Ponpes Ambruk, Negara Terlambat Hadir: Saat Pendidikan Jadi Taruhan Nyawa
Politik | 2025-10-15 17:35:15Suasana duka masih menyelimuti Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khaziny di Sidoarjo, Jawa Timur. Bangunan empat lantai yang berdiri megah di tepi jalan itu kini tinggal tumpukan beton dan debu. Saat azan Asar berkumandang, ratusan santri tengah menunaikan salat di lantai dua — tanpa pernah menyangka, beberapa detik kemudian, langit-langit di atas mereka akan runtuh.
Dilansir dari Detik.com (05/10/2025) mencatat, 37 santri meninggal dunia dan sekitar 160 orang menjadi korban akibat reruntuhan bangunan. Sementara itu, laporan MetroTV News (04/10/2025) menyebutkan masih ada puluhan korban yang belum ditemukan. Tim SAR bekerja siang malam, berjuang di antara puing dan tangis keluarga yang menunggu di luar pagar ponpes.
Bangunan Rapuh, Pengawasan Longgar
Dugaan awal mengarah pada konstruksi bangunan yang tidak kuat menahan beban empat lantai. Pengawasan pembangunan pun disebut lemah. Seperti banyak pesantren lainnya, gedung ini dibangun dengan dana swadaya masyarakat — sumbangan dari wali santri dan donatur lokal — tanpa pendampingan teknis memadai dari pemerintah.
Fenomena ini bukan hal baru. Di berbagai daerah, sekolah dan pesantren kerap berdiri berkat semangat gotong royong, bukan dukungan anggaran negara. Namun semangat itu tak bisa menutupi fakta pahit bahwa banyak fasilitas pendidikan di Indonesia yang tidak memenuhi standar keselamatan.
Tragedi Sidoarjo menjadi pengingat bahwa negara belum sepenuhnya hadir dalam urusan mendasar yakni menjamin tempat belajar yang aman bagi anak-anak.
Tanggung Jawab Negara, Bukan Sekadar Formalitas
Dalam ajaran Islam, tanggung jawab penyediaan pendidikan — termasuk sarana dan fasilitasnya — berada di tangan negara. Negara wajib memastikan setiap warga mendapatkan akses pendidikan yang layak, dengan bangunan yang aman dan berkualitas. Pembiayaannya idealnya berasal dari Baitul Mal, lembaga keuangan negara yang mengelola dana publik untuk kebutuhan masyarakat, bukan dari sumbangan masyarakat yang serba terbatas.
Artinya, pondok pesantren maupun sekolah swasta tidak boleh dibiarkan berdiri tanpa standar keamanan yang jelas hanya karena keterbatasan dana. Keselamatan peserta didik adalah hak, bukan kemurahan hati donatur.
Pemerintah Diminta Berbenah
Menanggapi peristiwa ini, Menteri Agama Nasaruddin Umar, sebagaimana dikutip Kompas.id (02/10/2025), menyatakan akan melakukan evaluasi nasional terhadap seluruh bangunan pesantren dan rumah ibadah. Langkah ini disambut baik, namun publik berharap evaluasi tak berhenti pada pendataan dan seremonial.
Lebih dari itu, perlu ada sistem yang memastikan setiap lembaga pendidikan — dari kota hingga pelosok desa — dibangun dengan standar konstruksi yang aman dan pengawasan pemerintah yang aktif.
Cermin Buram Sistem Pendidikan
Ambruknya gedung Ponpes Al Khaziny bukan sekadar kecelakaan bangunan, melainkan cermin buram dari wajah pendidikan kita. Di balik jargon pemerataan pendidikan, masih banyak lembaga yang berjuang sendirian membangun fasilitas dari dana sumbangan, tanpa dukungan penuh negara.
Jika negara terus membiarkan rakyat menanggung sendiri beban pendidikan, maka tragedi serupa hanya menunggu waktu. Sudah saatnya pemerintah menunaikan kewajiban yang sejatinya melekat sejak awal: menjadi penjamin keselamatan dan penyedia utama fasilitas pendidikan yang layak bagi seluruh rakyat.
Referensi:
- Detik.com, “Data Terbaru Korban Tewas Ponpes Al Khaziny Sidoarjo Ambruk Jadi 37 Orang”, 14 Oktober 2025.
- MetroTVNews.com, “48 Korban Ponpes Al Khaziny Belum Ditemukan, Evakuasi Fokus ke Titik Reruntuhan”, 14 Oktober 2025.
- Kompas.id, “Berkaca dari Sidoarjo, Menteri Agama: Bangunan Ponpes dan Rumah Ibadah Bakal Dievaluasi”, 14 Oktober 2025.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
