Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Izuddin

Ketika Adab Kepada Kiai Dianggap Feodal: Menyingkap Kesalahpahaman Publik Menilai Pendidikan Pesantren

Edukasi | 2025-10-15 20:16:42

Baru-baru ini kita disuguhkan dengan pergesekan yang menjadi sorotan publik, yaitu pertentangan antara stasiun televisi Trans7 dengan Pesantren Lirboyo. Konflik ini bermula ketika salah satu program Trans7 dianggap menyajikan berita yang kurang tepat mengenai kondisi di pesantren tersebut. Dalam tayangan itu, Kiai pesantren digambarkan mendapat penghormatan berlebihan bahkan seolah dikultuskan oleh para santri. Acara tersebut menggambarkan adanya praktik feodalisme antara santri dan Kiai, dengan tuduhan bahwa sang Kiai hidup mewah di balik citranya. Menanggapi hal ini, pihak Pesantren Lirboyo menolak narasi tersebut dan menegaskan bahwa informasi itu tidak sesuai fakta serta dapat merusak nama baik pesantren yang telah berdiri selama ratusan tahun. Terlepas dari itu, benarkah praktik feodalisme sungguh terjadi di pesantren?

Untuk mengetahui apakah praktik feodalisme sungguh terjadi dalam tubuh pesantren, perlu diketahui terlebih dahulu definisi dari feodalisme itu sendiri. Dalam khazanah sejarah, istilah feodalisme awalnya merupakan sebuah istilah atas situasi sosial kemasyarakatan yang berkembang di Eropa pada Abad Pertengahan. Dalam sistem ini, terjadi hubungan antar kelompok dalam masyarakat di mana para tuan tanah memegang kekuasaan dan memperoleh keuntungan atas golongan pekerja atau petani. Hubungan tersebut menempatkan tuan tanah sebagai pihak yang dominan dalam struktur sosial, sementara para pekerja bergantung pada kekuasaan dan perlindungan dari tuan tanah dalam kehidupan sehari-hari

Adapun pengertian feodalisme dalam kamus besar KBBI, antara lain sebagai berikut:

1. Feodalisme adalah Sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.

2. Sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja.

3. Sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.

Jika kita mengacu pada definisi KBBI tersebut, pengertian pertama dan ketiga jelas tidak relevan dengan makna feodalisme yang dimaksud dalam konteks pesantren. Pengertian kedua lebih sesuai dengan situasi di pesantren. Kiai adalah sosok yang dihormati dan disegani oleh seluruh warga pesantren. Namun, sebelum mengambil kesimpulan lebih jauh, penting untuk memahami konsep adab dalam Islam yang mengajarkan untuk memuliakan seorang guru dan mengutamakan adab daripada ilmu. Hal ini perlu agar kita tidak mencampuradukkan antara sikap takdzim dengan praktik feodalisme, apalagi sampai mengkultuskan.

Anjuran untuk memuliakan guru dapat ditemukan di banyak riwayat dan ucapan ulama. Bebagai kitab seperti kitab Adabul Alim wa al-Muta’allim secara mendetail menjelaskan perihal adab ini. Ali bin Abi Talib bahkan pernah berucap begini: Aku adalah seorang hamba seseorang yang telah mengajarkanku satu huruf, Kalimat pendek tersebut dengan sendirinya menegaskan besarnya peranan seorang guru dan keharusan bagi seorang murid untuk memuliakannya. Lebih tegas lagi Az-Zarnuji bahkan secara tegas merumuskan keterkaitan antara kesuksesan murid dengan penghormantannya. Dalam kitab tersebut Az-Zarnuji mengatakan: “keberhasilan seorang murid tergantung dengan penghormatannya, dan kegagalannya adalah karena meremehkannya.”

Begitu banyak bermacam qaul ulama yang menegaskan adab seorang murid kepada guru. Prinsip-prinsip tersebut menjadi landasan kenapa seorang santri sangat takdzim kepada gurunya, apalagi sosok Kiai biasanya juga merupakan pimpinan dari pesantren. Kiai merupakan sosok yang dituakan, biasanya dianggap paling berpengetahuan dan shaleh. Tidak jarang Kiai juga merupakan mentor dari para pengajar di Pesantren. Justru aneh apabila sosok yang sangat kharismatik dalam kehidupan pesantren ini tidak dihormati oleh para santrinya. Janggal rasanya apabila para santri berinteraksi dengan Kiai sebagaimana dengan guru lainnya atau bahkan orang lain. Prinsip egaliter dalam kehidupan pondok pesantren justru bertentangan dengan adab kepada guru yang diajarkan dalam norma-norma Islam. Sikap tersebut berpotensi menimbulkan ketidakhormatan terhadap figur kiai dan dapat dianggap sebagai hal yang aneh.

Pada umumnya Kiai memiliki tiga peranan penting dalam pembinaan di Pesantren. Peranan tersebut adalah:

· Figur Sentral dan Kharismatik: Kiai dianggap sebagai figur yang paling berpengaruh dan dihormati di lingkungan pesantren. Kharisma dan kepemimpinan Kiai menjadi faktor utama dalam pembinaan akhlak para santri.

· Penentu Sistem Pendidikan: Berbekal ilmu agamanya yang mendalam, Kiai memiliki wewenang untuk menentukan dan mengarahkan sistem pendidikan di pesantren, termasuk kurikulum dan metode pembelajarannya, yang semuanya bertujuan untuk membentuk akhlak yang baik

· Sanad Keilmuan yang Kuat: Keilmuan seorang Kiai memiliki silsilah atau sanad yang jelas dan bersambung hingga ke sumber utamanya, yang memberikan legitimasi dan kepercayaan terhadap ajaran yang disampaikannya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Kiai bukan sebatas seorang pengajar, tetapi juga sosok pembimbing spiritual dan teladan yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk kepribadian dan moral para santri. Kiai merupakan sosok suri teladan bagi para santri dalam menjalankan nilai-nilai moral dan akhlak mulia. Santri tidak hanya mengharap ilmu dari kiai, tapi juga menuntut bimbingan dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, baik duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu, hubungan ini bersifat sangat personal dan berbasis rasa hormat yang mendalam. Tidak seperti hubungan dalam feodalisme yang jelas-jelas menunjukkan kesenjangan sosial.

Penting untuk menegaskan bahwa kiai bukanlah sosok seperti raja atau "lord" yang harus dipuja tanpa kritik oleh santrinya. Kiai lebih berfungsi sebagai pembimbing yang membimbing santri untuk mengenal dan mengamalkan ajaran agama dengan benar. Dalam kehidupan sehari-harinya Kiai lebih sering memilih hidup dalam kesederhanaan dan tidak bergelimang harta. Sangat berbeda dengan feodalisme yang sangat menguntungkan para pemilik tanah di mana mereka dapat terus mengumpulkan harta mereka atas kepemilikan tanah mereka, atau kaum bangsawan yang dapat masuk dengan mudahnya dalam lingkaran kekuasaan.

Dalam konteks ponpes Lirboyo, Kiai Anwar dari Pesantren Lirboyo lebih dikenal hidup sangat sederhana meski memiliki kedudukan tinggi sebagai seorang kiai besar. Beliau tidak menunjukkan sikap berlebihan atau mengangkat dirinya di atas santri, melainkan lebih memilih hidup rendah hati dan dekat dengan para santrinya. Berita yang dinarasikan oleh acara TV tersebut lebih terdengar seperti ujaran kebencian, informasi-informasi yang diberikan tidaklah bersifat primer, dan permainan narasi lebih bermain peran dibandingkan dengan fakta yang dibeberkan acara tersebut.

Maka dari itu, sudah jelas bahwa penghormatan santri terhadap kiai bukanlah bentuk feodalisme sebagaimana yang dipahami dalam sejarah sosial Eropa, melainkan manifestasi dari ajaran Islam tentang adab dan ta’dzim kepada guru. Tradisi pesantren menempatkan kiai bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai pembimbing spiritual yang menuntun santri menuju kedewasaan intelektual dan kematangan akhlak. Relasi ini dibangun atas dasar cinta, penghormatan, dan keikhlasan, bukan ketundukan karena hierarki sosial atau ekonomi. Karena itu, tudingan bahwa pesantren mereproduksi sistem feodal jelas keliru dan tidak memahami akar budaya keilmuan Islam yang menekankan etika sebelum ilmu.

Namun, di sisi lain, kita tengah menyaksikan fenomena yang sangat kontras di luar dunia pesantren — maraknya kasus murid yang justru melawan, menghina, bahkan menganiaya gurunya. Berita-berita semacam ini sering muncul di berbagai daerah, baik di kota besar maupun di sekolah-sekolah umum. Fenomena tersebut menunjukkan tergerusnya nilai adab dalam pendidikan modern, di mana guru tidak lagi dihormati sebagai sumber ilmu dan teladan moral. Ketika pendidikan hanya dipandang sebagai transaksi pengetahuan, maka hilanglah ruh penghormatan dan keteladanan yang menjadi pondasi keberhasilan belajar.

Dengan demikian, pesantren justru hadir sebagai benteng terakhir dalam menjaga nilai-nilai luhur hubungan murid dan guru. Tradisi ta’dzim terhadap kiai bukanlah praktik feodalisme, melainkan warisan spiritual yang menanamkan kesadaran bahwa ilmu harus disertai hormat dan kerendahan hati. Di tengah krisis moral dan merebaknya sikap anarkis di kalangan pelajar, pesantren dengan nilai-nilai adabnya seharusnya menjadi inspirasi, bukan objek kecurigaan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image