K-pop dan J-pop Senjata Soft Power Grup Musik Pop Global
Agama | 2025-10-09 09:02:01K-pop adalah ekspresi global kekuatan lunak Korea, didorong oleh Hallyu atau ‘gelombang Korea’ yang sejak akhir 1990-an konsisten memperluas pengaruhnya ke seluruh dunia. Sementara itu, J-pop adalah wajah khas dari Cool Japan, strategi budaya yang menempatkan anime, manga, hingga musik pop sebagai daya tarik utama Jepang di mata dunia. Namun, sejak awal 2000-an, Jepang berusaha menjaga relevansi budayanya di tengah gempuran Hallyu (Putri, 2019). Keduanya telah menjelma menjadi instrumen soft power (kekuatan lunak ), memperlihatkan bagaimana budaya pop bisa berfungsi lebih dari sekadar hiburan. Konsep soft power telah menjadi alat penting dalam dunia hubungan internasional, khususnya dalam diplomasi kontemporer (Blair et al., 2022; Yağcı, 2018).
Konsep soft power sendiri dicetuskan oleh Joseph Nye pada tahun 1990, merujuk pada kemampuan suatu negara untuk memikat dan memengaruhi pihak lain supaya mengikuti tujuannya melalui pendekatan lunak tanpa paksaan. Soft power berkembang ketika suatu negara mampu membangun pengaruh di tingkat internasional tanpa mengandalkan kekuatan militer, melainkan melalui cara-cara yang lebih halus dan persuasif (Nye, 1990). Konsep ini mengandalkan daya tarik budaya, nilai-nilai, serta citra positif yang diperlihatkan dalam hubungan internasional.
Soft power dapat dihasilkan melalui tiga sumber utama, yaitu kebijakan luar negeri, nilai-nilai domestik maupun internasional, serta budaya. Dimensi budaya sendiri dapat terbagi atas high culture (seni, literatur, pendidikan) dan budaya pop (musik, makanan, serial televisi, film, permainan, karakter) (Nye, 2004). Menariknya, seperti yang dijelaskan Chitty (2017), daya tarik soft power sebenarnya terletak pada tiga hal, yaitu keindahan, kompetensi, dan kebaikan hati. Dari sini, budaya pop memiliki potensi besar sebagai sumber soft power karena mampu tampil cemerlang sekaligus indah sehingga tidak hanya menghasilkan kekaguman, tetapi juga memberikan juga inspirasi.
Dalam lanskap musik pop, baik boy band maupun girl band bukan hanya menyajikan lagu-lagu populer, tetapi juga menghadirkan penampilan visual, koreografi, gaya busana, hingga narasi identitas yang terasa dekat dengan penggemarnya. Di titik inilah grup K-pop dan J-pop menemukan kekuatannya. Grup K-pop dan J-pop adalah contoh paling konkret dari bagaimana soft power bekerja. Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam bahasa Korea atau bahasa Jepang ternyata tidak menjadi penghalang untuk diterima secara global. Keduanya, membangun model grup musik yang tidak hanya menjual suara, melainkan juga menjual citra dan gaya hidup lintas negara untuk membentuk representasi positif negara (Shafie, 2025; Angesti & Purnama, 2024).
Grup K-pop, seperti BTS, NCT, EXO, BLACKPINK, IVE, dan sebagainya bukan lagi sekadar fenomena musik pop. Akan tetapi, menjadi bukti bahwa industri kreatif Korea ingin memperlihatkan kekuatan desain skalabilitas global. Misalnya, BTS, tidak hanya memuncaki tangga lagu, tetapi juga tampil berpidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2018 dalam kampanye “Generation Unlimited” yang digagas UNICEF (Prikila, 2025). Peran BTS ini menjadi sebuah simbol bahwa grup musik pop bisa menjadi bahasa diplomasi. Fandom ARMY beraksi sebagai akar rumput, menggalang dana untuk isu kemanusiaan dan bencana, serta memperkuat citra Korea Selatan sebagai negara progresif. Per Juli 2025, BTS menempati posisi pertama dalam peringkat reputasi boy band K-pop dengan nilai brand mencapai 10,128,031, meningkat hampir 48% dibandingkan bulan sebelumnya (Karina, 2025). Dengan demikian, keberhasilan BTS dan partisipasi fandom mencerminkan bagaimana grup K-pop mampu mengubah popularitas komersial menjadi instrumen soft power yang berpengaruh dalam hubungan internasional.
Selanjutnya, tidak kalah dengan BTS, BLACKPINK juga dipercaya sebagai duta COP26 (Konferensi Perubahan Iklim PBB). Pada tahun yang sama, mereka bahkan diangkat sebagai UN’s Newest Sustainable Development Goals Advocates, sejajar dengan para pemimpin dunia seperti presiden, perdana menteri, hingga anggota kerajaan, serta selebritas internasional ternama (ibid). BLACKPINK melintasi panggung Coachella, berkolaborasi dengan brand fashion mewah, dan memperluas cakupan K-culture ke ranah kecantikan serta gaya hidup.
Beralih ke J-pop, beberapa grup musik juga berperan sebagai instrumen penting dalam penerapan soft power Jepang. Ekosistem grup musik seperti AKB48, mengembangkan model kedekatan ‘idols you can meet,’ dengan keterlibatan penggemar yang intens melalui event, konten berkelanjutan, dan media domestik yang kuat. AKB48, yang sangat populer di Jepang, diperluas ke Asia Tenggara melalui pembentukan ‘sister group’, salah satunya JKT48 di Indonesia. JKT48 menjadi eksperimen lokal dari grup musik Jepang, lengkap dengan ritus fan service yang membangun loyalitas penggemar secara mendalam. Selain itu, boy band senior Arashi berperan sebagai wajah resmi promosi budaya Jepang, misalnya sebagai Goodwill Ambassador untuk Olimpiade Tokyo 2020, memanfaatkan media musik, drama, dan variety show untuk mengenalkan nilai-nilai Jepang.
Fenomena ini membuat penggemar di Indonesia sering mengorganisir aksi sosial, penggalangan dana, dan kegiatan pendidikan, memperlihatkan bagaimana fandom menjadi aktor sipil. Maka, dampak terlihat pada meningkatnya minat belajar bahasa Korea dan Jepang, maraknya K-food dan J-food, pariwisata budaya pop hingga K-beauty dan J-beauty.
Kehadiran grup musik K-pop dan J-pop begitu ampuh sebagai soft power karena menawarkan pengalaman estetika yang mudah dibagikan dan diakses. Seperti yang dikemukakan Henry Jenkins melalui teori spreadable media, bahwa suatu konten dirancang supaya penggemar dapat berpartisipasi. Misalnya, dance challenge, membuat subtitle, fancam, atau behind the scenes sehingga mendorong penggemar menjadi produsen sekaligus konsumen.
Selain itu, fandom tidak lagi sekadar komunitas konsumtif, mereka menerjemahkan konten, mengkurasi narasi, bahkan menegosiasikan makna budaya lintas negara. Indonesia bisa memanfaatkan komunitas kreatif digital dengan cara mendorong partisipasi aktif, kolaborasi kreatif, dan pengembangan konten lokal yang punya nilai ekspor budaya. Dari K-pop dan J-pop, muncul berbagai macam peluang ekonomi kreatif meliputi fashion, merchandise, kecantikan, kuliner, pariwisata, dan pendidikan bahasa ikut terdorong oleh magnet grup musik.
Fenomena ini jelas menjadi pelajaran berharga bagi industri kreatif Indonesia. Keberhasilan grup K-pop dan J-pop menunjukkan secara langsung bagaimana soft power dapat dikembangkan melalui musik, budaya pop, dan fandom. Dengan memahami strategi ini, pelaku industri kreatif Indonesia dapat mengikuti jejak dengan pendekatan serupa untuk memperluas pengaruh budaya, menarik minat global, dan menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang lebih kuat. Salah satunya adalah dengan menciptakan grup musik Indonesia yang mampu menjadi daya tarik internasional, seperti girl band NO NA. Grup yang berkolaborasi dengan 88rising dan berhasil menembus pasar Asia Tenggara hingga global ini, menunjukkan bahwa grup musik pop Indonesia juga bisa menjadi instrumen soft power seperti halnya BTS, BLACKPINK, atau AKB48.
Kunci keberhasilan terletak pada pengembangan talenta muda dan memberdayakan fandom sebagai aktor kreatif. Bila strategi ini dijalankan dengan cerdas, industri kreatif Indonesia tidak hanya akan bersaing di ranah komersial. Namun, juga menjadi kendaraan soft power yang menegaskan identitas negara, membuka peluang supaya budaya Indonesia didengar, dirasakan, dan dihargai secara global.
Daftar Pustaka
Angesti, A. R., & Purnama, C. (2024). Diplomasi budaya Korea Selatan melalui Grup Idola K-Pop terhadap Publik Indonesia pada Tahun 2020-2022. Padjadjaran Journal of International Relations, 6(1), 60-73. https://doi.org/10.24198/padjir.v6i1.49284
Blair, R. A., Marty, R., & Roessler, P. (2022). Foreign Aid and Soft Power: Great Power Competition in Africa in the Early Twenty-First Century. British Journal of Political Science, 52(3), 1355-1376. https://doi.org/10.1017/S0007123421000193
Chitty, Naren. (2017) “Soft Power, Civic Virtue and World Politics” in The Routledge Handbook of Soft Power (1st Edition) Eds. Naren Chitty, Lilian Ji, Gary D Rawnsley, Craig Hayden. Routledge: London.
Karina. (2025). “BTS and BLACKPINK Dominate July 2025 K-Pop Group Brand Reputation Rankings”. https://www.kpoppost.com/july-2025-k-pop-group-brand-reputation-rankings/. Diakses pada 30 September 2025.
Nye, J. S. (2004). Soft Power: The Means to Success in World Politics PublicAffairs. PublicAffairs: New York.
Nye, J. S. (1990). Soft Power. Foreign Policy, (80), 153-171.
Putri, I. F. (2019). Diplomasi Dua Budaya: Studi Kasus Perbandingan Strategi Diplomasi Pop Culture Korea Selatan Dan Jepang Di Indonesia. Global Insight Journal, 01(02), 96–106.
Prikila, A. R. (2025). Diplomasi Publik Korea Selatan ke Indonesia pada Tahun 2017–2022. Global Insights Journal: Jurnal Mahasiswa Hubungan Internasional, 2(1). https://doi.org/https://doi.org/10.36859/gij.v2i1.2623
Shafie, T. (2025). K-pop Idols as Diplomats: South Korean Celebrities and Soft Power. Athens Journal of Politics & International Affairs, 1(3), 179-202.
Yağcı, M. (2018). Rethinking Soft Power in Light of China’s Belt and Road Initiative. Uluslararası İlişkiler Dergisi, 15(57), 67-78. https://doi.org/10.33458/uidergisi.518043
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
