Jalan Terjal Inovasi Kampus Menuju Indonesia Maju
Pendidikan dan Literasi | 2025-10-13 08:22:03Indonesia saat ini berada di momen krusial dalam ambisinya yang besar untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah. Ambisi nasional untuk menjadi negara maju menuntut adanya upaya luar biasa. Secara spesifik, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita ditargetkan harus mencapai USD 15.000. Untuk merealisasikan target tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus melaju dengan angka yang fantastis, yaitu sebesar 8% per tahun. Ini adalah laju pertumbuhan yang sangat berat, namun ditekankan bahwa hal tersebut bukan mustahil untuk dicapai.
Kunci utama untuk mencapai tujuan ini, menurut Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof. Brian Yuliarto, adalah transformasi radikal peran pendidikan tinggi. Dalam Forum Wakil Rektor Bidang Kerja Sama (FORWAREK) yang diselenggarakan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya pada tanggal 25 September 2025 lalu, Prof. Brian menyampaikan kuliah yang sangat menggugah: Indonesia hanya bisa menjadi negara maju jika kampus-kampus bertransformasi menjadi pusat inovasi dan sekaligus berfungsi sebagai penggerak ekonomi nasional. Syaratnya sangatlah jelas, Indonesia mutlak harus memiliki industri yang hebat. Dan di balik setiap industri yang hebat, selalu ada kampus hebat yang menjadi fondasi dan penopangnya.
Lebih dari sekadar kebijakan, Prof. Brian menekankan perlunya perubahan mentalitas dan urgensi. Ia secara khusus menyindir budaya "jam lima sore"—sebuah metafora yang ia gunakan untuk melambangkan kenyamanan yang stagnan yang lazim terjadi di dunia akademik Indonesia. Budaya ini sangat kontras jika dibandingkan dengan negara pembanding seperti Korea Selatan, di mana mahasiswa masih aktif berada di laboratorium hingga larut malam, secara rutin mempresentasikan progres riset mereka kepada dosen pembimbing. Sebaliknya, di Indonesia, jam sembilan malam sering kali diidentikkan dengan aktivitas hiburan, dan bukan dengan aktivitas produktivitas. Hal ini bukan soal melarang hiburan, tetapi ini adalah soal urgensi, soal kegilaan untuk maju. Bangsa yang ingin melesat wajib memiliki elite intelektual yang ambisius, dan elite tersebut, menurut beliau, adalah dunia kampus itu sendiri, yang terdiri dari mahasiswa, dosen, peneliti, dan guru besar yang memiliki dedikasi tinggi.
Namun, fondasi inovasi Indonesia masih menghadapi tantangan besar karena literasi sains yang masih rapuh. Dalam laporan PISA (Programme for International Student Assessment), skor literasi sains pelajar Indonesia masih berada di bawah rata-rata OECD dan tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Vietnam. Penulis, yang memiliki pengalaman sebagai dosen tamu di Vietnam selama sebelas tahun hingga saat ini, menyaksikan langsung bagaimana sistem pendidikan di sana menekankan pada kedisiplinan, penguasaan sains yang kuat, dan keterampilan berpikir kritis sejak dini. Literasi sains sejati bukan hanya sekadar mengetahui rumus atau teori. Ia mencakup kemampuan krusial seperti berpikir analitis, kemampuan untuk memecahkan masalah berbasis bukti, dan kapasitas untuk mengambil keputusan yang rasional. Di era informasi yang semakin kompleks ini, literasi sains adalah benteng pertahanan terhadap disinformasi dan merupakan fondasi yang kuat bagi segala bentuk inovasi.
Di tengah disrupsi teknologi yang masif, kompetensi lulusan perguruan tinggi harus melampaui batas-batas konvensional. Lulusan tidak lagi cukup hanya menguasai teori-teori. Mahasiswa dituntut untuk memiliki keterampilan praktis, literasi digital yang mumpuni, kemampuan kolaborasi, dan kapasitas berinovasi yang tinggi. Konsep Future Skills yang dikembangkan oleh Ulf-Daniels Ehlers dan Laura Eigbrecht menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Mereka menekankan pentingnya kesadaran diri, pembelajaran mandiri seumur hidup, literasi digital, kreativitas, dan tanggung jawab sosial.
Kampus harus bertransformasi menjadi ruang pembelajaran yang dinamis, di mana mahasiswa tidak hanya belajar pasif dari dosen, tetapi juga aktif belajar dari proyek nyata, kerja sama industri, dan pengalaman lintas budaya. Keunggulan akademik tidak lagi cukup hanya diukur dari indeks prestasi atau sekadar jumlah publikasi ilmiah, tetapi diukur dari kemampuan nyata lulusan untuk berpikir lintas disiplin, berkomunikasi efektif, dan berkontribusi nyata dalam masyarakat.
Peran sentral mahasiswa dan alumni terletak pada kemampuan mereka untuk menciptakan inovasi yang berdampak. Inovasi yang mereka hasilkan, mulai dari startup disruptif hingga solusi teknologi ramah lingkungan, adalah hasil dari semangat berani mengambil risiko dan kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Proses ini membutuhkan penguasaan hard skills yang mendalam dan penguasaan soft skills yang vital, seperti pemikiran kritis, kolaborasi tim, dan adaptabilitas. Kompetensi yang solid ini adalah kunci yang memastikan bahwa terobosan-terobosan yang muncul tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga dapat ditingkatkan dan relevan dalam menjawab berbagai tantangan nyata di masyarakat dan di pasar kerja global.
Kekuatan sejati dari inovasi dan kompetensi ini juga terletak pada narasi ilmiah yang menyertainya. Mahasiswa dan alumni berperan sebagai jembatan komunikasi yang mengubah data dan temuan-temuan kompleks menjadi cerita yang meyakinkan, inspiratif, dan mudah diakses oleh publik luas. Mereka harus terampil dalam mengkomunikasikan bagaimana dan mengapa penelitian atau produk yang mereka hasilkan itu penting, memastikan bahwa pengetahuan ilmiah tidak hanya tersimpan mati di jurnal-jurnal akademik, tetapi benar-benar mengubah ilmu menjadi aksi nyata. Melalui narasi yang kuat, mereka memperluas dampak dari karya mereka, mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan pada akhirnya memotivasi generasi berikutnya untuk terus berkontribusi pada kemajuan kolektif bangsa.
Prof. Brian juga mengusulkan redefinisi tegas terhadap peran dosen. Dosen hebat bukanlah yang hanya aktif dalam mempublikasikan di jurnal ilmiah, tetapi yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan riset yang bisa dijual dan mampu memberikan royalti bagi kampus. Artinya, riset yang dilakukan haruslah membumi, relevan, dan menghasilkan dampak nyata di lapangan. Dalam ekosistem inovasi ini, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama menjadi ujung tombak implementasi. Kantor mereka, menurut Prof. Brian, seharusnya tidak lagi hanya berada di dalam kampus, tetapi harus berada di kawasan industri, ruang rapat Kadin, dan lobi kementerian. Mereka adalah diplomat akademik yang memiliki tugas berat untuk membawa produk riset unggulan kampus ke dunia nyata dan pasar global.
Kesimpulannya, pesan Prof. Brian di ITS bukan sekadar pidato formal. Ini adalah ajakan yang mendesak bagi seluruh sivitas akademika untuk meninggalkan mentalitas nyaman dan mengambil keputusan berani untuk menempuh jalan terjal menuju masa depan. Jalan ini memang diakui melelahkan dan penuh tantangan, tetapi merupakan satu-satunya janji untuk mewujudkan Indonesia yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih mandiri.
Penulis: Arinafril; Doktor Biogeografi Lulusan University of Saarbruecken, Jerman / Dosen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya / Dosen Tamu University of Agriculture and Forestry, Thai Nguyen / Peneliti Tamu pada Vietnam Academy of Science and Technology, Hanoi, Vietnam
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
