Kohabitasi Berujung Tragedi Mutilasi: Alaram Bahaya Pergaulan Bebas
Edukasi | 2025-10-07 23:38:56
Kisah tragis menimpa seorang gadis lulusan salah satu universitas di Jawa Timur pada 31 Agustus 2025. Seorang sarjana pertama di keluarga sederhana yang telah lama merantau, kini dipulangkan dengan jasad yang tak lagi utuh.
Gadis tersebut merupakan korban pembunuhan dengan cara dimutilasi oleh kekasihnya sendiri. Jasadnya ditemukan telah terpotong menjadi 310 bagian dan ditemukan tersebar di kawasan hutan Pacet, Mojokerto serta ditemukan disimpan di dalam lemari kamar kos pelaku. Sungguh sangat menyayat hati dan membuat kita berpikir “Mengapa bisa ada orang sejahat ini?”. Kasus ini dapat dikatakan menjadi kasus pembunuhan mutilasi yang paling sadis sepanjang tahun. Aksi keji ini dipicu oleh persoalan sepele, yaitu ketika pelaku marah karena korban tidak membukakan pintu kos saat pelaku pulang terlalu larut malam. Selain itu, ternyata pelaku sudah menyimpan sakit hati dan dendam yang menumpuk akibat ditekan oleh gaya hidup korban yang tinggi dan sifatnya yang temperamental. Mungkin tidak pernah terpikir dalam benak bagaimana nyawa seseorang bisa terenggut dengan cara tragis di tangan kekasihnya sendiri, padahal dikabarkan pelaku sedang ingin menikahi korban. Tapi inilah faktanya, di zaman sekarang pelaku kejahatan ada di mana saja dan tidak memandang siapa saja. Siapa saja bisa menjelma menjadi harimau paling ganas, sekalipun kepada orang yang dicintainya.
Lebih dari sekadar perkara personal, di balik kisah ini, terselip fakta pergaulan bebas yang semakin marak di kalangan anak muda. Diketahui pelaku dan korban menjalani living together atau kohabitasi atau hidup bersama dalam satu atap tanpa ikatan pernikahan. Bukan hanya sekedar tinggal bersama, tapi mereka menjalani kehidupan layaknya suami istri dan berbagi tanggung jawab finansial. Namun, semakin ke sini, aktivitas kemaksiatan semakin dianggap hal yang biasa di tengah masyarakat, tidak lagi tabu dan tidak lagi menjadi hal yang memalukan. Perbuatan yang haram sudah tidak lagi menjadi hal yang ditakuti, bahkan sudah banyak berjamuran penginapan atau kos bebas yang memperbolehkan siapa saja tinggal bersama tanpa ada ikatan pernikahan. Padahal, realita menunjukkan bahwa aktivitas seperti ini sering kali rapuh, rentan konflik, bahkan bisa berujung tragedi memilukan. Selain itu, ikatan hubungan tanpa pernikahan merupakan selemah-lemahnya ikatan. Tidak adanya ikatan yang sah dan perjanjian sakral melalui pernikahan, membuat siapapun dapat dengan bebas meninggalkan, melukai, merusak harga diri, dan bahkan menghilangkan nyawa karena lemahnya tanggung jawab. Tidak adanya kesiapan menjadi suami istri tapi memaksakan diri untuk melakukan aktivitas layaknya suami istri. Secara tidak sadar, korban masih terus bertahan karena meyakini pasangannya dapat berubah, tetapi kenyataannya justru hubungan itu semakin membahayakan dan mengancam atau disebut juga toxic relationship.
Inilah potret kehidupan di dunia yang telah disusupi oleh paham kebebasan atau liberalisme. Liberalisme lahir dari paham dalam sistem kapitalisme sekuler. Dalam kehidupan sekuler, aturan agama tidak lagi digunakan dalam menjalankan urusan kehidupan. Akibatnya aturan dalam pergaulan utamanya dengan lawan jenis tidak lagi dijadikan rambu-rambu yang membatasi. Secara tidak sadar, sistem ini tengah hidup dan menjadi mindset dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kebebasan yang katanya merupakan bagian dari hak asasi manusia, kini menjadi hal yang mengakibatkan lahirnya banyak perilaku kejahatan dan kerusakan. Perlahan tapi pasti, hal yang dulu dianggap aib kini justru dipromosikan sebagai tren modern. Kebebasan yang dijanjikan membawa bahagia, justru melahirkan duka.
Jika kita telaah dan sadari bersama, setiap tindak kejahatan bermula dari aktivitas yang dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, jika kita membuka pandangan lebih luas, sejatinya syariat Islam hadir bukan untuk mengekang, tetapi untuk menjaga manusia agar terhindar dari keburukan. Islam sebenarnya telah memberikan panduan yang jelas dan rambu-rambu mengenai interaksi antara laki-laki dan perempuan. Setiap aturan Islam hadir bukan untuk menyengsarakan, melainkan untuk melindungi kehormatan keduanya. Hubungan hanya dibenarkan dalam ikatan pernikahan, karena di situlah ada tanggung jawab, perlindungan, dan jaminan hak.
Dalam sistem Islam (khilafah), sebelum tragedi semacam ini terjadi, terdapat langkah-langkah pencegahan sejak awal yaitu melalui langkah preventif berupa pembinaan akidah, pengaturan pergaulan laki-laki dan perempuan, serta peran negara yang aktif menjaga moral publik sesuai dengan syariat. Aktivitas yang berpotensi mendekatkan pada zina seperti khalwat (berdua-duaan), ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), pacaran, dan tinggal bersama tanpa nikah dilarang karena membuka pintu kerusakan yang lebih besar. Jika ada pelanggaran, hukum ditegakkan tegas dan adil, baik berupa sanksi bagi pelaku zina maupun perlindungan penuh bagi perempuan, tanpa diskriminasi agama. Sementara ketika kejahatan sudah terjadi, negara hadir secara kuratif dengan memberi keadilan cepat bagi korban melalui qishash, memberikan dukungan penuh bagi keluarga korban, serta memulihkan masyarakat agar tragedi serupa tidak terulang. Inilah bukti nyata bagaimana aturan Islam dalam bingkai khilafah mengatasi masalah secara menyeluruh, dari pencegahan hingga penanganan. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin menjaga martabat manusia dan melindungi kehidupan bersama.
Namun, aturan ini tidak bisa hanya berhenti dalam penerapan individu saja, tetapi juga oleh sistem yang menaungi kehidupan bersama dan mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan, yaitu negara. Negara seharusnya berperan mendidik, mengatur, dan menjaga agar pergaulan tidak melenceng dari nilai moral dan agama. Ketika sistem yang berlaku adalah sekuler-liberal, hasilnya adalah kebebasan tanpa arah yang sering kali justru menjerumuskan. Namun jika aturan Islam ditegakkan secara menyeluruh, maka masyarakat akan memiliki pagar yang jelas: pergaulan tetap sehat, aman, dan terhormat.
Penting untuk dipahami, bahwa aturan Islam hadir bukan hanya untuk mengatur umat Islam saja, tetapi syarat Islam diturunkan Allah sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Islam bukan hanya agama ritual saja, tetapi Islam juga merupakan ideologi yang menjadi asas dalam mengatur semua aspek kehidupan. Syariat Islam seperti larangan zina, perintah menikah, hingga pengaturan pergaulan sejatinya melindungi martabat laki-laki dan perempuan tanpa memandang agama. Aturan Islam hadir untuk menjamin hubungan yang tentram antar sesama manusia secara universal. Aturan Islam tidak menzalimi siapapun. Justru, jika dijalankan ia akan menghadirkan kebaikan bagi semua manusia tanpa terkecuali. Hal ini dibuktikan melalui kisah pada Perjanjian Yerussalem di zaman kekhilafahan yang ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab. Perjanjian tersebut memberikan jaminan keamanan kepada penduduk Yerusalem, termasuk orang-orang Kristen dan Yahudi berupa kebebasan hidup, beragama, bertempat tinggal, memiliki harta benda, dan menjalankan ibadah. Islam mampu menyejahterakan dan menjaga masyarakat dari keburukan jika aturan Islam diterapkan secara menyeluruh (kaffah) dalam naungan negara yang disebut khilafah.
Tragedi mutilasi ini mestinya menjadi cermin bagi kita semua. Bahwa liberalisasi pergaulan tidak membawa kebaikan, justru menyisakan luka dan kehilangan. Sudah saatnya kita meninjau ulang paradigma yang selama ini diagung-agungkan, dan kembali pada aturan yang benar-benar menjaga martabat manusia. Islam menawarkan jalan itu, bukan sekadar sebagai keyakinan pribadi, tetapi sebagai sistem hidup yang mampu melindungi generasi dari kebebasan yang menyesatkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
