Generasi Rapuh dalam Kesepian, Islam Memberi Jawaban
Gaya Hidup | 2025-10-09 05:15:55
Terasa sepi meski dikelilingi banyak orang, merasa hampa meski notifikasi media sosial terus mengundang. Inilah fenomena yang melanda masyarakat digital, “lonely in the crowd”, kesamaan di tengah keramaian. Hal ini terungkap dalam penelitian mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah (UMY) berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual”.
Teori hiperrealitas menggambarkan bahwa representasi digital sering dianggap sebagai realitas daripada realitas itu sendiri. Sehingga kesehatan mental malah dipengaruhi oleh sesuatu yang sebenarnya tidak ada dalam kehidupan nyata. Selain itu juga mengurangi kualitas hubungan sosialnya, padahal sejatinya ini adalah "kehidupan lain." Hal ini banyak ditemukan pada pengguna TikTok, terutama di pemuda usia Gen Z. Sebab kehidupan mereka sejak lahir tak bisa dipisahkan dari dunia digital. Maka mereka banyak menghabiskan hari-hari bersama dunia virtualnya. Sementara di dunia nyata mereka bisa syok menghadapi dunia pergaulan sosial yang sesungguhnya.
Demikianlah media sosial memang dirancang bakal menjadi candu bagi para penikmatnya, jika mereka tidak menyadarinya. Awalnya memang menjadi alat komunikasi, tempat bertemunya teman dan saudara yang jauh, orang-orang yang telah lama kehilangan, dll. Juga menjadi sarana silah ukhuwah, meskipun mereka juga sadar bahwa hal ini tidak bisa menggantikan pertemuan langsung secara mutlak.
Namun akhirnya pengguna media sosial semakin terikat, bahkan menjadi bagian dari kehidupannya. Tanpa disadari mereka semakin jauh dari kehidupan yang sesungguhnya.
Sebab media sosial adalah industri kapitalis, artinya ada unsur-unsur manajerial dan operasional yang terus-menerus dengan tujuan keuntungan yang ingin dicapai. Tentu saja manajernya berpikir keras dan berusaha kuat untuk membuat para penggunanya semakin betah dan sulit melepaskannya dari kehidupan.
Sejatinya manusia adalah makhluk sosial, namun fitrah ini banyak digerus oleh industri kapitalis yang bernama media sosial. Ingin berhubungan dengan sesamanya mendapatkan saluran yang lebar. Mereka bisa puas melakukan apa saja demi memenuhi keinginan dan mengejar eksistensinya.
Generasi Rapuh
Fenomena ini jika dibiarkan akan menjadi permasalahan yang serius bagi generasi. Anak-anak muda yang memiliki potensi besar untuk membangun bangsanya menjadi lemah secara psikologis. Sebab mereka hanya fokus pada dunia mimpi, mengejar sesuatu yang tak pasti.
Walhasil mereka menjadi sosok yang egois individualis, tidak pernah memikirkan dan peduli terhadap orang lain, tidak mengenenal kehidupan sosial yang sesungguhnya. Dengan potensi luar biasa yang dikaruniakan Allah, mereka harus menggunakan demi kemajuan bangsanya. Mereka harus banyak belajar tentang Islam, tentang keumatan, serta kebangkitan umat dengan ideologi Islam.
Namun semua potensi pemuda telah hilang oleh suasana kehidupan kapitalis. Bagaiman mungkin mereka diajak memikirkan umat, sedangkan mengurus dirinya sendiri saja tidak mampu? Sebab mereka telah terjerembab dalam kesepian yang membuat sulit untuk bangkit. Mereka tidak akan bisa menjadi problem solver bagi bangsa ini karena fokus pada diri sendiri untuk meraih citra semu di media sosial. Dari sini harus disadari bahwa permasalahan ini merupakan ancaman nyata bagi keberlangsungan bangsa, karena mereka adalah generasi penerus yang kelak akan menggantikan kepemimpinan.
Kembali pada Islam
Ancaman serius bagi generasi ini harus segara diatasi. Sebab ini bukan masalah individu, tapi sudah menggejala dan menggerogoti kekuatan bangsa. Jadi tidak cukup hanya dengan solusi personal, misalnya harus bijak dalam menggunakan medsos, meningkatkan literasi digital, manajemen waktu menatap layar, dll. Sebab hal ini adalah masalah sistemik, yakni akibat penerapan sekulerisme liberal. Sehingga kapitalis industri menguasai arena digital. Generasi muslim pun terjebak untuk mengikuti aturan utama dari orang-orang sekuleris.
Untuk itu Islam harus diberi ruang untuk merombak tatanan ini. Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi sosial, termasuk bermedia sosial. Sebab saat ini manusia tidak bisa dipisahkan dari media sosial. Hampir seluruh masyarakat dari kalangan muda hingga generasi tua, telah menjadikan media sosial sebagai bagian dari kehidupannya.
Ibarat pisau bermata dua, media sosial bisa dimanfaatkan untuk kebaikan dan keburukan. Untuk itulah butuh penyusunan strategi agar generasi ini dipaksa oleh sistem agar membawa kebaikan baik di dunia nyata maupun di kehidupan maya. Banyak hal-hal positif yang bisa dimanfaatkan dalam media sosial, misalnya menyuarakan kebaikan Islam, silah ukhuwah, berbisnis, menyebarkan informasi yang bermanfaat.
Hal ini membutuhkan hadirnya negara, agar umat dan generasi dipastikan berada dalam suasana sehat dan Islami. Tidak ada tayangan dan program yang membuat masyarakat ketagihan. Negara bisa memblokir situs-situs yang bisa memicu terjadinya pelanggaran syariah. Negara harus menciptakan suasana produktif agar para pemuda terpacu untuk selalu aktif dalam kehidupan nyata. Hal ini dapat digalakkan melaui kurikulum pendidikan, pendidikan keluarga, pelatihan secara umum dari negara. Semua ini tentu ditopang oleh negara yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap rakyatnya serta memiliki kekuatan untuk memaksa.
Negara harus berpartisipasi penuh dalam menangani masalah sistemik ini. Yaitu dengan cara mengatur media industri dan teknologi. Sebab dalam sistem kapitalis saat ini, media sosial adalah bisnis raksasa yang mampu membentuk manusia menjadi robot dengan algoritmanya. Negara harus mampu mengendalikan media sosial, menyelekasi secara ketat, memberlakukan regulasi dan sanksi tegas agar konten selalu mengarah pada kebaikan, yakni komunikasi sehat, pendidikan dan dakwah.
Negara juga harus memastikan kondisi kesehatan mental dan ruhiyah rakyatnya, terutama generasi muda yang kehidupannya tak bisa lepas dari media sosial. Suasana keimanan harus selalu dijaga dalam kehidupan masyarakat agar menjadi benteng utama untuk menapaki kehidupan yang penuh ujian dan tantangan. Agar umat ini senantiasa dalam kondisi semangatbdan bahagia menjalani hari-hari atas dasar pemahaman bahwa rida dari Allah ada sumber kebahagiaan yang hakiki.
Walhasil negara memiliki peran besar, yakni meneguhkan identitas umat Islam dalam diri mereka. setara dengan karakter umat dalam masa kejayaan Islam, yakni memiliki kontribusi nyata untuk membangun membangun negara. Mereka bisa menjadi ulama, mujtahid, sekaligus sebagai ilmuwan, penemu, pembaharu untuk mengisi peradaban gemilang. Wallahu'alam bish-shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
