Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tedi Sumaelan

Ngulik Aturan Wakaf di Indonesia dari UU 41/2004 Sampai Era Wakaf Digital

Pendidikan dan Literasi | 2025-10-11 18:43:16

Regulasi Wakaf di Indonesia; Dari Aturan Klasik ke Sistem Modern

Kalau dulu orang-orang bicara wakaf, yang terbayang biasanya cuma tanah buat masjid, pesantren, atau kuburan. Tapi sejak dua dekade terakhir, konsep wakaf di Indonesia udah jauh berubah. Bukan cuma soal amal keagamaan, tapi udah naik level jadi bagian dari sistem hukum nasional dan instrumen ekonomi sosial yang diakui negara. Nah, semua perubahan besar itu punya tonggak penting: lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, dan berbagai Peraturan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang ngatur lebih detail soal tata kelola dan pengembangan wakaf.

Kalau ditarik ke belakang, sebelum ada UU 41/2004, pengaturan wakaf di Indonesia masih sebatas Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang perwakafan tanah milik. Fokusnya cuma tanah, dan itu pun lebih ke administratif: cara mendaftarkan, mencatat, dan menjaga supaya tanah wakaf nggak dialihkan jadi hak milik orang lain. Tapi dalam praktiknya, peraturan itu nggak cukup. Banyak aset wakaf yang terbengkalai, pengelola (nazhir) nggak jelas status hukumnya, dan data nasional tentang wakaf hampir nggak ada. Maka sejak awal 2000-an, muncul kesadaran bahwa Indonesia butuh aturan wakaf yang lebih modern, yang bukan cuma mengatur “tanah masjid”, tapi bisa menjawab tantangan zaman.

Lalu lahirlah UU No. 41 Tahun 2004, yang sering disebut sebagai landmark law dalam sejarah wakaf Indonesia. Undang-undang ini membawa semangat baru: wakaf bukan hanya untuk kepentingan ibadah, tapi juga bisa jadi instrumen pembangunan sosial-ekonomi. Undang-undang ini memperluas cakupan wakaf, bukan cuma benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, tapi juga benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga syariah, hak kekayaan intelektual, dan bahkan hak sewa. Inilah titik di mana paradigma wakaf mulai bergeser — dari wakaf konsumtif menuju wakaf produktif.

Selain itu, UU ini menegaskan pentingnya nazhir profesional. Kalau dulu pengelola wakaf cukup ditunjuk secara sosial, sekarang mereka punya kewajiban administratif dan moral yang lebih besar. Nazhir diwajibkan punya kemampuan manajerial, akuntabilitas keuangan, dan tanggung jawab hukum. Jadi, bukan cuma soal niat baik, tapi juga soal tata kelola. Dalam Pasal 11 UU 41/2004 dijelaskan bahwa nazhir bisa berupa perseorangan, organisasi, atau badan hukum, dan mereka punya hak atas imbalan maksimal 10% dari hasil bersih pengelolaan wakaf sebagai kompensasi kerja mereka. Ini cara negara mendorong profesionalisme tanpa menghilangkan nilai ibadah dalam pengelolaan wakaf.

Tapi tentu aja, undang-undang butuh aturan pelaksana. Makanya keluar Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 sebagai panduan teknis pelaksanaan UU 41/2004. PP ini menjabarkan hal-hal teknis, mulai dari proses ikrar wakaf, pendaftaran ke Kantor Urusan Agama, pembuatan Akta Ikrar Wakaf (AIW), hingga mekanisme perubahan peruntukan wakaf kalau ada kepentingan umum. PP ini juga menjelaskan peran lembaga-lembaga pendukung seperti Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Kantor Pertanahan, dan tentu saja Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga baru yang bertugas mengawasi, membina, dan mengembangkan wakaf secara nasional.

Nah, BWI ini menarik banget. Lembaga ini bersifat independen, bukan di bawah kementerian, tapi dibentuk berdasarkan amanat UU untuk memastikan sistem wakaf berjalan profesional dan transparan. Dalam struktur nasional, BWI berfungsi sebagai koordinator dan pembina nazhir di seluruh Indonesia. Mereka juga berperan mengembangkan model-model wakaf produktif, seperti wakaf uang, wakaf saham, dan proyek-proyek berbasis investasi sosial. Salah satu program yang sering dikutip adalah Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS), yaitu program investasi wakaf uang dalam bentuk sukuk negara yang hasilnya dipakai untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat miskin.

Selain program produktif, BWI juga aktif mengeluarkan berbagai Peraturan BWI untuk memperjelas operasionalisasi UU dan PP. Misalnya, Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2009 tentang pedoman pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, atau Peraturan BWI Nomor 2 Tahun 2012 tentang sertifikasi nazhir profesional. Peraturan-peraturan ini jadi penting karena menjembatani antara aturan hukum yang formal dan praktik lapangan yang sering penuh tantangan. Dengan kata lain, BWI berusaha jadi jembatan antara “niat baik umat” dan “sistem manajemen modern”.

Kalau dibaca dari berbagai penelitian, banyak akademisi menilai regulasi ini sebagai tonggak besar. Misalnya, Khoiruddin Nasution dalam jurnal Al-Mawarid (2018) menulis bahwa UU 41/2004 berhasil menggeser wajah wakaf dari yang tradisional ke arah “institusionalisasi modern”, di mana negara ikut terlibat bukan untuk mengontrol, tapi untuk menjamin keberlanjutan. Sementara Monzer Kahf, ekonom Islam internasional, menekankan bahwa wakaf yang baik harus punya legal framework yang kuat agar bisa berfungsi layaknya endowment fund di universitas-universitas dunia. Dan Indonesia, menurutnya, sudah menuju ke arah itu meski masih banyak pekerjaan rumah.

Namun, tentu saja, perjalanan regulasi ini nggak lepas dari tantangan. Dalam praktik, banyak aset wakaf yang belum bersertifikat, banyak nazhir yang belum punya kapasitas manajerial, dan sistem pelaporan masih minim. Di sisi lain, masyarakat masih punya persepsi sempit bahwa wakaf itu cuma soal tanah masjid, belum melihat potensi wakaf sebagai sumber ekonomi umat. Karena itu, BWI dan Kementerian Agama terus mendorong gerakan literasi wakaf nasional — biar masyarakat paham bahwa wakaf bukan hanya amal sosial, tapi juga investasi sosial jangka panjang.

Sekarang, perkembangan terbaru bahkan lebih seru. Sudah mulai muncul wakaf digital, di mana orang bisa berwakaf cuma lewat smartphone, mulai dari Rp10.000. BWI dan sejumlah fintech syariah bekerja sama bikin platform wakaf online, sehingga generasi muda pun bisa ikut berkontribusi. Ini bukti bahwa regulasi yang dibuat dua dekade lalu masih cukup lentur untuk beradaptasi dengan teknologi baru. Wakaf, yang dulunya identik dengan prasasti batu dan tanda tangan kyai, kini bisa dilakukan dalam hitungan detik secara digital, tapi nilai spiritual dan hukumnya tetap sama.

Jadi, kalau ditanya bagaimana wajah regulasi wakaf di Indonesia sekarang, jawabannya: komprehensif, modern, dan terus berkembang. Undang-undang, PP, dan peraturan BWI bukan cuma menertibkan urusan administrasi, tapi juga membuka ruang baru bagi pengelolaan wakaf yang produktif, profesional, dan relevan dengan tantangan zaman. Tentu masih banyak yang harus dibenahi — mulai dari sertifikasi aset, pelatihan nazhir, sampai transparansi keuangan — tapi arah perubahannya sudah jelas: wakaf bukan lagi urusan “pinggir masjid”, tapi bagian dari sistem pembangunan nasional.

Seperti yang pernah dikatakan oleh ekonom Islam M. Umer Chapra, “pembangunan yang berkeadilan harus berpijak pada nilai moral dan spiritual, bukan hanya pada angka ekonomi.” Wakaf adalah salah satu bukti nyata bagaimana nilai spiritual bisa diterjemahkan ke dalam sistem hukum modern yang berdampak sosial nyata.

  • Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
  • Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf
  • Peraturan BWI No. 1 Tahun 2009 dan No. 2 Tahun 2012
  • Khoiruddin Nasution, “Perkembangan Wakaf di Indonesia: Dari Fiqh Klasik ke Regulasi Modern”, Al-Mawarid Journal of Islamic Law, 2018
  • Monzer Kahf, Waqf: A Historical and Juristic Perspective, Islamic Research and Training Institute, IDB, 2003
  • Badan Wakaf Indonesia (BWI), Buku Pintar Wakaf, 2019
  • Tarmizi Taher, Revitalisasi Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: BWI Press, 2010

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image