Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Sommaliagustina

Reses DPR dan Krisis Akhlak Transparansi

Kolom | 2025-10-13 01:51:02
Sufmi Dasco Ahmad-Wakil Ketua DPR RI (Sumber:Istimewa)

Kabar tentang kenaikan dana reses anggota DPR RI kembali mencuat ke ruang publik. Nilainya meningkat hampir dua kali lipat dibanding periode sebelumnya. Namun yang lebih mencengangkan bukanlah besarnya angka, melainkan cara kenaikan itu dilakukan — diam-diam, tanpa penjelasan resmi, tanpa partisipasi publik, dan tanpa transparansi.

Langkah itu, sebagaimana dikatakan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, ibarat “petir di siang bolong.” Masyarakat kaget karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Padahal, DPR adalah lembaga perwakilan rakyat, bukan lembaga yang bekerja di balik tirai.

Kenaikan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah benar dana reses digunakan untuk kepentingan rakyat, atau hanya menjadi privilese baru bagi wakil rakyat yang kian jauh dari akar mandatnya?

Dalam teori dan praktik ketatanegaraan, masa reses seharusnya menjadi waktu bagi anggota dewan untuk kembali menyapa rakyat, menyerap aspirasi, dan meneguhkan representasi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), bahwa salah satu fungsi DPR adalah menyalurkan aspirasi masyarakat melalui kegiatan reses di daerah pemilihan.

Namun di lapangan, realitas berkata lain. Reses lebih sering tampil sebagai formalitas. Masyarakat di daerah jarang tahu kapan wakilnya datang, di mana kegiatan dilakukan, dan apa hasilnya. Aspirasi rakyat hanya menjadi daftar catatan di meja sekretariat, tanpa umpan balik dan tanpa publikasi.

Alih-alih menjadi ruang penyambung lidah rakyat, reses kini berubah menjadi simbol kemewahan kegiatan politik. Ketika anggarannya naik signifikan tanpa akuntabilitas, publik pun bertanya: apa yang sebenarnya dikerjakan selama reses berlangsung?

Kenaikan dana reses tidak bisa dilepaskan dari prinsip akuntabilitas dan keterbukaan informasi publik. Menurut Pasal 3 huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), setiap badan publik wajib membuka informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dana reses yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) termasuk kategori tersebut.

Transparansi bukan sekadar etika, melainkan kewajiban hukum. DPR tidak bisa berdalih bahwa itu urusan internal, sebab setiap rupiah berasal dari uang rakyat. Maka, masyarakat berhak tahu: Berapa besar dana yang diterima setiap anggota DPR untuk reses? Digunakan untuk kegiatan apa saja? Siapa yang menjadi peserta, dan apa hasilnya?

Reses yang Tertutup

Ketertutupan informasi justru melanggar semangat akuntabilitas publik. DPR seolah melupakan prinsip open governance yang seharusnya menjadi ciri utama lembaga demokratis. Dalam konteks hukum administrasi, tindakan menutup akses terhadap informasi publik dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas transparansi dan akuntabilitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Reses sering disebut sebagai waktu bagi wakil rakyat untuk “kembali ke konstituen.” Namun sayangnya, dalam praktik politik kita, reses kerap menjadi arena “pencitraan politik.” Tak sedikit kegiatan reses yang dikemas dengan atribut partai, foto besar wakil rakyat, dan sambutan bernada kampanye.

Padahal, reses bukan ajang sosialisasi partai, melainkan forum aspirasi rakyat. Ketika kegiatan itu bercampur dengan agenda elektoral, terjadi penyimpangan moral representasi. Aspirasi rakyat bukan lagi didengar, melainkan dikapitalisasi.

Kondisi ini diperparah oleh ketiadaan laporan publik yang bisa diakses masyarakat. Hasil reses sering tidak pernah diumumkan secara terbuka. Tidak ada portal khusus DPR yang memuat laporan kegiatan per anggota, berapa biaya yang digunakan, dan apa output-nya.

Sungguh ironis, di tengah era digital dan keterbukaan data, lembaga perwakilan rakyat justru memilih berjalan dalam gelap.

Jika berbicara rasionalitas anggaran, mungkin DPR memiliki alasan. Misalnya, biaya operasional di daerah meningkat, atau kegiatan penyerapan aspirasi membutuhkan dukungan logistik yang lebih besar. Namun masalahnya bukan pada alasan, melainkan pada cara — yakni dilakukan tanpa transparansi dan tanpa komunikasi publik.

Dalam etika pemerintahan yang baik (good governance), proses yang tidak transparan berarti cacat moral. Sebab, dana publik tidak boleh dikelola secara diam-diam.

Rakyat kini makin sadar dan cerdas. Mereka menuntut keterbukaan, bukan sekadar janji. Ketika DPR menaikkan dana reses tanpa menjelaskan, maka yang lahir bukanlah legitimasi, melainkan krisis kepercayaan.

Dan krisis ini berbahaya. Sebab ketika rakyat tak lagi percaya pada wakilnya, demokrasi kehilangan ruhnya. Dalam pandangan etika Islam yang menjadi dasar moral bangsa, amanah adalah hal yang sangat suci. Al-Qur’an mengingatkan,

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)

Amanah itu termasuk tanggung jawab atas uang publik. Ketika dana yang bersumber dari rakyat digunakan tanpa transparansi, itu bukan sekadar pelanggaran administrasi, tetapi juga pengkhianatan amanah.

Seorang wakil rakyat yang menerima gaji, tunjangan, dan dana reses dari uang negara wajib memastikan setiap rupiah dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau politik.

Sudah saatnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit tematik atas penggunaan dana reses di DPR RI. Laporan audit itu harus diumumkan secara terbuka agar publik dapat menilai apakah penggunaan dana sesuai dengan tujuan.

Selain itu, DPR sebaiknya membuat portal keterbukaan reses — berisi data setiap anggota DPR, jumlah anggaran, kegiatan yang dilakukan, aspirasi yang dihimpun, serta tindak lanjut legislasi dari hasil reses tersebut.

Langkah semacam ini bukan hanya menegakkan prinsip transparansi, tetapi juga menjadi bentuk pertanggungjawaban moral. Sebab, transparansi adalah cermin kejujuran.

Rakyat kini menunggu bukti, bukan janji. Mereka menanti wakilnya benar-benar hadir, bukan hanya datang menjelang pemilu. Masa reses seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki komunikasi antara wakil dan yang diwakili, bukan sekadar perjalanan dinas dengan laporan administratif.

Menaikkan dana reses tanpa memperbaiki mekanisme akuntabilitas sama saja dengan menambah beban negara tanpa manfaat publik. Apalagi dilakukan di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih — ketika rakyat harus berhemat, sementara wakilnya menambah tunjangan.

Di titik ini, yang diuji bukan hanya integritas, tetapi juga nurani kebangsaan. Apakah DPR masih sadar bahwa mereka dipilih bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk memperjuangkan nasib rakyat?

Transparansi bukan ancaman bagi DPR, tetapi jalan menuju kehormatan. Semakin terbuka mereka terhadap rakyat, semakin kuat legitimasi politik yang mereka miliki.

Reses bukan liburan berbayar, bukan juga hak istimewa. Ia adalah amanah untuk mendengar rakyat — dan setiap amanah menuntut pertanggungjawaban. Jika DPR terus menutup diri, rakyat akan menutup pintu kepercayaannya. Dan ketika kepercayaan itu hilang, tak ada lagi kekuatan moral yang tersisa bagi lembaga perwakilan.

Demokrasi sejati bukan diukur dari seberapa tinggi gedung parlemen, tetapi seberapa jujur hati wakil rakyat dalam mempertanggungjawabkan uang dan amanah publik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image