Fatherless Kian Populer, Buah Kehidupan Sekuler
Agama | 2025-10-15 23:10:36
Fenomena fatherless atau ketiadaan peran ayah dalam kehidupan anak bukan lagi sekadar istilah akademik, melainkan kenyataan sosial yang menghantui generasi muda Indonesia hari ini. Data dari berbagai lembaga riset menunjukkan jutaan anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah secara fisik, emosional, maupun spiritual. Mereka kehilangan figur teladan yang seharusnya menjadi sumber keteguhan, perlindungan, dan nilai kehidupan.Kondisi ini melahirkan generasi yang rapuh, mudah stres, kehilangan arah, dan rentan terhadap pengaruh destruktif lingkungan. Ironinya, banyak yang menganggap ini sebagai konsekuensi “alami” dari perkembangan zaman. Padahal, di balik itu semua, terdapat akar ideologis yang dalam — yaitu sistem kapitalisme sekuler yang membentuk pola pikir, pola hidup, dan struktur sosial masyarakat modern.
Fenomena Fatherless di Indonesia: Antara Fakta dan Dampak
Istilah fatherless mengacu pada anak-anak yang kehilangan figur ayah, baik karena perceraian, kematian, atau karena ayah yang hadir secara fisik namun absen secara psikis dan emosional. Dalam laporan Kompas.id (2024), fenomena ini kian menguat di Indonesia, terutama di perkotaan. Tekanan ekonomi, beban kerja tinggi, hingga gaya hidup individualistik menjadikan banyak ayah terputus dari kehidupan anak-anaknya. Artikel lain dari VOI.id (2024) menyebut bahwa jutaan anak Indonesia menjadi fatherless akibat “desakan ekonomi” yang memaksa ayah bekerja jauh dari rumah atau bahkan di luar negeri. Sementara itu, Tagar.co menyoroti bahwa fatherless di negeri patriarki justru memperlihatkan paradoks: banyak ayah berkuasa di ruang publik, tetapi tidak hadir dalam ruang domestik keluarga.
Dampaknya tidak main-main. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak fatherless lebih rentan mengalami gangguan emosional, kesulitan mengontrol perilaku, rendah kepercayaan diri, serta memiliki kecenderungan tinggi terhadap kenakalan remaja. Mereka kehilangan sosok laki-laki yang menjadi model tanggung jawab, keberanian, dan arah moral. Di sisi lain, ibu yang harus berjuang sendiri menanggung beban ganda secara ekonomi dan pengasuhan, seringkali kelelahan secara fisik maupun mental. Fenomena ini sesungguhnya bukan hanya masalah keluarga, tetapi juga masalah sistemik. Ia mencerminkan kegagalan sistem sosial-ekonomi dalam menciptakan lingkungan hidup yang menyeimbangkan kebutuhan materi dan spiritual manusia.
Akar Masalah: Sistem Kapitalisme Sekuler yang Meminggirkan Peran Ayah
Kapitalisme sekuler menjadikan uang dan efisiensi ekonomi sebagai ukuran utama kehidupan. Nilai-nilai moral, spiritual, bahkan ikatan keluarga pun sering dikorbankan demi produktivitas dan keuntungan. Dalam sistem ini, laki-laki termasuk ayah direduksi menjadi mesin ekonomi keluarga. Mereka diukur dari besarnya gaji, bukan kedekatan emosional dengan anak. Mereka dituntut bekerja keras untuk membayar biaya hidup yang terus meningkat, akibat sistem ekonomi yang menindas dan tidak adil. Tidak heran jika banyak ayah yang kelelahan, stres, dan akhirnya kehilangan makna atas peran qawwam-nya sebagai pemimpin dan pelindung keluarga.
Sementara itu, negara dengan paradigma sekuler cenderung lepas tangan terhadap urusan keluarga. Ia memandang pendidikan anak dan peran orang tua sebagai urusan privat, bukan tanggung jawab sosial. Padahal, ketika jutaan ayah harus bekerja 10–12 jam per hari hanya untuk bertahan hidup, berarti ada yang salah dalam sistem ekonomi itu sendiri. Inilah buah nyata dari kapitalisme sekuler: keluarga tercerabut dari nilai-nilai Ilahi, manusia kehilangan keseimbangan hidup, dan generasi tumbuh tanpa arah spiritual yang kokoh.
Analisis Sosial: Krisis Qawwam dalam Keluarga Muslim
Dalam Islam, ayah memiliki peran fundamental sebagai qawwam — pelindung, penanggung jawab, dan pemimpin keluarga. Allah SWT berfirman:
“Kaum laki-laki adalah qawwam atas kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa [4]: 34)
Makna qawwam bukan sekadar pencari nafkah, tetapi pemimpin yang menegakkan nilai-nilai Islam dalam rumah tangga. Ia menjadi penjaga akidah, pembimbing moral, dan penegak keadilan dalam keluarga. Ketika peran ini hilang, maka hilanglah keseimbangan kehidupan rumah tangga. Namun, realitas hari ini memperlihatkan banyak ayah kehilangan ruh kepemimpinannya. Mereka sibuk bekerja tanpa arah spiritual, lupa bahwa tugas mendidik anak adalah amanah Ilahi yang tak bisa diwakilkan pada sekolah atau gadget. Krisis ini bukan hanya soal individu, tetapi juga soal sistem yang tidak mendukung peran qawwam itu untuk tumbuh.
Solusi Islam: Menghidupkan Kembali Fungsi Ayah dalam Sistem Kehidupan yang Adil
Islam tidak hanya memerintahkan ayah untuk berperan aktif, tetapi juga menyediakan sistem yang memungkinkan peran itu terlaksana secara optimal.
1. Sistem Ekonomi Islam
Dalam sistem Islam, negara berkewajiban menjamin kebutuhan dasar rakyat sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Lapangan kerja disediakan dengan upah yang layak, sehingga ayah tidak perlu bekerja berlebihan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dengan begitu, ia memiliki waktu dan energi untuk membersamai anak dan keluarganya.Rasulullah ﷺ bersabda:
“Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang yang menjadi tanggung jawabnya.” (HR. Abu Dawud)
Prinsip ini menunjukkan bahwa tanggung jawab nafkah adalah kewajiban yang dijamin secara moral dan sosial oleh sistem Islam.
2. Sistem Sosial Islam
Islam mengatur relasi keluarga berdasarkan nilai kasih sayang dan tanggung jawab, bukan kompetisi ekonomi. Ibu berperan sebagai pengasuh dan pendidik utama di rumah, sementara ayah menjadi pemimpin dan teladan. Dalam kasus anak yatim atau anak tanpa ayah, sistem perwalian (wilayah) memastikan mereka tetap mendapatkan figur ayah melalui wali atau keluarga besar.
3. Sistem Pendidikan Islam
Pendidikan dalam Islam tidak hanya berorientasi pada pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan karakter dan keimanan. Ayah memiliki kewajiban mendidik anak dalam hal aqidah, akhlak, dan tanggung jawab. Keteladanan ayah adalah “sekolah pertama” bagi anak laki-laki maupun perempuan.
Dengan demikian, Islam tidak sekadar menawarkan solusi moral, tetapi solusi sistemik yang menyentuh struktur ekonomi, sosial, dan pendidikan. Hanya dengan sistem seperti ini, peran ayah sebagai qawwam dapat hidup kembali secara utuh.
Penutup: Kembali pada Sistem Hidup yang Berbasis Wahyu
Fenomena fatherless adalah alarm keras bagi peradaban modern. Ia menunjukkan betapa rapuhnya tatanan keluarga di bawah sistem yang menuhankan materi dan mengabaikan nilai spiritual. Jutaan anak kehilangan arah, jutaan ayah kehilangan makna hidup, dan generasi masa depan pun terancam tumbuh tanpa pondasi nilai yang kokoh. Islam hadir bukan hanya sebagai agama ritual, tetapi sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh, mengatur manusia dalam seluruh dimensinya: individu, keluarga, dan masyarakat. Dalam bingkai sistem Islam, ayah akan kembali menemukan identitas sejatinya sebagai qawwam, ibu akan kembali mulia dalam perannya sebagai madrasah utama, dan anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta, nilai, dan arah hidup yang jelas.
Sudah saatnya umat ini berani kembali kepada sistem Ilahi. Karena hanya dengan Islam, keluarga akan kembali kuat dan generasi akan kembali menemukan sosok ayah sejati, bukan hanya di rumah, tapi juga dalam peradaban.
Referensi Berita:
Kompas.id – Lewat Media Sosial, Dukungan untuk Fatherless Mengalir
Kompas.id – Bagaimana Dampak Ketiadaan Sosok Ayah bagi Tumbuh Kembang Anak
Tagar.co – Fatherless di Negeri Patriarki: Alarm untuk Masa Depan Anak Indonesia
VOI.id – Desakan Ekonomi, Jutaan Anak Indonesia Fatherless
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
