Deislamisasi di Balik Kerjasama Pesantren dan Amerika Serikat
Politik | 2025-10-16 20:45:23
Oleh Sahna Salfini Husyairoh, S.T
Aktivis Muslimah
Pesantren di Indonesia menjadi sasaran perhatian serius Amerika Serikat melalui program kerja sama, pelatihan, dan beasiswa. Pada tahun 2025, Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS). Salah satu poin utama dalam MoU tersebut ialah pemberian beasiswa Fulbright kepada santri, mahasiswa, dan dosen di bawah Kemenag dapat menempuh studi di berbagai bidang keilmuan di Universitas-universitas Amerika Serikat. Program Fulbright dikelola oleh U.S. Department of State’s Bureau of Educational and Cultural Affairs (ECA) dengan tujuan utama “meningkatkan saling pengertian antara rakyat AS dan rakyat negara-negara lain.” (eca.state.gov/fulbright).
Namun, di balik jargon “saling pengertian antarbangsa”, ada misi ideologis yang tak bisa diabaikan. American Foreign Policy Council secara terbuka menyebut Fulbright sebagai bagian dari soft power diplomacy AS — yaitu strategi untuk “menanamkan nilai-nilai demokrasi liberal dan memperluas pengaruh budaya Amerika di Dunia Islam”.
Keterlibatan Amerika dalam dunia pendidikan Islam sudah sejak lama. Dalam laporan The U.S. Department of State’s Bureau of Counterterrorism (2022) disebutkan Indonesia menjadi mitra penting dalam upaya Amerika mempromosikan Islam moderat untuk melawan radikalisme. Secara lebih jelas, lembaga ini menegaskan Amerika Serikat mendukung upaya Indonesia untuk mempromosikan Islam moderat melalui keterlibatan pesantren dan para ulama. (Sumber: state.gov/reports/country-reports-on-terrorism-2022).
Pasca peristiwa 11 September 2001, Amerika menata ulang kebijakan luar negerinya terhadap Dunia Islam. Dalam laporan tersebut, RAND merekomendasikan agar Amerika “mendukung kelompok Muslim moderat, melawan kelompok fundamentalis serta mempromosikan nilai-nilai demokrasi, pluralisme dan hak-hak perempuan.” (RAND Corporation, 2003, hlm. 8–11).
Amerika Serikat memahami bahwa pesantren merupakan benteng utama Islam di Indonesia. Maka dari itu, lembaga ini menjadi target penting untuk proyek “religious reform” (reformasi keagamaan) dan “counter-extremism” (penangkalan ekstremisme).
Pesantren tidak hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga sebagai arena strategis untuk memengaruhi arah ideologi umat. Maka dari itu, program pelatihan guru, pertukaran santri, ataupun riset bersama yang didukung oleh lembaga Amerika sering disusupi dengan kurikulum interfaith dialogue (dialog antariman), gender equality (kesetaraan gender), human rights (hak asasi manusia) dan democratic citizenship (kewarganegaraan demokratis). Semuanya merupakan produk ideologi sekuler-liberal, yang tidak ada hubungannya dengan Islam.
Amerika Serikat adalah negara dengan ideologi kapitalisme-sekuler. Maka dari itu, ketika santri atau akademisi Muslim dikirim belajar dalam kerangka Fulbright, mereka tidak hanya mempelajari sains dan teknologi, tetapi juga “diperkenalkan” pada sistem nilai sekuler-liberal: pluralisme, relativisme moral, kesetaraan gender versi Barat, dan toleransi terhadap ide-ide yang bertentangan dengan aqidah Islam.
Istilah “Moderasi Agama” yang menjadi bingkai kerja sama ini sejatinya adalah terjemahan lokal dari proyek “Moderate Islam” yang dikembangkan oleh RAND Corporation dan lembaga-lembaga Barat lainnya. Dalam laporan RAND disebutkan, Muslim moderat harus memenuhi lima ciri: (1) mendukung demokrasi; (2) mengakui hak asasi manusia versi Barat (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan berkeyakinan); (3) menghargai keberagaman agama (pluralisme); (4) menerima sumber hukum non-Islam; (5) menolak jihad.
Dengan demikian moderasi agama bukanlah gagasan Islam, melainkan alat depolitisasi Islam. Tujuannya agar umat tidak lagi memandang syariah sebagai sistem hidup yang harus ditegakkan secara menyeluruh (kâffah), melainkan cukup sebagai pedoman moral dan spiritual.
Islam telah memperingatkan bahaya mengikuti apalagi bekerjasama secara ideologis dengan kaum kafir. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan kaum kafir sebagai pemimpin/teman setia dengan meninggalkan kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 144).
Ayat ini menegaskan bahwa kaum Muslim dilarang menjadikan orang kafir sebagai pihak yang menguasai atau mengendalikan urusan mereka, apalagi urusan pendidikan dan pembentukan pola pikir umat.
Selain itu, sejarah membuktikan bahwa Amerika Serikat adalah penjajah dan pembunuh kaum Muslim. Dari invasi Irak dan Afganistan, dukungan militer terhadap Israel, hingga campur tangan politik di berbagai negeri Muslim. Semuanya menunjukkan bahwa AS bukanlah mitra, melainkan musuh Islam.
Islam tidak melarang umatnya untuk belajar dari bangsa lain dalam urusan sains atau teknologi. Namun, ketika kerja sama tersebut membawa pengaruh terhadap cara berpikir (fikrah) dan cara hidup (tharîqah) yang bertentangan dengan Islam, maka kewaspadaan ideologis menjadi kewajiban. Apalagi Rasulullah saw. telah memperingatkan:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka (HR Abu Dawud).
Hadis ini memperingatkan bahwa mengikuti gaya hidup, pola pikir dan nilai-nilai kaum kafir dapat menyeret umat Islam ke dalam penyimpangan ideologis.
Pesantren adalah jantung peradaban Islam di Indonesia. Ia tidak boleh dijadikan laboratorium eksperimental bagi misi sekuler-liberal. Sudah saatnya pesantren menegaskan kembali identitas ideologisnya: mencetak generasi yang bertakwa, berilmu dan berjuang untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Selain itu, negara tidak boleh membuka pintu bagi proyek-proyek ideologis asing yang merusak keimanan umat. Justru Pemerintah wajib memperkuat pendidikan Islam sebagai fondasi kebangkitan bangsa berdasarkan akidah Islam.
Wallahualam bissawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
