Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kaha Anwar

Takdir yang Runtuh

Agama | 2025-10-06 22:05:32

Senja belum benar-benar terjadi, begitu pula September: belum benar-benar sempurna, saat angin sore hari masih membawa sisa-sisa panas siangnya Jawa timur, sebuah bangunan tiga lantai di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, roboh seperti daun jati kering yang lepas dari dahannya. Itu tidak sekadar runtuhan bata dan besi, tapi runtuhan yang menelan nyawa—54 (update 6 Oktober2025) santri kecil, remaja yang baru saja memunajatkan rukun-rukun Ashar, terkubur di bawah puing-puing mushala yang seharusnya menaungi mereka dari sengatan matahari.

Pagi itu, mereka baru saja merampungkan pengecoran atap lantai tiga, sebuah upaya memperluas ruang belajar dan ibadah. Namun penopang cor yang rapuh, beban berlebih dari desain yang tak direvisi, dan mungkin saja ketiadaan izin mendirikan bangunan yang layak, membuat semuanya ambruk dalam hitungan detik. Ketika tim SAR menggali reruntuhan, keluarga-keluarga menunggu di luar garis polisi. Mata mereka basa bukan karena hujan, melainkan oleh air mata yang tak kunjung berhenti menangis.

sumber gambar: https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/wp-content/uploads/2023/09/tangan.jpg

KH. Abdus Salam Mujib—pengasuh sekaligus Rais Syuriah PCNU Sidoarjo—menyambangi lokasi dengan langkah gontai. Ia tidak menyalahkan tukang cor atau kontraktor yang bekerja di bawah cambukan waktu. Ia juga tidak menuding birokrasi daerah yang lelet dalam pemeriksaan keselamatan. Justru yang terucap dari bibirnya hanyalah kalimat sederhana, tetapi berat bagaikan Gunung Semeru: “Saya kira ini takdir Allah. Semuanya harus bisa bersabar dan mudah-mudahan diberi ganti oleh Allah yang lebih baik.”

Takdir. Kata itu menyeruak di udara bersama polutan-polutan kota, layaknya aroma za’faran yang tak terlihat, tetapi menyengat hidung siapa saja yang mendengar. Di tengah lelahnya evakuasi, kata itu bagaikan seteguk air bagi mereka yang berduka. Namun juga menjadi slilit bagi yang merenung: apakah runtuhan itu benar-benar sudah tertulis di Lauh Mahfuzh, ataukah hanya lahir dari tangan manusia yang lalai?

Takdir—atau adar—bukanlah konsep dingin layaknya rumus matematika, tetapi bagaikan embusan angin Ilahi yang menyentuh segala sesuatu. Al-Quran membukanya lebar-lebar di surah ad-Dukhan: “Tidaklah Kami menciptakan langit, bumi, dan apa saja yang ada di antara keduanya secara main-main.” Qada’ adalah ketentuan umum Allah sejak azali, sebuah “cetak biru” kosmik yang melingkupi segala sesuatu—dari embusan angin hingga denyut nadi seekor belatung. Qadar adalah pengejawantahan di dunia fana ini: detail-detail kecil yang terurai layang benang dari tangan penenun yang sempurna. Ibn Taimiyyah menyebut qadar sebagai “takdir Allah terhadap sesuatu,” yang telah ditulis lima puluh ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan. Namun di sinilah keindahannya: Islam tidak membiarkan manusia layaknya boneka kayu yang digerakkan oleh tali yang tak kasat mata. Ada ikhtiar, sebuah usaha yang menjadi penghubung antara qada’ dan qadar.

Seperti yang disabdakan Nabi Saw: “Ikatlah untamu, kemudian bertawakkallah.” Takdir bukan alasan diam; ia adalah panggilan untuk beraksi, sembari menyerahkan hasilnya pada tangan Yang Mahakuasa.

Bayangkanlah para santri Al-Khoziny itu. Mereka bangun sebelum subuh, menunaikan shalat Fajar, membaca kitab kuning di bawah sorot lampu neon yang temaram, atau mungkin juga membantu mengaduk semen untuk pengecoran saat matahari sudah setinggi galah. Ikhtiar mereka adalah belaja, beribadah, membangun pesantren yang lebih baik. Namun, saat runtuhan itu terjadi, qadar menampakkan wajahnya yang kejam: penopang yang patah, balok yang terlalu kecil, atau boleh jadi plat beton yang tak memenuhi standar SNI. Apakah itu takdir murni, atau takdir yang diselai kelalaian? Kiai Abdus Salam memilih kata “takdir” sebagai penawar duka, sebuah cara merangkul misteri Tuhan di tengah trgedi. Di pesantren-pesantren atau lingkup masyarakat, takdir sering kali menjadi tameng—bukan karena lemah, tapi di dalamnya ada sabar yang dalam dan tawakkal yang tak tergoyahkan.

Namun, di balik itu, ada bayang-bayang samar: bayang-bayang fatalism, di mana takdir menjelma selimut yang menutupi pertanya-pertanyaan keras: tidak adakah peer review desain? Apakah ada IMB?

Takdi dalam filsafat modern bukanlah embusan Ilahi, melainkan rantai sebab-akibat yang dingin. Jean-Paul Satre, sang eksistensialis Prancis, perokok berat dan menulis di kafe-kafe Prancis, akan tersenyum getir ketika mendengar kata “takdir”. Manusia adalah makhluk yang dikutuk untuk bebas—katanya—tidak ada Tuhan yang menentukan, tidak ada skenario azali. Manusia melemparkan dirinya ke dunia tanpa peta, setiap pilihan akan membentuk esensi kita sendiri.

Runtuhan ponpes itu, bukan takdir—kata Sartre—melainkan konsekuensi dari pilihan bebas: pilihan sang kiai, pilihan dari intrik kontraktor, bahkan pilihan pemerintah yang tak ketat mengawasi. “Hell is other people,” katanya—neraka adalah orang lain, tetapi juga bisa dari kecerobohan kita sendiri yang kemudian menjerat dalam lingkaran itu.

membentuk esensi kita sendiri. Runtuhan di Al-Khoziny, bagi Sartre, bukan takdir Allah, tapi konsekuensi dari pilihan bebas: pilihan kiai untuk membangun tanpa konsultasi ahli, pilihan kontraktor untuk mengabaikan beban berlebih, pilihan pemerintah daerah untuk tak mengawasi ketat. "Hell is other people," katanya—neraka adalah orang lain, tapi juga pilihan kita sendiri yang menjerat kita dalam lingkaran itu.

Namun, Baruch Spinoca berkata lain. Ia melihat alam semesta sebagai kesatuan deterministic: segala sesuatu mengikuti hukum alam, seperti air mengalir dari pegunungan dan bermuara ke lautan. Takdir bukan keinginan Tuhan yang sewenang-wenang, tetapi takdir adalah necessity—keharusan—dari rantai sebab-akibat. Para santri bukanlah korban takdir buta, namun bagian dari tatanan kosmik di mana overloading struktur memicu pancake collapse, seperti yang dianalisis oleh para insinyur ITS. Atau bisa saja itu compatibilism ala David Hume: kehendak bebas dan determiminisme bisa berjalan bergandengan tangan.

Manusia bebas memilih, tapi pilihan itu ditentukan oleh sebab-sebab sebelumnya—pendidikan, budaya, regulasi yang longgar. Tawakal, kata yang indah itu kerap berjumpa dengan realitas modern, di mana keselamatan tidak hanya bergantung pada doa, tetapi juga uji kelayakan bangungan. Nasaruddin Umar, Menteri Agama, datang bantuan Rp610 juta, tampaknya memahami ini: ia berjanji menggelar pertemuan dengan para ahli untuk mencegah tragedi serupa. Bukan menolak takdir, melainkan melengkapinya dengan ikhtiar kolektif.

Coba renungkah: di tengah hiruk pikuknya tim SAR menyelamatkan para santri di bawah puing-puing bangunan itu, kata “takdir” kiai menjadi jembatan antara duka dan harapan. Ia mengingatkan kita bahwa teologi Islam tidaklah fatalism semata: tapi ajakan untuk bertanya: apa ikhtiar selanjutnya yang bisa kita lakukan? Sementara, skeptisisme filsafat modern menambakan lapisan: jangan biarkan “takdir” menjadi alasan untuk lengah. Runtuhan itu memang takdir. Tapi takdir selanjutnya menuntut kita membangun kembali, tidak dengan semen saja, tetapi dengan tanggung jawab yang lebih kuat dari besi beton mana pun.

Saat fajar menyingsing di langit Sidoarjo, para santri akan kembali membaca al-Quran dan lembaran-lembaran kitab kuning. Mereka mungkin akan bertanya, seperti kita semua: di antara qadar dan pilihan, di mana letak tangan kita? Mungkin jawabannya ada di sana, di antara puing-puing yang kini menjadi pelajaran abadi.

Kaha Anwar

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image