Memikul Tanggung jawab Kolektif; Belajar dari Fukushima
Eduaksi | 2022-03-09 20:09:47Izaki Haruka, pimpinan penyelamatan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) Fukushima itu segera melakukan briefing kepada timnya, beberapa jam sebelumnya, hantaman air laut bermeter-meter kubik tersebab tsunami ini meluluh lantahkan reaktor-reaktor nuklir di berbagai gedung. Tidak selesai disitu, jika tidak segera didinginkan dengan upaya manual, maka akan berpotensi menjadi ledakan besar dan menghancurkan separuh negara Jepang. Kabar buruknya, upaya manual itu mengharuskan untuk dibukanya beberapa saklar dengan tangan langsung (bukan dengan bantuan mesin), sehingga harus masuk ke lokasi gedung reaktor nuklir terdampak. Jika tidak berhasil, ancaman terbakar disana akan menunggu, ditambah resiko tertanam bersama runtuhan gedung beserta suhu panas beribu derajat celcius.
Apa yang dilakukan Pak Izaki ketika briefing singkat itu ?, beliau menyampaikan betapa pentingnya upaya penyelamatan ini, jika reaktor ini selamat, maka selamatlah Jepang. Beliau juga berniat untuk "mengikhlaskan dirinya" untuk masuk kesana, sembari menawarkan siapa saja yang hendak ikut dengannya dengan mengangkat tangannya masing-masing. Dengan berurai air mata, teman-temannya satu persatu mengangkat tangannya masing-masing, walau diiringi dengan tangisan kesedihan yang tak pernah disangkanya sebelumnya. Tak dinyana, semua orang di ruangan itu, perlahan namun pasti, bersiap sedia bahkan dengan bertaruh nyawa untuk berkontribusi terhadap upaya penyelamatan.
Potongan frame ini merupakan cuplikan singkat dari film yang berjudul Fukushima 50 yang disutradarai oleh Setsurō Wakamatsu, dirilis pada tahun 2020 silam. Film epic ini berdasarkan kisah nyata penyelamatan PLTN di Fukushima Jepang pada tahun 2011. Kejadian gempa besar 9 SR yang akhirnya mengakibatkan mega tsunami, diikuti dengan resiko ledakan reaktor nuklir yang berpotensi “menghapuskan” separuh Jepang.
Kejadian nyata ini berlanjut. Dengan berbagai kepanikan masyarakat yang tak kalah bingar, ditempat lain, kondisi berikutnya ternyata mengharuskan penduduk sekitar untuk dievakuasi ketempat lain yang lebih aman. Dalam waktu kurang dari setengah jam, sekian ribu penduduk dari berbagai tempat harus segera dipindahkan. Kondisi menegangkan bercampur ketegangan ini dirasakan karena kekhawatiran reaktor nuklir akan meledak sewaktu-waktu, dibarengi dengan banyak warga yang harus mengikhlaskan rumahnya, karena hantaman air laut yang masuk ke rumah-rumah mereka dipastikan merubuhkan tempat tinggal mereka dan menghanyutkan harta bendanya. Sehingga situasi kepanikan itu melebur menjadi satu tumpah ruah disana, diiringi dengan suara sirine yang bertalu-talu dan dibarengi suara petugas dari alat pengeras suara yang berulang-ulang.
Penanganan bencana besar ini diprediksi tidak hanya berlangsung satu atau dua malam saja. Situasi bencana kompleks dalam satu waktu dibarengi dengan tingkat kesulitan penyelesaian teknis, beserta keharusan memindahkan warga masyarakatnya yang jumlahnya tak sedikit ini juga menambah kontribusi masalah.
Setelah berhasil dievakuasi, warga korban bencana ini disediakan tenda-tenda dan lapangan luas yang aman untuk tempat dropping makanan dan minuman sebagai upaya antisipasi makin banyaknya korban yang bertambah. Walaupun dalam kondisi krisis sekalipun, Jepang tetaplah Jepang, warganya tetap patuh dan antri mengular sepanjang-panjangnya. Sejumlah mesin dan penyedia makanan dan minuman otomatis dibuka secara gratis untuk mereka.
Tidak ada penjarahan yang terjadi di daerah bencana walaupun krisis makanan terjadi. Orang Jepang tetap antri dengan tertib, serta membayar sesuai harga. Mereka tidak berdalih “bencana” untuk melakukan penjarahan. Tidak ada keegoisan di sini, luar biasa.
Warga Jepang seperti sudah memiliki karakter “default” untuk tetap antri dan tertib, walau dalam kondisi genting sekalipun. Mereka meyakini, jika mereka bisa memikul kondisi ini bersama-sama, maka lebih cepat bencana ini ditangani, pada akhirnya berdampak pada diri mereka sendiri juga.
Cerita Pak Izaki Haruka beserta timnya diatas, adalah kisah tentang upaya penanggungan bersama, alih-alih untuk lari dari tanggung jawab, mereka memilih untuk bersama-sama meyelesaikan bencana itu dengan tangan mereka sendiri. Begitu juga dengan hebatnya ketertiban antrian ribuan warga Jepang saat krisis, adalah juga tentang persepsi upaya penanggungan bersama. Jika seribu tangan bisa membantu, maka seribu masalah yang hadir sekalipun, akan cepat terselesaikan.
Netizen Indonesia
Pada Januari 2021, setelah hampir satu tahun penanganan pandemi covid19 di negeri ini (dari semenjak Maret 2020). Hootsuite melaporkan bahwa 202,6 juta warga Indonesia terhubung ke internet. Jumlah ini merupakan 73,7% dari jumlah populasi yang ada. “Arus besar” yang biasa disebut netizen ini sehari-harinya jika dirata-rata membanjiri lalu lintas dunia maya selama 8 jam 52 menit. Informasi berikutnya dapat Anda baca pada infografis berikut.
Boleh diduga, dengan bergantinya cara kerja menjadi work from home, aktivitas sekolah berpindah menjadi Belajar dari Rumah (BDR), dan berbagai macam aktivitas lainnya yang mengalami “mitigasi” ke rumah, merupakan kontributor terbesar dari munculnya angka-angka ini.
Angka-angka ini memberikan dua kabar sekaligus bagi kita, kabar baiknya, banyak warga Indonesia yang telah terhubung dengan internet, sehingga mereka dapat terkoneksi dengan berbagai sumber informasi yang tak terhitung, ranah percakapan yang semakin bervariasi, serta menciptakan jenis-jenis profesi baru yang sebelumnya kurang “terdengar”. Ada vlogger, youtuber, selebgram, dan berbagai macam istilah pada ranah content creator. Tidak sedikit diantara mereka yang telah berhasil “memindahkan” tempat kerjanya di ruang maya, sehingga berhasil memperoleh pendapatan yang “wah”. Para influencer ini bermunculan, bak jamur dimusim penghujan, bahkan karya-karya mereka juga banyak menghiasi program acara televisi nasional, sebagai pertanda bahwa magnet besar industri media dimasa depan lambat laun akan bergeser ke wilayah digital.
Namun, konektivitas raksasa ini juga menghadirkan “wajah suram” disisi lain. Kominfo melaporkan, pada 3 atau 4 bulan pertama dimasa pandemi saja, tercatat 1.401 sebaran informasi hoaks tentang covid19 yang memenuhi jagat maya. Jika tak segera diantisipasi, informasi hoaks yang berantai ini, seperti bola salju yang makin membesar seiring waktu sehingga makin susah untuk diredam dan diklarifikasi. Kemudahan untuk berbagi informasi ke jagat maya, jika tak dikelola dengan baik, akan menimbulkan “infodemik” baru, jika pandemi mengakibatkan penyakit massal diberbagai tempat, maka “infodemik” berdampak pada kekeliruan informasi juga dalam jumlah yang massal.
Studi yang melibatkan 4.734 responden dari seluruh provinsi di Indonesia dan telah dipublikasi pada jurnal internasional Frontiers in Psychiatry pada 3 September 2020 dengan judul “The Impact of Physical Distancing and Associated Factors Towards Internet Addiction Among Adults in Indonesia During COVID-19 Pandemic: A Nationwide Web-Based Study” (sumber : Kompas.com). Menyatakan bahwa intensitas yang demikian tak terbatas pada orang dewasa ini mengakibatkan “kecanduan Internet ” sebagai problem yang tidak dapat dianggap remeh.
Kecanduan internet berlebih justru dapat memperberat rasa cemas, depresi, dan mendorong perilaku kompulsi yang akhirnya semakin memperparah adiksi internet. Sehingga dampaknya tidak lagi ke fisik (mata, punggung, dll), namun juga masalah mental.
Laporan tentang Cyber Bullying (Bully di dunia maya) juga tak kurang-kurang kita dapatkan, jika bully-ing waktu dulu dilakukan didunia nyata dengan waktu dan tempat yang terbatas, adanya ruang digital ini juga memberikan bukti bahwa ini bisa terjadi, bahkan dengan lebih intens dan mengerikan akibatnya. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mencatat sejak 2011 hingga 2019, kasus bullying di media sosial mencapai 2.473 laporan. Jumlah yang tak bisa dianggap kecil. Angka ini dikhawatirkan akan makin membesar terus jika tak segera direspon bersama-sama.
Edukasi Bersama
Lembaga pemerintah maupun swasta, lembaga jurnalistik, sampai dengan berbagai media sosial dengan ragam lapisannya semenjak beberapa tahun yang lalu, yang ditopang oleh macam elemen masyarakat, sejatinya merupakan upaya penanggungan bersama terkait berbagai dampak masalah diatas.
Tentunya kerja-kerja besar tim ini, penting untuk mendapatkan support dari segenap lapisan masyarakat, tantangannya tidak hanya minimal kepada 200 juta sekian warga yang sudah terkoneksi diatas, namun juga kepada generasi berikutnya untuk menyiapkan mereka sebagai digital native (warga asli digital) yang baik dimasa depan.
Edukasi yang tak kenal lelah, ditambah dengan menyiapkan lingkungan positive dan ramah didunia maya, menjadi hajat kita bersama saat ini dan dimasa depan.
Jika kita bisa belajar dari Fukushima tentang tanggung jawab bersama bahwa mereka bisa mengatasi bencananya dengan kompak, maka kita juga meyakini, Indonesia sangat mampu untuk bersama-sama menjadi netizen yang positif.
Semoga bermanfaat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.