Mendidik Anak Menjadi Manusia, Bukan Mesin: Reorientasi Tujuan Pendidikan
Edukasi | 2025-10-18 09:57:32
Fokus utama dalam praktik pendidikan saat ini masih pada pencapaian kognitif yang diukur melalui nilai, ujian, dan hafalan. Sementara potensi dan ritme belajar unik anak-anak terabaikan, mereka diperlakukan layaknya mesin penghafal yang harus menghasilkan output yang seragam sesuai dengan standar kurikulum. Seringkali, sekolah berfungsi sebagai "pabrik nilai" yang hanya menghasilkan skor dalam rapor, bukannya ruang hidup yang menumbuhkan minat dan semangat belajar. Akibatnya, siswa tidak memiliki semangat alami, kemampuan kreatif, dan kemampuan reflektif yang penting untuk proses pendidikan yang sebenarnya. Selain itu, tekanan untuk lulus ujian menyebabkan efek psikologis, seperti stres, kelelahan, dan bahkan kehilangan pemahaman tentang apa yang harus dipelajari. Kritik ini menegaskan bahwa sistem pendidikan yang terlalu menekankan aspek mekanistik telah menyimpang dari tujuan pendidikan yang sebenarnya, yaitu memanusiakan manusia, dan telah beralih ke pembuatan angka dan sertifikat.
Mendidik manusia berarti menempatkan pendidikan sebagai proses humanisasi—sebuah upaya untuk meningkatkan potensi kemanusiaan anak secara keseluruhan, bukan sekadar meningkatkan keterampilan teknis atau mencetak tenaga kerja. Pendidikan yang memanusiakan manusia berpusat pada pengembangan pribadi yang kritis, berempati, dan beretika, sehingga anak-anak tidak hanya memiliki kecerdasan kognitif tetapi juga menjadi moral dan sosial yang matang. Pendidikan dianggap sebagai "tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak" oleh Ki Hajar Dewantara, yang menekankan kebebasan untuk berkembang sesuai dengan alam dan lingkungannya. Paulo Freire juga menambahkan aspek kebebasan, yaitu bahwa pendidikan harus membangun kesadaran kritis sehingga orang dapat membaca dan mengubah realitas sosial. Bahkan Albert Einstein mengatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengajarkan orang untuk berpikir, bukan hanya mengingat informasi. Oleh karena itu, mendidik manusia berarti menghidupkan kembali tujuan pendidikan klasik: membangun individu yang mampu berpikir kritis, berimajinasi, berempati, dan bertanggung jawab sehingga mereka dapat menjalani hidup dengan penuh makna dan memberi kontribusi kepada kemanusiaan.
Untuk mengubah tujuan pendidikan, paradigma harus berubah dari fokus sempit pada hasil ekonomi ke arah pembangunan manusia seutuhnya. Pendidikan sekarang dianggap berhasil jika mampu menghasilkan lulusan dengan nilai tinggi, ijazah, dan keterampilan teknis yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Namun, visi seperti itu mengurangi pendidikan menjadi alat utilitarian. Pendidikan harus diubah untuk menekankan pembentukan karakter, kebijaksanaan, dan kesadaran sosial. Anak-anak harus dididik untuk tidak hanya bekerja, tetapi juga untuk menjalani kehidupan yang bermakna, berkontribusi pada masyarakat, dan memajukan dunia. Dalam abad ke-21, keterampilan seperti kreativitas, kolaborasi, komunikasi, dan berpikir kritis harus dikombinasikan dengan prinsip empati, keadilan, dan tanggung jawab global. Dengan demikian, pendidikan tidak lagi hanya menghasilkan pekerja, tetapi juga menghasilkan warga dunia yang berpikir, moral, dan berdaya cipta.
Pendidikan menghadapi tantangan baru di era teknologi digital dan kecerdasan buatan. Tantangan ini dapat menyebabkan anak-anak semakin menjadi "mesin". Sistem pembelajaran yang serba otomatis, berbasis algoritma, dan diukur dengan data kuantitatif, seringkali mendorong sekolah untuk menstandarkan siswa dengan cara yang mirip dengan logika mesin. Namun, elemen kemanusiaan seperti empati, imajinasi, moralitas, dan spiritualitas menjadi semakin penting di tengah kemajuan teknologi. Jika pendidikan hanya berpusat pada keterampilan teknis yang dapat digunakan untuk menggantikan mesin, anak-anak akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan unik manusia yang paling berharga. Oleh karena itu, anak-anak harus dididik untuk mampu menggunakan teknologi secara kritis dan kreatif sambil mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang membedakan mereka dari mesin.
Hanya melalui praktik dan strategi yang menempatkan anak sebagai subjek, bukan objek pembelajaran, humanisasi pendidikan dapat terjadi. Pembelajaran berbasis proyek, diskusi, dan refleksi adalah pendekatan yang relevan di mana siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga memperoleh pemahaman melalui pengalaman mereka sendiri. Kurikulum harus memungkinkan seni, filsafat, literasi kritis, dan pendidikan karakter untuk menumbuhkan kepekaan estetik, moral, dan sosial pada anak-anak. Guru tidak hanya menyampaikan informasi; mereka juga bertindak sebagai pendorong pertumbuhan manusia, membantu siswa menemukan identitas dan tanggung jawab mereka. Sekolah yang menekankan kesejahteraan, pendidikan berbasis komunitas, atau model pembelajaran layanan yang menghubungkan kelas dengan keadaan sosial adalah beberapa contoh praktik konkret. Strategi ini mengubah pendidikan menjadi proses yang membebaskan, mengembangkan, dan memanusiakan.
Pada akhirnya, pendidikan harus kembali ke tujuannya yang sebenarnya, yaitu membangun manusia secara keseluruhan, bukan sekadar membuat mesin yang sesuai dengan persyaratan dan standar pasar. Reorientasi ini membutuhkan keberanian dari semua pihak, termasuk orang tua, guru, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas, untuk mengubah paradigma dari pendidikan mekanis ke pendidikan humanistik. Anak-anak tidak boleh dilihat hanya sebagai angka dalam rapor atau calon karyawan; mereka harus dilihat sebagai individu dengan potensi luar biasa yang perlu dihargai. Di tengah krisis kemanusiaan dan tantangan global yang semakin kompleks, seruan ini adalah kebutuhan mendesak. Pendidikan dapat menjadi ruang yang membebaskan, menumbuhkan, dan mempersiapkan generasi yang mampu hidup bermakna dan memberi kontribusi nyata bagi dunia dengan menempatkan kemanusiaan sebagai inti.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
