Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Sholihin

RAPBN 2026: Optimisme Vs Political Budgeting

Politik | 2025-10-08 09:33:02

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen, dengan defisit dijaga di level 2,68 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut angka ini sebagai “optimisme realistis” yang ditopang oleh belanja produktif, stabilitas fiskal, dan potensi demografi.

Sekilas, target tersebut tidak tampak ekstrem—mendekati proyeksi lembaga internasional seperti IMF (5,0 persen) atau ADB (5,0 persen). Namun apabila ditelusuri lebih jauh, RAPBN 2026 mengandung paradoks: optimisme makro yang dibangun di atas fondasi yang rapuh dan rentan terhadap gejolak eksternal. Pertanyaannya: apakah 5,4 persen itu proyeksi berbasis realitas atau konstruksi politik untuk menjaga narasi optimisme pemerintah?

Asumsi dan Kerentanan

Asumsi makro RAPBN 2026 bertumpu pada tiga pilar: konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, dan investasi. Konsumsi diharapkan tetap menjadi motor pertumbuhan, tetapi ada sinyal kelemahan: utang konsumsi rumah tangga meningkat, rasio tabungan menurun, dan pertumbuhan upah riil cenderung stagnan. Data Bank Indonesia menunjukkan rasio kredit konsumsi tumbuh lebih cepat dibanding pendapatan disposabel. Artinya, permintaan domestik makin bertumpu pada pinjaman, bukan produktivitas. Fondasi semacam ini rapuh dan memperbesar risiko apabila kondisi pasar tenaga kerja tidak membaik.

Belanja pemerintah juga menanggung beban ganda. Di satu sisi, infrastruktur, pangan, dan subsidi energi memang berpotensi menciptakan multiplier effect. Di sisi lain, efektivitasnya sering terkikis oleh inefisiensi birokrasi. Pada 2024, misalnya, realisasi belanja modal pemerintah hanya mencapai 87 persen dari pagu anggaran, sedangkan subsidi energi melonjak hingga lebih dari Rp 500 triliun karena harga minyak mentah Indonesia (ICP) melampaui asumsi. Pola ini memberi peringatan bahwa RAPBN 2026 sangat rawan tersedot oleh belanja rutin dan subsidi konsumtif, bukan investasi produktif.

Sektor investasi pun menghadapi tantangan. Pemerintah menggantungkan banyak harapan pada proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) serta hilirisasi mineral. Namun, sejumlah studi menyebutkan lebih dari 60 persen investasi IKN masih bergantung pada dukungan APBN, sementara partisipasi swasta belum optimal. Hilirisasi nikel juga tengah menghadapi tekanan oversupply global, dengan harga nikel yang turun hampir 40 persen sejak 2023. Skenario pelemahan harga ini dapat menekan proyeksi penerimaan ekspor sekaligus menurunkan minat investor jangka panjang.

Indikator eksternal menegaskan kerentanan itu. Rasio utang pemerintah per Agustus 2025 berada di kisaran 39 persen PDB, relatif aman dibanding batas 60 persen UU Keuangan Negara, namun tren kenaikannya cukup konsisten sejak 2019. Cadangan devisa merosot ke USD 150,7 miliar, terendah dalam sembilan bulan terakhir, akibat intervensi Bank Indonesia untuk menstabilkan rupiah. BI juga menurunkan suku bunga acuan menjadi 4,75 persen pada September 2025 untuk mendukung likuiditas, meski kebijakan The Fed yang masih mempertahankan suku bunga tinggi berisiko memicu arus keluar modal asing (capital outflow).

Di sektor eksternal, ketergantungan pada komoditas tetap menjadi titik lemah. China dan India—dua pasar utama—mulai mengurangi impor batubara, sejalan dengan transisi energi. Harga CPO global diperkirakan stagnan atau melemah tipis pada 2026, karena meningkatnya produksi minyak nabati alternatif di Amerika Latin dan Afrika. Defisit transaksi berjalan Indonesia juga masih tercatat 0,8 persen PDB pada kuartal II 2025. Meski tidak krisis, data ini menegaskan rapuhnya neraca eksternal.

Asumsi inflasi 3 persen dalam RAPBN juga rentan terguncang. Faktor cuaca ekstrem seperti El Nino atau La Nina dapat mendorong harga beras, sementara ketegangan geopolitik bisa mendorong harga minyak kembali menembus USD 90 per barel. Jika itu terjadi, beban subsidi energi berpotensi kembali membengkak, menggerus ruang fiskal untuk belanja pembangunan.

Dengan kata lain, RAPBN 2026 sangat sensitif terhadap variabel eksternal dan tidak sepenuhnya memiliki bantalan fiskal yang kuat untuk meredam gejolak.

RAPBN sebagai Political Budget

Pilihan menjaga defisit di angka 2,68 persen PDB mencerminkan disiplin fiskal. Namun, disiplin itu membawa dilema: apakah menjaga defisit berarti mengorbankan pembiayaan untuk investasi produktif jangka panjang (digitalisasi, pendidikan vokasi, energi terbarukan), atau memperlebar defisit demi mempercepat transformasi ekonomi?

Dari kacamata teori ekonomi politik fiskal, RAPBN bukan dokumen netral tetapi hasil kompromi politik. Menetapkan target pertumbuhan 5,4 persen dapat dibaca sebagai political budget: angka yang menenangkan pasar sekaligus mempertahankan legitimasi pemerintah di tengah ketidakpastian. Angka itu juga berfungsi menjaga narasi optimisme menjelang siklus politik 2029, ketika stabilitas politik dan ekonomi akan diuji lebih keras.

Trade-off defisit dan pertumbuhan mencerminkan pilihan politik. Pemerintah bisa saja menambah ruang defisit menjadi 3–3,2 persen PDB untuk memperluas belanja produktif, tetapi risiko politik akibat meningkatnya utang membuat langkah itu tidak populer. Sebaliknya, defisit ketat memberi kesan disiplin fiskal, meski berpotensi mengorbankan kualitas pertumbuhan.

Untuk menjadikan RAPBN instrumen transformasi, ada tiga prasyarat. Pertama, memperkuat basis konsumsi domestik dengan peningkatan pendapatan riil dan produktivitas, bukan sekadar menambah utang konsumsi. Kedua, mendiversifikasi ekspor agar tidak bergantung pada siklus harga komoditas global, termasuk mendorong industri manufaktur berorientasi ekspor. Ketiga, meningkatkan efisiensi belanja negara melalui digitalisasi birokrasi dan pengawasan berbasis data, agar dana benar-benar mengalir ke sektor dengan multiplier tinggi.

Optimisme dalam APBN memang penting untuk menjaga kepercayaan publik. Namun, optimisme tanpa basis empiris dan keberanian reformasi ekonomi hanya akan menjadi jebakan politik anggaran. RAPBN 2026 berpotensi besar sekadar menjadi dokumen simbolik, kecuali ada keberanian menjadikannya alat transformasi struktural. Jika tidak, angka 5,4 persen akan tinggal retorika politik yang menutupi kerentanan ekonomi aktual, dan kian nyata menyerbu realitas■

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image