Transisi Energi Atau Transisi Kepentingan?
Politik | 2025-10-15 14:42:35
Oleh : Dzakki Marshallino Arnic
Dunia sekarang seolah sedang berlomba jadi “hijau”. Negara-negara maju sibuk
pamer target net zero emission, gembar-gembor soal energi bersih, dan bangga memimpin
transisi energi global. Tapi di balik semua konferensi megah dan kampanye ramah
lingkungan itu, muncul pertanyaan besar: apakah mereka benar-benar ingin
menyelamatkan bumi, atau cuma mengganti wajah dari sistem lama yang sama rakusnya?
Kalau dilihat lebih dalam, transisi energi yang diklaim “revolusioner” itu sering
kali nggak lebih dari rebranding politik dan ekonomi. Negara-negara kaya memang
mengurangi ketergantungan pada batu bara dan minyak di wilayah mereka, tapi di saat
yang sama, mereka tetap memindahkan eksploitasi sumber daya ke negara-negara
berkembang. Lihat aja bagaimana permintaan global atas nikel, litium, dan kobalt —
bahan baku utama baterai mobil listrik — melonjak drastis. Dan siapa yang nyediain
bahan itu? Negara-negara di Selatan: Indonesia, Kongo, Bolivia, Chile.
Industri yang disebut “hijau” itu ternyata juga punya jejak kotor sendiri. Tambang
nikel di Sulawesi misalnya, memang mendukung produksi baterai untuk energi bersih,
tapi limbahnya mencemari laut dan merusak ekosistem pesisir. Ironinya, proyek ini
sering dibungkus dengan label green investment dari perusahaan asing, seolah semuanya
untuk masa depan bumi. Padahal di lapangan, masyarakat lokal masih menghadapi
polusi, deforestasi, dan ketimpangan ekonomi yang sama kayak dulu.
Janji Hijau yang Penuh Abu
Kalau kita telusuri, transisi energi global sekarang lebih mirip transisi
kepentingan. Negara maju ingin mempertahankan posisi mereka di ekonomi global,
cuma dengan kemasan baru: teknologi hijau. Dulu mereka kuasai minyak dan batu bara,
sekarang mereka kuasai rantai pasok baterai, energi terbarukan, dan kredit karbon.
Sistemnya tetap sama: mereka desain kebijakan, mereka pegang teknologi,
mereka yang untung paling besar. Negara berkembang cuma jadi “lahan eksperimen”
atau penyedia bahan mentah murah. Contohnya, banyak negara kaya yang menerapkan
carbon border adjustment — semacam pajak karbon atas produk dari negara lain yang
dianggap “tidak ramah lingkungan”. Kedengarannya bagus, tapi dampaknya bisa bikin
industri di negara berkembang makin sulit bersaing di pasar global.
Mereka bilang ini demi planet, tapi sebenarnya demi melindungi pasar domestik
mereka sendiri. Jadi, negara maju terlihat bersih karena mereka memindahkan emisi dan
produksi kotor ke luar negeri. Istilahnya: they outsource pollution. Bahkan beberapa
perusahaan energi besar di Eropa masih aktif mendanai proyek minyak dan gas di Afrika
dan Asia Tenggara, sambil di negaranya sendiri pamer investasi panel surya. Ini bukan
transisi sistem, ini cuma pergantian kostum — dari batubara ke litium, dari minyak ke
data, dari dominasi lama ke dominasi yang lebih halus.
Keadilan Energi, Bukan Sekadar Energi Bersih
Yang sering dilupakan dalam wacana transisi energi adalah soal keadilan. Dunia
memang perlu berubah, tapi perubahan itu nggak boleh mengulang ketimpangan lama.
Negara-negara berkembang nggak bisa terus dipaksa nurunin emisi tanpa dapat
dukungan finansial dan teknologi yang memadai.
Indonesia misalnya, sudah berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission pada
2060. Tapi untuk itu, butuh investasi ratusan miliar dolar, infrastruktur baru, dan
transformasi industri besar-besaran. Kalau negara maju beneran serius mau bantu,
seharusnya mereka berhenti ngasih utang dengan bunga tinggi atas nama “pembiayaan
hijau”. Yang dibutuhkan adalah transfer teknologi dan skema pendanaan yang adil —
bukan jebakan utang yang ujung-ujungnya bikin kita tetap tergantung pada mereka.
Di forum-forum seperti COP (Conference of the Parties), narasi “kita semua punya
tanggung jawab bersama” sering kedengaran indah, tapi kenyataannya nggak seimbang.
Negara kaya sudah ratusan tahun menikmati keuntungan dari energi kotor, sedangkan
negara berkembang baru mulai tumbuh. Jadi, wajar kalau kita minta ada tanggung jawab
historis: mereka harus bayar lebih, bantu lebih, dan berubah lebih dulu.
Transisi energi sejati seharusnya bukan cuma soal mengganti sumber energi, tapi
mengganti cara berpikir. Dari sistem yang berbasis eksploitasi, menuju sistem yang
berbasis solidaritas dan keberlanjutan. Kalau negara maju masih memegang semua
kendali ekonomi dan teknologi, transisi ini cuma akan melahirkan bentuk kolonialisme
baru — kolonialisme hijau.
Dan jujur aja, kita udah terlalu sering lihat pola yang sama. Dulu kolonialisme
datang lewat perdagangan rempah, lalu lewat minyak, dan sekarang lewat “energi
bersih”. Bedanya cuma alat dan narasinya. Tapi intinya tetap: negara kuat ngatur, negara
lemah disuruh nurut.
Kalau dunia mau benar-benar berubah, transisi energi harus disertai redistribusi
kekuasaan ekonomi global. Negara berkembang harus punya ruang buat menentukan
arah transisi sendiri — sesuai kebutuhan dan konteksnya. Karena buat banyak negara di
Selatan, prioritasnya bukan cuma emisi nol, tapi juga kemiskinan nol, ketimpangan nol,
dan ketergantungan nol.
Jadi ya, selama negara maju masih sibuk mempercantik citra tanpa mau
ngerombak sistem, “transisi energi” nggak lebih dari sandiwara global yang diiringi
musik ramah lingkungan. Bumi mungkin kelihatan lebih hijau di layar konferensi, tapi
di lapangan, warna abu-abu polusi dan ketimpangan tetap sama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
