Dunia yang Tak Lagi Normal
Agama | 2025-10-10 20:20:17
Harga-harga naik, upah tak bergerak, dan para pejabat dengan wajah yakin berkata bahwa semuanya masih terkendali. Mereka bilang inflasi itu wajar, bagian dari siklus ekonomi. Tapi bagi banyak orang, yang luar biasa justru bagaimana seribu rupiah kini hanya bernilai separuh dari yang dulu.
IMF menyebut era ini sebagai the new normal, zaman ketika ketidakpastian dianggap keniscayaan. Namun mari jujur sebentar, sejak kapan ketidakadilan dianggap normal. Ketidakpastian ini bukan takdir, melainkan rancangan. Kita hidup dalam sistem yang memungkinkan nilai hidup manusia naik turun seperti grafik saham.
Uang yang kita gunakan hari ini tidak bernilai karena dirinya, tetapi karena diberi nilai. Kertas bergambar pahlawan itu hanya berharga selama negara berkata bahwa ia sah sebagai alat tukar. Begitu kepercayaan itu goyah, nilainya ikut lenyap. Kita menyebutnya fiat money, uang yang lahir bukan dari emas, perak, atau barang nyata, tetapi dari kepercayaan yang mudah diguncang. Setiap kali pemerintah mencetak lebih banyak, daya beli kita perlahan dicuri melalui inflasi. Itulah bentuk pencurian paling halus dalam sejarah manusia, tanpa kekerasan, tanpa perampokan, hanya dengan mesin cetak dan tanda tangan.
Islam pernah menawarkan jalan lain, sebuah sistem yang tidak mengenal inflasi karena uangnya bukan janji, melainkan nilai itu sendiri. Dinar dan dirham memiliki nilai intrinsik yang tidak dapat dimanipulasi oleh kebijakan politik atau permainan pasar. Ketika harga naik di satu tempat, nilainya tetap setara di tempat lain, sebab ukuran nilainya bukan kepercayaan semu, melainkan substansi yang nyata, emas dan perak.
Selama berabad-abad, peradaban Islam berjalan dengan sistem itu. Perdagangan lintas benua berlangsung, nilai tetap stabil, dan keadilan ekonomi dijaga tanpa bergantung pada utang atau spekulasi. Tidak ada krisis moneter dalam pengertian modern, karena nilai uang tidak bergantung pada janji, tetapi pada barang riil yang mendasarinya. Sistem itu sederhana, namun bermartabat. Manusia bekerja, menghasilkan, lalu menukar hasil kerjanya dengan nilai yang benar-benar nyata.
Tentu, dunia hari ini tidak bisa begitu saja kembali pada bentuk fisik dinar dan dirham. Tetapi prinsip moralnya tetap relevan. Bahwa uang seharusnya mencerminkan kerja, bukan ilusi. Bahwa kebijakan fiskal seharusnya menjaga keadilan nilai, bukan mempermainkan angka. Bahwa stabilitas sejati tidak lahir dari kontrol moneter, melainkan dari kejujuran dalam menakar. Ekonomi Islam tidak hanya berbicara tentang alat tukar, tetapi tentang cara berpikir. Ia menuntun manusia untuk melihat bahwa akar masalah dunia modern bukan kekurangan uang, melainkan kelebihan nafsu. Kita terlalu sibuk mencetak kekayaan, tapi lupa menimbang keadilan. Dalam pandangan Islam, uang bukan tujuan, melainkan amanah. Dan amanah yang kehilangan kejujuran lambat laun berubah menjadi tuhan kecil yang menindas penciptanya.
Lihatlah masyarakat kecil yang bertahan di tengah sistem cacat ini. Mereka tidak memiliki akses ke bank sentral, tapi mereka punya jaringan saling percaya. Arisan di kampung, koperasi syariah, dan gotong royong di pasar, semua itu adalah ekonomi riil yang hidup dari kejujuran dan kebersamaan. Itulah bentuk keseimbangan yang paling mendekati ruh Islam, di mana nilai diukur bukan dari banyaknya angka, melainkan dari adilnya hubungan antar manusia.
Mungkin inilah yang disebut barakah, bukan semata keajaiban spiritual, tetapi hasil dari sistem sosial yang jujur. Keberkahan yang membuat sedikit terasa cukup dan cukup terasa berlimpah. Bukan karena banyak uang, tapi karena tidak ada yang dicurangi.
Maka ketika para ekonom dunia sibuk mencari model ekonomi baru, barangkali jawabannya justru ada pada sistem lama yang telah kita abaikan. Sebuah sistem yang menempatkan nilai di atas simbol, kerja nyata di atas spekulasi, dan kejujuran di atas manipulasi. Islam tidak menawarkan ekonomi mistik, tetapi ekonomi yang seimbang. Sebuah tatanan di mana pertumbuhan tidak menelan keadilan, dan uang tidak memperdaya manusia.
Mungkin dunia ini tidak akan pernah benar-benar stabil sampai ia berani kembali menimbang dengan timbangan yang jujur. Sebab selama manusia masih menukar makna dengan angka, kita akan terus hidup dalam dunia yang tak lagi normal.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
