Kohabitasi Berakhir Tragedi: Buah Gaya Pacaran yang Kian Ngeri
Gaya Hidup | 2025-09-22 23:13:50
Jujur, sebelum jagat maya banjir berita kasus mutilasi pasangan kohabitasi, saya sempat kaget membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Muchamad Aly Reza di mojok.co 23/7/25. Artikel tersebut menggelitik kewarasan, karena mengisahkan kehidupan kumpul kebo yang marak di kalangan mahasiswa Malang. Gaya bebas hubungan laki wanita berkedok latihan berumahtangga, dianggap sebagai sebuah pilihan normal. Sebab minim resiko finansial dan tanggungjawab ikatan. Hingga tak perlu menghadapi rumitnya proses perceraian, saat hubungan sudah tak bisa dipertahankan.
Di awal, kohabitasi nampak legit penuh romansa. Ngekos bareng untuk latihan manajemen keuangan bersama, menjustifikasi relasi ini seolah jadi pilihan bijak bagi yang tak siap. Mereka lupa dibalik manisnya kohabitasi, ada sisi gelap yang bisa meledak kapan saja. Hubungan nafsu tanpa status, tak adanya komitmen tanggungjawab, sangat mudah memicu ledakan konflik. Ending tragis plot twist mutilasi seorang gadis oleh pasangan kumpul kebonya, membuka mata akan bahaya hubungan ini.
Living together without responsibility, kini menjadi tren kehidupan bebas anak muda. Gaya hidup toksik ini makin menjamur, lebih karena masyarakat sekitar memberikan penerimaan dan menormalisasinya. Wajar memang, tren ini makin booming, sebab gaya liberal dan sekuler juga makin grooming. Masyarakat dengan otak sekuler tak menjadikan aktivitas pacaran hal yang tabu. Bahkan tinggal serumah dan berbagi tugas rumah tangga dengan pacar, layaknya suami istri dianggap hal yang wajar.
Titik krusial sekularisme yang melempar agama dari kehidupan, membuat seseorang merasa bebas berbuat apapun. Ketika marah, cinta, senang, dia akan memuaskannya dengan cara sesuka hatinya. Tak peduli halal-haram, yang penting happy. Sungguh hal ini menjadikan masyarakat yang mayoritas muslim menjadi buram keimanannya. Fisikly muslim mentally sekuler. Ukuran bahagia pun tak lagi ridlo Allah swt, tapi sebatas nikmat jasmani dan materi belaka.
Setali tiga uang, negara sekuler pun tak peduli halal haram. Iman generasi tak lagi menjadi prioritas. Bahkan benteng ketaatan merekapun dihancurkan. Aktivitas pacaran dan zina didukung maksimal, tak dianggap sebagai dosa. Tidak pula masuk dalam tindak pidana yang harus disangsi. Barulah ketika ada korban, atau ada pihak yang merasa dirugikan, pelaku dipidana. Jika tak ada korban, terlebih ada consent dalam hubungan seksual tersebut, maka tidak dianggap tindak kriminal.
Menyedihkan, generasi muslim yang tinggal di negeri muslim, asing dari aturan agamanya sendiri. Tak sadar imannya sedang digempur standar sekuler yang liberal. Alhasil, sah-sah saja kalau keburukan demi keburukan akan menimpanya. Sebab Allah swt telah menegaskan dalam Al Qur’an surat Ar Rum:41, bahwa kerusakan, kezaliman, keburukan yang terjadi di darat dan laut, hasil ulah manusia sendiri dan akibat berlepas dari aturan Sang Khalik.
Tak bisa ditawar, gaya hidup gila semacam kohabitasi wajib dibuang, karena nir faedah full maksiat. Pola awalnya dengan membangun benteng ketakwaan individu. Benteng takwa ini yang akan menuntun seorang muslim bertindak sesuai tujuan penciptaan. Dia juga harus memahami pengaturan sistem sosial sesuai syariat Islam. Menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Islam seperti pacaran dan membunuh. Juga menjalankan pola interaksi lawan jenis, sesuai kebutuhan yang dibenarkan syariat. Kalaupun ada sinyal asmara antar 2 jenis manusia ini, maka Islam telah memberi kado penyelesaian terbaik dan bersih, yaitu pernikahan.
Apakah cukup dengan benteng takwa individu, bisa melindungi generasi dari maksiat? No, tentunya saja tidak cukup! Ada 2 faktor lain yang harus ikutan berperan. Masyarakat yang care dan negara yang melindungi. Pedulinya masyarakat pada generasi, akan menjadi ruang kontrol efektif terhadap pergaulan bebas. Saling mengingatkan dalam hal baik dan mencegah hal buruk atau kemungkaran. Situasi ini akan menjadi katalis kebaikan dalam interaksi sosial.
Next level dan menjadi finalnya, negara harus menerapkan sistem terbaik. Sistem yang mengikat kembali dikotomi dunia akhirat. Mewujudkan kehidupan yang berlandas iman dan Islam secara kaffah. Baromater halal haram berfungsi sebagai kontrol dan waskat terbaik. Kemudian, negara bersungguh-sungguh membentuk rakyatnya agar berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Menerapkan sistem pergaulan Islam, serta melaksanakan sistem sanksi Islam pada pelaku jarimah (pelanggaran terhadap hukum syariat).
Wallahu’alam bishowab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
