Sulaiman Arrasuly di deretan pahlawan bangsa, mereka tahu: Indonesia tidak dibangun hanya oleh kekuatan tangan, tapi juga oleh keheningan doa dan kecerdasan pikiran.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dengan hormat dan penuh takzim, Seorang Jamaah Persatuan Tarbiyah Islamiyah

Muhammad Sholihin

Curup, Rejang Lebong

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image