Keadilan Iklim atau Ilusi Hijau? Negara Berkembang di Tengah Agenda Global
Politik | 2025-10-15 18:31:57
Ditulis oleh : Chaterine Devinda
Di panggung diplomasi global, negara maju sering tampil sebagai penyelamat bumi. Mereka bicara lantang tentang carbon neutrality, green transition, dan “masa depan berkelanjutan.” Tapi di balik narasi mulia itu, ada ironi besar: negara-negara yang paling keras menyerukan keadilan iklim sering kali adalah yang paling banyak meninggalkan jejak karbon. Sementara negara berkembang—yang paling sedikit berkontribusi terhadap emisi global—malah jadi pihak yang paling menderita akibat perubahan iklim.
Inilah paradoks besar era climate diplomacy. Negara maju menuntut dunia untuk segera “hijau,” tapi lupa bahwa sebagian besar negara berkembang bahkan belum benar-benar pulih dari jeratan ekonomi, pandemi, atau krisis utang. Agenda hijau global seringkali tampak seperti proyek moral, padahal di baliknya ada kepentingan ekonomi dan geopolitik yang tak kalah besar.
Transisi Hijau, Tapi Siapa yang Bayar?
Mari bicara realitas. Transisi energi global bukan proses murah. Negara-negara maju seperti Jerman, Jepang, dan AS bisa dengan mudah mengalihkan sumber energi mereka ke terbarukan karena mereka punya modal, teknologi, dan infrastruktur. Tapi bagaimana dengan negara-negara di Global South?
Indonesia, misalnya, masih sangat bergantung pada batu bara untuk menopang industri dan kebutuhan listrik nasional. Ketika negara-negara maju mendesak agar pembangkit fosil segera dihentikan, muncul pertanyaan: siapa yang akan menanggung biayanya? Janji pendanaan iklim senilai US$100 miliar per tahun yang pernah diumumkan dalam Paris Agreement sampai sekarang masih belum sepenuhnya terealisasi. Sementara di lapangan, negara berkembang dipaksa memilih antara memenuhi kebutuhan rakyatnya atau mengikuti standar “hijau” yang ditentukan negara kaya.
Lebih jauh lagi, transisi hijau justru melahirkan bentuk baru ketimpangan: green colonialism. Negara maju kini berebut sumber daya penting seperti litium, nikel, dan kobalt—bahan utama untuk baterai kendaraan listrik—yang sebagian besar berada di negara berkembang seperti Indonesia, Kongo, dan Bolivia. Artinya, kolonialisme yang dulu soal rempah dan minyak, kini bergeser menjadi perebutan mineral hijau. Bumi tetap dieksploitasi, hanya saja kali ini dengan label “ramah lingkungan.”
Keadilan Iklim yang Masih Sebatas Wacana
Dalam forum-forum internasional seperti COP dan G20, istilah climate justice sering digaungkan. Tapi realisasinya sering berakhir pada janji-janji kosong. Negara maju menuntut negara berkembang menurunkan emisi, sementara mereka sendiri masih memberi subsidi besar untuk industri minyak dan gas mereka. Menurut laporan IEA (2023), lebih dari US$1 triliun subsidi energi fosil masih diberikan oleh negara-negara OECD di tahun 2022 — angka tertinggi dalam sejarah.
Selain itu, mekanisme seperti carbon credit juga memunculkan dilema baru. Negara kaya bisa “menebus” emisi mereka dengan membeli kredit dari negara berkembang. Secara teknis terdengar baik, tapi praktiknya sering membuat negara miskin kembali jadi “penyedia udara bersih” untuk dunia tanpa benar-benar memperoleh manfaat ekonomi berarti. Bahkan beberapa proyek carbon offset justru menyingkirkan masyarakat adat dari lahan mereka sendiri demi kepentingan korporasi hijau.
Keadilan iklim sejatinya bukan cuma tentang pengurangan emisi, tapi juga tentang pembagian tanggung jawab yang adil. Negara berkembang butuh ruang untuk tumbuh — seperti yang dulu dinikmati oleh Barat selama Revolusi Industri. Jika standar global hanya menguntungkan yang sudah maju, maka “transisi hijau” tidak lebih dari rebranding ketimpangan global dengan warna hijau pastel.
Penutup: Dari Ilusi ke Solidaritas Nyata
Krisis iklim memang nyata, tapi solusinya tidak bisa dibangun di atas ketidakadilan lama. Dunia tidak butuh lebih banyak janji hijau, tapi aksi nyata yang memperhitungkan konteks sosial dan ekonomi setiap negara. Jika negara maju benar-benar ingin memimpin perubahan, mereka harus mulai dengan mengakui tanggung jawab historis mereka—dan membayar utang karbonnya, bukan dengan pidato, tapi dengan transfer teknologi dan pendanaan yang konkret.
Keadilan iklim hanya bisa tercapai kalau kita berhenti melihat transisi energi sebagai perlombaan moral, dan mulai memandangnya sebagai proyek kemanusiaan bersama. Sebab bumi tidak butuh pahlawan yang pandai berbicara, tapi sekutu yang mau bertindak.
Dan sampai hari itu tiba, “ekonomi hijau” mungkin tak lebih dari cat ulang kapitalisme lama—lebih bersih di permukaan, tapi tetap kotor di dalamnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
