Greenwashing Global: Ketika Janji Iklim Jadi Alat Politik Negara Maju
Politik | 2025-10-15 14:56:06Oleh : Faatihah Syifa Azzahra
Janji Hijau yang Tak Sepenuhnya Tulus
Dalam satu dekade terakhir, dunia seolah memasuki era “hijau”. Konferensi iklim digelar hampir tiap tahun, negara maju bicara soal net zero emissions, dan perusahaan besar berlomba-lomba menampilkan citra ramah lingkungan. Tapi di balik jargon megah seperti Green Deal atau Climate Leadership, ada aroma lain yang tak sedap — politik kepentingan yang dibungkus dengan daun hijau. Fenomena ini dikenal sebagai greenwashing global, ketika isu lingkungan bukan lagi
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa sering tampil di panggung internasional sebagai pahlawan iklim. Mereka mengklaim memimpin transisi energi bersih dan menekan emisi karbon. Namun, data menunjukkan realitas yang jauh dari ideal. Laporan Climate Action Tracker 2024 menyebutkan bahwa hanya sedikit negara maju yang berada di jalur konsisten menuju target 1,5°C sesuai Perjanjian Paris. AS, misalnya, masih menjadi produsen minyak terbesar di dunia dengan lebih dari 12 juta barel per hari — ironi besar bagi negara yang mengaku pemimpin transisi energi hijau.
Kepentingan Ekonomi di Balik “Kepedulian Iklim”
Kepedulian negara maju terhadap isu iklim sering kali berhenti di level diplomasi. Banyak kebijakan hijau justru berujung memperkuat posisi ekonomi mereka dan menekan negara berkembang. Misalnya, kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa yang mulai berlaku pada 2026. Secara resmi, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah “kebocoran karbon” — agar produk impor dari negara dengan emisi tinggi tak merusak target iklim Eropa. Tapi dalam praktiknya, CBAM justru menjadi bentuk proteksionisme hijau yang menekan ekspor negara berkembang di Asia dan Afrika.
Indonesia termasuk yang terdampak. Industri baja dan semen kita diproyeksi bakal kehilangan daya saing karena biaya tambahan dari mekanisme karbon itu. Di sinilah terlihat paradoks besar: negara maju bicara soal keadilan iklim, tapi tetap menutup akses ekonomi negara lain lewat kebijakan sepihak. Dalam diplomasi internasional, ini bukan sekadar soal lingkungan, tapi alat untuk menjaga dominasi ekonomi dan politik global.
Selain itu, negara maju juga masih bergantung pada energi fosil yang mereka sembunyikan lewat retorika investasi hijau. Banyak proyek renewable energy di Afrika dan Asia yang dibiayai lembaga donor Barat ternyata menggunakan skema utang, bukan hibah. Hasilnya? Negara berkembang terjebak dalam “utang hijau” yang justru membatasi kedaulatan energi mereka. Dengan dalih mendukung pembangunan berkelanjutan, negara maju mengarahkan kebijakan energi global agar tetap bergantung pada teknologi dan modal mereka.
Saat Dunia Butuh Kejujuran, Bukan Sekadar Janji
Dunia sedang butuh kejujuran lebih dari sekadar janji hijau. Ketika suhu global telah meningkat 1,2°C dibandingkan era pra-industri dan 2023 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah, diplomasi hijau seharusnya tidak lagi menjadi ajang pencitraan. Negara maju harus mengakui bahwa tanggung jawab utama ada di pundak mereka. Data dari World Resources Institute menunjukkan bahwa 23 negara maju menyumbang lebih dari 70% total emisi historis dunia — utang karbon yang belum terbayar hingga kini.
Sayangnya, hingga COP28 di Dubai, janji pendanaan iklim senilai 100 miliar dolar AS per tahun untuk negara berkembang belum terealisasi penuh. Banyak negara maju masih berdebat soal definisi “bantuan” dan “investasi”, seolah-olah masa depan bumi adalah urusan akuntansi. Padahal, yang dibutuhkan adalah kemauan politik untuk benar-benar mengubah sistem energi global — bukan sekadar mengganti slogan.
Kita hidup di zaman di mana label “hijau” bisa jadi alat untuk menutupi kerakusan. Greenwashing global bukan cuma kebohongan korporasi, tapi juga kebijakan internasional yang membiarkan ketimpangan terus berlangsung. Selama negara maju masih menggunakan isu iklim sebagai alat diplomasi, bukan komitmen moral, maka krisis iklim tak akan pernah benar-benar selesai — hanya berganti narasi, dari janji ke janji, tanpa perubahan nyata.
Kini, saatnya dunia menuntut transparansi. Jika negara maju benar-benar ingin disebut pemimpin iklim, mereka harus berhenti menjadikan “hijau” sebagai warna politik dan mulai menjadikannya prinsip hidup. Karena bumi tidak butuh pahlawan pencitraan, tapi komitmen yang nyata — sebelum yang tersisa hanya warna abu-abu dari langit yang terbakar.tentang penyelamatan bumi, tapi strategi diplomasi dan dominasi ekonomi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
