Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Naia Fathiya Ramadhani

Nasionalisme Alternatif di Balik Bendera Jolly Roger

Culture | 2025-10-15 12:23:40
Bendera Jolly Roger dikibarkan dalam Aksi Kamisan ke-873 di Jakarta, Kamis (14/8/2025). (Foto: Dokumentasi pribadi penulis)

Fenomena Jolly Roger milik kru topi jerami dari serial One Piece yang marak berkibar di ruang publik telah menjadi pusat perhatian di tanah air. Fenomena ini muncul bertepatan dengan momen perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Bendera milik kru topi jerami tersebut tidak hanya muncul di media sosial, tetapi juga terlihat di rumah-rumah warga, kendaraan, hingga ruang publik. Semangat petualangan dan kebebasan yang melekat pada One Piece telah menggerakkan generasi muda mengekspresikan diri mereka dengan cara yang belum pernah terlihat seintens ini. Namun, respons pemerintah terhadap tren ini menimbulkan perdebatan luas. Pemerintah terlihat resah, bahkan beberapa pejabat menganggap pengibaran bendera One Piece sebagai simbol yang dapat menggoyahkan rasa nasionalisme dan persatuan bangsa. Sementara itu, masyarakat sipil dan aktivis hak asasi manusia menilai sikap pemerintah terlalu berlebihan.

Regulasi dan Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 menegaskan bahwa simbol negara, seperti bendera dan lambang negara, harus dijaga kehormatannya. Pasal 24 melarang tindakan merusak, menginjak, membakar, mencoret, menulis, menggambar, atau bentuk lain yang dapat dianggap merendahkan simbol negara. Ketentuan serupa juga ditegaskan dalam Pasal 57 bahwa lambang negara tidak boleh diperlakukan secara tidak pantas dengan maksud melecehkan atau merusak martabatnya.

Selain itu, dalam perspektif hak asasi manusia, termasuk hak kebebasan berekspresi yang diatur dalam konstitusi dan perjanjian internasional, setiap orang tetap memiliki hak untuk menyampaikan pendapat. Namun, aturan tersebut tidak secara eksplisit menyebut simbol budaya populer seperti Jolly Roger dalam One Piece, sehingga ruang interpretasi tetap terbuka apakah penggunaannya termasuk pelanggaran atau tidak. Selama penggunaan simbol tersebut tidak dimaksudkan untuk menodai atau menghina lambang resmi negara, maka ekspresi itu pada dasarnya termasuk dalam ranah hak konstitusional warga negara.

Jolly Roger sebagai Media Ekspresi Nasionalisme Alternatif

Jolly Roger, simbol bajak laut dalam One Piece, pada hakikatnya bukan sekadar tengkorak dan tulang bersilang. Di dunia One Piece, bendera itu adalah lambang persaudaraan, solidaritas, dan tekad untuk berlayar bersama melawan ketidakadilan. Bagi generasi muda Indonesia, mengibarkan Jolly Roger bukan berarti ingin meruntuhkan Merah Putih, melainkan cara untuk menunjukkan rasa kebersamaan di tengah kekecewaan terhadap situasi negara.

Generasi muda memilih Jolly Roger karena simbol itu membawa pesan kebebasan, kesetiaan antar kawan, dan keberanian menentang nilai yang mereka rasa semakin jauh dari realitas politik Indonesia. Mereka tidak menolak bendera nasional, tapi mereka merasa Merah Putih saat ini sering dikapitalisasi oleh elit politik untuk kepentingan personal, sementara rakyat biasa sering dikesampingkan. Dalam konteks itu, Jolly Roger menjadi media alternatif untuk menyuarakan keresahan, semacam “bahasa simbol” yang lebih dekat dengan perspektif mereka.

Penolakan menggunakan bendera nasional bukan karena hilangnya cinta tanah air, melainkan bentuk jarak emosional akibat kebijakan pemerintah yang sering dianggap semena-mena. Mulai dari eksploitasi sumber daya alam yang merugikan masyarakat lokal, kriminalisasi aktivis lingkungan, hingga maraknya korupsi yang menghancurkan kepercayaan publik. Generasi muda mengibarkan Jolly Roger sebagai tanda bahwa mereka masih mencintai Indonesia, tapi sedang kecewa pada bagaimana negara yang dicintainya dikelola.

Persepsi Ancaman dalam Fenomena Jolly Roger

Dalam literatur Fiona Kun Yao et al. (2023), penting untuk membedakan antara ancaman simbolik dan ancaman realistis. Ancaman simbolik merujuk pada persepsi adanya bahaya terhadap nilai, moral, atau identitas suatu kelompok, sedangkan ancaman realistis berkaitan dengan potensi kerugian nyata yang bersifat material, ekonomi, atau keamanan fisik Ancaman simbolik cenderung memicu respons yang kaku dan defensif karena dianggap menyentuh ranah moral dan integritas, sedangkan ancaman realistis justru mendorong respons yang lebih adaptif dan pragmatis untuk mengurangi risiko kerugian nyata

Jika dikaitkan dengan fenomena Jolly Roger, yang muncul saat ini lebih condong pada ancaman simbolik daripada ancaman realistis. Tidak ada bukti resmi mengenai penodaan lambang negara akibat pengibaran Jolly Roger, tidak ditemukan indikasi adanya tindakan kriminal terstruktur, dan tidak terdapat organisasi yang secara nyata menggunakan simbol tersebut untuk tujuan separatis atau makar. Kekhawatiran pemerintah lebih banyak berakar pada potensi ancaman simbolik, yakni bagaimana simbol budaya pop ini dipersepsikan dapat menggeser makna atau wibawa simbol negara, bukan pada ancaman nyata yang bersifat langsung terhadap keamanan nasional.

Berangkat dari keseluruhan pembahasan, fenomena pengibaran Jolly Roger di ruang publik sebetulnya lebih mencerminkan dinamika ekspresi generasi muda daripada ancaman serius terhadap negara. Regulasi memang memberikan batasan jelas mengenai penggunaan simbol negara, tetapi tidak menyinggung secara spesifik simbol budaya populer. Dalam ruang itulah kebebasan berekspresi warga negara seharusnya dihormati, selama tidak ada niat untuk menodai lambang resmi negara. Bagi generasi muda, Jolly Roger bukanlah bentuk perlawanan terhadap Merah Putih, melainkan saluran alternatif untuk mengartikulasikan kekecewaan, keresahan, sekaligus harapan terhadap negara tercinta.

Pemerintah tentu berhak menjaga kewibawaan simbol negara, namun respons yang terlalu resah justru berisiko memperlebar jarak antara negara dan masyarakat, terutama anak muda. Negara sebaiknya hadir untuk mengembalikan kepercayaan publik, sehingga cinta tanah air tidak lagi membutuhkan media alternatif untuk disuarakan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image