Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image NAFISHA RIZKY ADISTA

Di Balik Pikiran yang Terlalu Aktif: Telaah Biopsikologis terhadap Overthinking

Eduaksi | 2025-10-17 15:22:15

ilustrasi bagian otak.

Dalam kehidupan modern yang penuh tekanan, istilah overthinking menjadi semakin populer, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Overthinking merujuk pada kecenderungan untuk memikirkan sesuatu secara berlebihan, baik itu situasi masa lalu, kemungkinan masa depan, atau kekhawatiran kecil yang dibesar-besarkan. Seseorang yang terus menerus berpikir berlebihan tidak akan merasa nyaman dalam lingkaran pikiran dan tidak akan menemukan jalan atau solusi yang jelas dalam jangka waktu yang lama. Meskipun pada permukaan overthinking tampak sebagai proses mental biasa, kajian biopsikologi menunjukkan bahwa kondisi ini melibatkan interaksi kompleks antara otak, sistem saraf, dan hormon tubuh. Dalam kesempatan ini, akan dibahas bagaimana overthinking bekerja dari perspektif biopsikologi, melibatkan struktur otak, neurotransmiter, dan sistem stres biologis manusia.

Secara psikologis, overthinking sering dikaitkan dengan kecemasan (anxiety), depresi ringan, dan gangguan obsesif-kompulsif. Namun, biopsikologi memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana aktivitas otak dan sistem saraf mendukung pola berpikir berlebihan ini. Overthinking tidak hanya sekadar “terlalu banyak berpikir”, tetapi merupakan fenomena yang bisa dilacak pada pola aktivasi otak tertentu, terutama yang melibatkan sistem limbik dan korteks prefrontal.

Tiga bagian otak yang utama berperan dalam proses overthinking adalah prefrontal cortex, amygdala, dan anterior cingulate cortex (ACC).

 

  1. Prefrontal Cortex (PFC): Bagian otak ini bertanggung jawab atas perencanaan, pengambilan keputusan, dan berpikir logis. Pada individu yang cenderung overthinking, PFC cenderung terlalu aktif. Aktivitas berlebihan di area ini menyebabkan pikiran terus-menerus menganalisis kemungkinan, merumuskan skenario, dan menimbang-nimbang pilihan secara berulang.
  2. Amygdala: Ini adalah pusat pemrosesan emosi, terutama rasa takut dan kecemasan. Amygdala menjadi sangat aktif ketika seseorang menghadapi situasi yang menimbulkan stres atau ketidakpastian. Pada individu yang overthinking, amygdala sering bereaksi terhadap situasi biasa seolah-olah itu adalah ancaman besar, memicu respons emosional yang tidak proporsional.
  3. Anterior Cingulate Cortex (ACC): Area ini bertanggung jawab dalam memonitor konflik kognitif dan emosi. ACC membantu mendeteksi ketidaksesuaian antara apa yang terjadi dan apa yang diharapkan. Pada overthinker, ACC sering kali menjadi terlalu sensitif terhadap potensi kesalahan atau ketidakpastian, memperkuat siklus pikiran yang rumit dan berulang.

Selain struktur otak, neurotransmiter juga memainkan peran penting dalam memediasi proses overthinking. Salah satu yang paling berpengaruh adalah serotonin. Kadar serotonin yang rendah telah dikaitkan dengan peningkatan kecemasan, depresi, dan pemikiran obsesif semua merupakan elemen umum dalam overthinking. Dopamin, neurotransmiter yang berkaitan dengan penghargaan dan motivasi, juga bisa terlibat. Pada beberapa individu, pencarian jawaban atau kejelasan melalui overthinking dapat menciptakan dorongan sementara yang bersifat adiktif. Mereka merasa "lega" setelah berhasil membuat rencana atau menemukan "penyebab" kegelisahan mereka, meskipun itu tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.

Dari sisi hormonal, kortisol hormon stress berperan penting. Tingkat kortisol yang tinggi akibat stres kronis dapat meningkatkan aktivitas amygdala dan menurunkan efisiensi PFC. Ini memperburuk kecenderungan untuk berpikir berlebihan dan mempersempit kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan rasional.

Overthinking sering kali menjadi bagian dari sirkuit umpan balik negatif di otak. Ketika seseorang mulai khawatir atau ragu, sistem limbik (terutama amygdala) menjadi aktif. Aktivasi ini mengirim sinyal ke PFC untuk mengevaluasi bahaya. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, PFC justru terus menganalisis tanpa henti karena informasi dari amygdala terus membanjiri. Akibatnya, siklus “pikir -> cemas -> analisis -> makin cemas” terus berulang.

Dari perspektif biopsikologis, overthinking bukan hanya berdampak pada kondisi mental, tetapi juga pada fisik. Aktivasi kronis dari sistem saraf simpatis dan pelepasan kortisol dapat menyebabkan gangguan tidur, kelelahan kronis, ketegangan otot, dan bahkan gangguan pencernaan. Ini menunjukkan bahwa pikiran yang terlalu aktif dapat secara nyata mempengaruhi kesehatan tubuh secara keseluruhan.

Penanganan overthinking tidak hanya melalui terapi psikologis seperti CBT (Cognitive Behavioral Therapy), tetapi juga bisa didekati dari sisi biologis. Intervensi seperti:

 

  • Latihan mindfulness dan meditasi, yang dapat menenangkan aktivitas amygdala dan mengembalikan fungsi regulatif dari PFC.
  • Olahraga teratur, yang meningkatkan kadar serotonin dan dopamin alami.
  • Manajemen stres dengan teknik pernapasan dan relaksasi, yang menurunkan kadar kortisol.
  • Terapi farmakologis, seperti SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor), yang meningkatkan kadar serotonin di otak, dapat membantu individu yang mengalami overthinking kronis.

Kesimpulannya, overthinking adalah lebih dari sekadar kebiasaan berpikir terlalu banyak. Dari perspektif biopsikologi, ini merupakan manifestasi dari pola aktivasi otak tertentu, ketidakseimbangan neurotransmiter, dan respons hormonal terhadap stres. Memahami dasar biologis dari overthinking membuka jalan untuk penanganan yang lebih komprehensif dan ilmiah. Dengan pendekatan yang tepat baik psikologis maupun biologis individu dapat belajar mengenali pola pikir berlebihan dan membangun strategi untuk menenangkannya secara sistematis dan berkelanjutan. Penting bagi kita untuk memahami overthinking tidak hanya sebagai tren, tetapi juga sebagai kondisi psikologis yang perlu diatasi dengan manajemen stres, mindfulness, atau bantuan profesional bila diperlukan. Overthinking di kalangan remaja bukan hanya sekadar kebiasaan buruk, melainkan gejala dari tekanan psikososial dan perkembangan yang kompleks. Dengan memahami latar belakang teoritis dan faktor penyebabnya, masyarakat dapat memberikan dukungan yang lebih tepat guna. Remaja

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image