Kesehatan Mental Masih Dianggap Tabu: Saatnya Kita Berubah
Eduaksi | 2025-10-16 12:05:25
Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental di Indonesia masih sangat rendah. Hingga saat ini, memiliki gangguan mental sering kali dianggap sebagai hal yang tabu, bahkan aib dalam keluarga. Stereotip dan labelisasi negatif dari masyarakat, seperti menyamakan semua gangguan mental dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), menjadi penghambat utama dalam proses pemulihan seseorang yang sedang berjuang dengan kesehatan jiwanya.
Menurut definisi WHO, kesehatan mental adalah kondisi kesejahteraan batin yang memungkinkan seseorang menjalani hidup secara produktif, menghadapi tekanan, dan berkontribusi bagi lingkungannya. Saat kondisi ini terganggu, maka seseorang bisa mengalami masalah mental yang nyata dan berdampak luas pada kehidupannya.
Trauma akibat kekerasan, perundungan, pelecehan, maupun ujaran kebencian (hate speech) bisa memicu gangguan seperti kecemasan (anxiety), serangan panik (panic attack), hingga gangguan panik (panic disorder). Jika tidak ditangani dengan tepat, gangguan ini bisa memburuk bahkan memengaruhi kondisi fisik, seperti menyebabkan GERD, insomnia, dan masalah kesehatan lainnya.
Media Sosial dan Tekanan Psikologis
Di era digital seperti sekarang, media sosial juga berpotensi terhadap tekanan mental bagi banyak orang. Terlalu sering mengonsumsi konten pencapaian orang lain dapat memicu rasa insecure, membandingkan diri secara berlebihan, dan merasa hidup sendiri “kurang”. Hal ini bisa menimbulkan stres, kecemasan, bahkan depresi terutama pada remaja dan usia produktif.
Data Nyata: Depresi dan Bunuh Diri
Berdasarkan data dari WHO, sekitar 4% dari populasi dunia mengalami depresi, termasuk 5,7% orang dewasa (4,6% pria dan 6,9% wanita), serta 5,9% orang berusia di atas 70 tahun. Diperkirakan ada lebih dari 332 juta orang di dunia yang mengalami depresi, dan jumlah ini 1,5 kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Pada tahun 2021, sekitar 727.000 orang meninggal akibat bunuh diri. Kasus bunuh diri menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak pada kelompok usia 15–29 tahun. Ini menegaskan bahwa usia muda dan usia produktif adalah kelompok yang paling rentan mengalami gangguan mental.
Mengapa Banyak yang Memilih Diam?
Banyak orang dengan masalah mental memilih untuk tidak mencari bantuan. Alasannya sederhana tapi menyakitkan, takut dikucilkan, takut dianggap lemah, takut menjadi bahan omongan. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan tidak bisa terbuka kepada keluarga atau teman terdekatnya. Padahal, seseorang yang mengalami gangguan mental sebenarnya hanya butuh satu hal sederhana yaitu dimengerti, didengarkan tanpa dihakimi, serta diterima. Dukungan emosional sering kali menjadi “obat” awal sebelum bantuan profesional.
Saatnya Kita Lebih Peka
Permasalahan kesehatan mental terutama pada generasi muda seharusnya menjadi kesadaran sosial. Edukasi dan kesadaran kolektif perlu terus dibangun agar tidak ada lagi orang yang merasa harus “kuat sendirian”, mari kita hentikan stigma, mulai dari hal kecil seperti tidak mengejek, tidak menghakimi, dan berani membuka ruang diskusi tentang perasaan. Membangun empati adalah tugas kita bersama. Karena pada akhirnya, setiap orang berhak hidup dengan perasaan yang sehat, bukan hanya tubuh yang kuat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
