Jawa Barat Darurat Putus Sekolah: Menyelamatkan Generasi di Tengah Ketimpangan Akses dan Ekonomi
Eduaksi | 2025-10-08 06:14:45Data terbaru Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tahun 2024 yang dirilis melalui Tirto.id menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi dengan angka putus sekolah dasar tertinggi di Indonesia, yakni mencapai 4.681 siswa. Angka ini bukan sekadar statistik — ia menjadi cermin dari kompleksitas persoalan sosial, ekonomi, dan 6struktural pendidikan di provinsi berpenduduk terbesar di Tanah Air ini.
Fenomena putus sekolah di Jawa Barat tidak hanya terjadi di daerah pelosok, tetapi juga di kawasan penyangga kota besar seperti Bogor, Bekasi, dan Sukabumi. Kemiskinan struktural, terutama di wilayah pedesaan dan pesisir, menjadi penyebab utama. Banyak keluarga yang masih bergantung pada penghasilan harian dan menjadikan anak sebagai bagian dari tenaga kerja keluarga. Anak-anak di daerah pertanian atau perkebunan kerap diminta membantu orang tua, terutama saat musim tanam dan panen.
Selain faktor ekonomi, akses pendidikan yang tidak merata juga menjadi pemicu serius. Di beberapa kecamatan terpencil di Garut Selatan, Tasikmalaya, dan Cianjur, jarak sekolah dasar ke rumah siswa bisa mencapai lebih dari lima kilometer tanpa transportasi memadai. Hal ini membuat banyak anak memilih berhenti sekolah, terutama pada jenjang kelas 4 ke atas.
Faktor lain yang memperburuk kondisi ini adalah kurangnya dukungan lingkungan belajar yang inklusif dan aman. Beberapa anak mengalami perundungan, kekerasan verbal, atau tekanan sosial di sekolah. Minimnya layanan konseling dan keterampilan guru dalam menangani anak-anak dari latar ekonomi lemah memperburuk situasi.
Pandemi COVID-19 yang berkepanjangan juga meninggalkan dampak panjang. Ketika sekolah daring diberlakukan, banyak siswa dari keluarga miskin di Jawa Barat tidak memiliki gawai atau akses internet. Setelah pandemi berakhir, sebagian dari mereka tidak pernah kembali ke bangku sekolah.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebenarnya telah meluncurkan berbagai inisiatif seperti Program Sekolah Juara, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), dan bantuan BOS daerah, namun implementasi di lapangan sering terkendala birokrasi dan tidak merata antarwilayah.
Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Model pendidikan berbasis komunitas seperti “Pancawaluya Jabar Ngajiji”, yang mengintegrasikan pendidikan formal dan pesantren berbasis desa, bisa menjadi solusi alternatif. Konsep ini memastikan bahwa setiap anak memiliki tempat belajar yang dekat, aman, dan relevan dengan konteks sosial budayanya.
Jawa Barat tidak kekurangan sumber daya manusia maupun potensi ekonomi. Namun tanpa keberpihakan nyata terhadap pendidikan dasar, provinsi ini akan terus bergulat dengan lingkaran kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Menyelamatkan anak-anak agar tidak putus sekolah berarti menjaga masa depan Jawa Barat dan Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
