Pengaruh Media Sosial terhadap Sistem Reward Otak melalui Aktivitas Dopamin
Eduaksi | 2025-10-13 21:11:52Media sosial menjadi salah satu fenomena yang sangat berpengaruh dalam kehidupan modern saat ini. Adanya media sosial telah mengubah cara orang berinteraksi, memperoleh informasi, dan bahkan membentuk identitas mereka. Bagi sebagian orang, membuka media sosial adalah rutinitas pertama mereka setelah bangun tidur dan terakhir sebelum tidur.
Fenomena ini bukan sekadar masalah gaya hidup, tetapi juga melibatkan mekanisme biologis yang kompleks dalam tubuh manusia, terutama otak. Salah satu neurotransmitter yang memiliki peran penting dalam hubungan antara penggunaan media sosial dan perilaku manusia adalah dopamin.
Zat kimia otak ini sering disebut "hormon kebahagiaan" karena keterlibatannya dalam sistem penghargaan (reward system), yang mendorong manusia untuk mengulangi perilaku yang menghasilkan kepuasan. Dalam konteks media sosial, pelepasan dopamin memiliki peran penting dalam membentuk kebiasaan dan berpotensi menyebabkan kecanduan digital.
Dari perspektif biopsikologi, otak manusia memiliki mekanisme sistem penghargaan yang berfungsi untuk memperkuat perilaku yang dianggap menyenangkan atau bermanfaat. Sistem ini melibatkan jalur dopaminergik, terutama di area otak seperti ventral tegmental area (VTA) dan nucleus accumbens. Ketika seseorang menerima pengalaman yang menyenangkan, seperti menerima pujian, menyantap makanan favorit, atau sekadar mendengarkan musik favorit, otak melepaskan dopamin sebagai bentuk "hadiah" biologis.
Pelepasan dopamin dapat menciptakan rasa puas dan meningkatkan motivasi untuk mengulangi pengalaman tersebut. Media sosial bekerja dengan cara yang serupa. Setiap kali pengguna menerima notifikasi, komentar positif, atau peningkatan jumlah like, sistem penghargaan otak diaktifkan. Hal ini menjelaskan mengapa media sosial mampu membuat pengguna terus terdorong untuk membuka aplikasi.
Pelepasan dopamin selama penggunaan media sosial bersifat intermiten atau tidak menentu. Pengguna tidak menerima jumlah like atau komentar yang sama setiap kali mereka membuka aplikasi. Pola ini dikenal sebagai variable ratio reinforcement, salah satu bentuk penguatan paling efektif dalam teori pembelajaran. Pola ini juga ditemukan dalam kecanduan judi, di mana ketidakpastian hasil mendorong individu untuk terus-menerus mengejar "hadiah" berikutnya.
Dalam konteks media sosial, ketidakpastian tentang jumlah interaksi yang diterima pengguna mendorong otak untuk melepaskan lebih banyak dopamin ketika pengalaman positif itu benar terjadi. Akibatnya, individu merasa semakin sulit untuk mengendalikan keinginan mereka untuk memeriksa media sosial, meskipun mereka menyadari bahwa perilaku ini tidak produktif.
Meskipun sering dikaitkan dengan efek negatif, aktivitas dopamin yang dipicu oleh media sosial tidak selalu merugikan. Beberapa situasi, media sosial dapat menjadi sumber motivasi, dukungan emosional, dan rasa kebersamaan. Misalnya, ketika seseorang menerima apresiasi atas hasil karya yang dibagikan, hal itu dapat meningkatkan kepercayaan diri dan mendorong produktivitas.
Interaksi sosial yang positif di media sosial juga dapat mengurangi kesepian dan memberikan dukungan psikologis, terutama bagi individu yang memiliki keterbatasan untuk berinteraksi langsung. Dari perspektif biopsikologis, aktivitas dopamin yang sehat dapat memperkuat perilaku adaptif, seperti berbagi pengetahuan, menjaga koneksi sosial, atau memupuk solidaritas dalam komunitas.
Namun, pelepasan dopamin yang terus-menerus akibat penggunaan media sosial yang berlebihan dapat berdampak negatif. Otak manusia memiliki mekanisme homeostatis yang menjaga keseimbangan zat kimia. Ketika dopamin dilepaskan terlalu sering, sensitivitas reseptor dopamin dapat menurun, sehingga membutuhkan stimulasi yang lebih besar untuk merasakan kepuasan yang sama. Akibatnya, seseorang dapat menghabiskan waktu lebih lama di media sosial tanpa merasa benar-benar puas.
Kondisi ini dapat menyebabkan kecanduan digital, penurunan kualitas tidur, penurunan produktivitas, dan bahkan memicu gangguan mental seperti kecemasan atau depresi. Dari perspektif biopsikologis, fenomena ini mirip dengan kecanduan zat adiktif, karena melibatkan mekanisme otak yang sama dengan sistem penghargaan.
Memahami hubungan antara media sosial dan aktivitas dopamin memberikan wawasan penting tentang bagaimana teknologi memengaruhi perilaku manusia secara biologis. Bagi mahasiswa psikologi, fenomena ini menyoroti hubungan erat antara biologis dan perilaku sosial.
Studi tentang dopamin dan media sosial membuka peluang untuk mengembangkan strategi intervensi di bidang pendidikan, kesehatan mental, dan terapi perilaku. Misalnya, terapi perilaku kognitif dapat digunakan untuk membantu individu mengelola dorongan media sosial yang berlebihan. Pemahaman ini dapat digunakan untuk merancang interaksi digital yang lebih sehat, dengan mempertimbangkan dampak biologis dari notifikasi, algoritma, dan fitur hadiah dalam aplikasi.
Pengaruh media sosial terhadap aktivitas dopamin di otak adalah contoh nyata bagaimana fenomena sehari-hari dapat dijelaskan dari perspektif biopsikologis. Media sosial bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana untuk berinteraksi langsung dengan sistem penghargaan otak manusia. Aktivitas dopamin yang dihasilkan dapat memberikan dampak positif berupa motivasi, dukungan sosial, dan perasaan bahagia.
Namun, penggunaan yang berlebihan dapat menimbulkan kecanduan, penurunan produktivitas, bahkan gangguan kesehatan mental. Oleh karena itu, kesadaran mekanisme biologis ini sangat penting untuk mendorong penggunaan media sosial yang bijak. Dengan pengelolaan yang tepat, media sosial dapat digunakan secara sehat, tanpa mengorbankan keseimbangan emosional dan kesehatan otak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
