Demo Anarkis, Pendidikan Jadi Tumbal Ambisi Politik?
Politik | 2025-10-19 08:01:15
Ricuhnya aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD/MPR RI pada 28 September lalu bukan hanya soal bentrokan massa dengan aparat. Dibalik hiruk-pikuk politik dan provokasi media sosial, ada korban yang jarang disorot yaitu pendidikan nasional
Pelajar di Barisan Depan Ricuh
Polda Metro Jaya mencatat ratusan pelajar diamankan sepanjang aksi demo berlangsung. Sebagian besar pendemo mengaku datang setelah mendapat ajakan melalui media sosial dan ada juga yang mengaku bahwa sebagian besar anak SMK yang turun kejalan, melakukan hal tersebut untuk memberi keadilan untuk gurunya. Ironisnya, dalam demo ini banyak para pendemo yang tidak memahami substansi tuntutan demo, melainkan hanya sekadar fomo ataupun ikut arus massa.
Keterlibatan pelajar dalam aksi anarkis ini menimbulkan kekhawatiran serius di dunia pendidikan. Absensi siswa dari kelas, konsentrasi belajar yang terganggu, hingga potensi trauma psikologis akibat terjebak kekerasan jalanan, semuanya menjadi kerugian nyata. Guru dan orang tua pun menyoroti hilangnya kesempatan belajar hanya karena pelajar dimobilisasi ke jalanan.
“Ketika siswa meninggalkan ruang kelas untuk kerusuhan, bukan untuk belajar, maka bangsa sedang kehilangan generasi emasnya,” ujar Prof. Najeela Shihab, praktisi pendidikan dan pendiri Sekolah.mu.
Manipulasi Informasi Jadi Pemicu
Kericuhan mulai memuncak pada hari ketiga aksi, tepatnya Rabu, setelah seorang driver ojol bernama Affan Kurniawan meninggal dunia di lokasi. Polisi sempat disebut bertanggung jawab, meski kronologinya masih simpang siur. Berdasarkan keterangan saksi, Affan terdorong oleh salah satu pendemo hingga terjatuh dan terlindas kendaraan taktis (Rantis) milik Brimob. Insiden ini menyulut amarah massa dan membuat gelombang protes meluas ke dua titik, yakni MAKO Brimob dan Gedung DPR/MPR RI.
Di tengah situasi kacau, ruang digital justru dipenuhi buzzer, hoaks, dan provokasi. Informasi simpang siur membuat massa linglung dan kehilangan arah, hingga sebagian melakukan penjarahan di Jakarta salah satunya di Pasar Senen serta pembakaran halte oleh oknum yang ingin memperkeruh suasana. Aksi juga merembet hingga ke Cakung, Bekasi, dan sekitarnya setelah provokator mengalihkan rute demo ke area strategis seperti bandara dan pelabuhan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: masihkah aksi tersebut sesuai dengan tujuan awal, atau sudah melenceng menjadi konflik baru yang justru merugikan masyarakat luas?
Dalam pusaran konflik itu, pelajar SMA/SMK menjadi kelompok yang paling rentan terseret. Banyak dari mereka mengaku turun ke jalan karena ajakan teman atau sekadar FOMO (takut ketinggalan momen), sementara sebagian lain beralasan ingin membela guru setelah viralnya pernyataan kontroversial di media sosial. “Saat ruang digital dipenuhi hoaks dan provokasi, masyarakat jadi sulit membedakan mana aspirasi nyata dan mana manipulasi. Yang paling rentan terseret justru remaja yang literasi digitalnya masih lemah,” jelas Dedy Permadi, Staf Khusus Menkominfo sekaligus pakar literasi digital.
Fenomena ini menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan. Menurut Prof. Fasli Jalal, mantan Wakil Menteri Pendidikan, keterlibatan pelajar dalam aksi anarkis menunjukkan adanya celah serius dalam sistem pendidikan. “Kalau anak-anak sekolah ikut turun bukan karena paham isu, tapi karena ajakan emosional, artinya ada kegagalan sistem pendidikan dalam mengajarkan mereka berpikir kritis. Sekolah harus segera mengambil peran untuk menanamkan literasi digital dan politik yang sehat,” tegasnya.Psikolog pendidikan Ratih Ibrahim menambahkan bahwa keterlibatan remaja dalam kericuhan juga berisiko menimbulkan trauma psikologis. “Remaja bisa membawa pulang ketakutan, kecemasan, bahkan glorifikasi terhadap kekerasan. Itu akan sangat merusak proses belajar mereka,” ujarnya.
Pendidikan Jadi Korban Tak Langsung
Pakar pendidikan menilai, ketika pelajar terprovokasi hingga meninggalkan sekolah dan terjebak kericuhan, maka pendidikan nasional ikut dirugikan. Kehadiran mereka di kelas berkurang, proses belajar terganggu, bahkan guru kesulitan menjaga fokus pembelajaran. Jika kondisi ini berulang, risiko jangka panjangnya adalah turunnya prestasi, menurunnya kedisiplinan, hingga meningkatnya angka putus sekolah.
“Pelajar seharusnya belajar kritis di ruang kelas, bukan dimobilisasi di jalan untuk kepentingan politik yang belum tentu mereka pahami,” ujar Ratih Ibrahim selaku pengamat pendidikan. Karena itu, perlu ada penguatan literasi digital agar remaja mampu menyaring informasi dan tidak mudah terseret provokasi. Selain itu, pendidikan karakter di sekolah serta kolaborasi dengan orang tua juga sangat penting untuk membentuk pelajar yang kritis, tetapi tetap fokus pada tujuan utama: belajar dan meraih masa depan.
Pertanyaan Besar yang Tersisa
Kericuhan yang terjadi di depan Gedung DPR tidak semata-mata merefleksikan benturan antara massa dan aparat, melainkan juga memperlihatkan kerentanan pelajar dalam dinamika politik praktis. Fenomena keterlibatan siswa SMA/SMK menimbulkan pertanyaan kritis: apakah keikutsertaan mereka sekadar menjadi pion dari kepentingan politik tertentu, ataukah hal ini membuka kelemahan sistem pendidikan dalam menanamkan kesadaran politik yang sehat pada generasi muda?
Secara normatif, institusi pendidikan berfungsi sebagai ruang untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, membangun nalar demokratis, dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Namun, absennya penguatan literasi digital, lemahnya pendidikan karakter, serta minimnya dialog sehat mengenai politik membuat pelajar mudah terprovokasi oleh informasi yang simpang siur, khususnya melalui media sosial.
Apabila langkah serius ini tidak segera diambil, khususnya melalui sinergi antara sekolah, keluarga, dan pemerintah, maka dunia pendidikan akan terus berpotensi menjadi korban tidak langsung dari konflik politik jalanan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
