Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Roma Kyo Kae Saniro

Bayar atau Ribut? Budaya Diam dalam Pungutan Liar Parkir

Info Terkini | 2025-10-06 10:09:12

oleh Roma Kyo Kae Saniro, M.Hum.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

(Ilustrasi Tempat Parkir. Sumber: https://www.freepik.com/free-photo/empty-underground-parking-garage_1243326.htm#fromView=search&page=1&position=31&uuid=ee2b682f-e027-4960-94dd-baa15c6d6c4b&query=parkir+sembarangan)

 

Beberapa waktu terakhir, publik dibuat ramai oleh kasus perselisihan antara seorang dosen dan tetangganya yang berawal dari persoalan parkir di depan rumah. Permasalahan yang tampak sederhana ini justru memantik diskusi luas mengenai perilaku parkir masyarakat yang seolah tidak pernah tuntas. Fenomena parkir sembarangan, parkir liar, hingga pungutan liar di berbagai tempat menunjukkan bahwa persoalan ini telah berakar dalam kehidupan sosial kita.

Di banyak lokasi, seperti area minimarket, mesin ATM, atau tempat umum lainnya, masyarakat kerap kali dihadapkan pada situasi yang tidak adil: meskipun hanya berhenti sebentar, kurang dari sepuluh menit, mereka tetap diwajibkan membayar biaya parkir tanpa disertai karcis resmi. Praktik seperti ini tentu menimbulkan keresahan karena tidak hanya melanggar ketentuan hukum, tetapi juga mencerminkan lemahnya kesadaran kolektif terhadap tata tertib ruang publik.

Kasus semacam ini bukan hal baru—di berbagai kota, parkir sembarangan, parkir liar, hingga pungli parkir telah menjadi bagian dari realitas sosial yang seolah “dimaklumi.” Jika menelaah lebih jauh, berbagai upaya telah dimaksimalkan oleh pemerintah dengan mengatur parkir, khususnya biaya dan waktu parkir minimal yang harus dibayar. Seperti peraturan tentang parkir diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan yang melarang parkir sembarangan karena mengganggu fungsi jalan dan lalu lintas. Lebih lanjut, retribusi tempat khusus parkir diserahkan ke peraturan daerah masing-masing. Namun, pada kenyataannya, semua aturan tidak berjalan sesuai dengan harapan.

Dalam pandangan filsafat etika, perilaku parkir sembarangan merefleksikan krisis kesadaran moral individu terhadap tanggung jawab sosial. Menurut filsafat eksistensialisme Sartre, manusia adalah makhluk bebas yang bertanggung jawab atas tindakannya. Parkir sembarangan, meski tampak sepele, menunjukkan bagaimana seseorang gagal menggunakan kebebasannya secara bertanggung jawab terhadap “yang lain” (otherness).

Dari sudut pandang filsafat moral, praktik parkir liar dan pungli parkir dapat dibaca sebagai krisis kesadaran etis dalam masyarakat. Dalam pemikiran Immanuel Kant, tindakan bermoral harus dilakukan karena kewajiban moral, bukan karena takut sanksi. Namun, dalam praktik sehari-hari, banyak individu bertindak berdasarkan rasionalitas pragmatis—selama menguntungkan atau tidak menimbulkan konflik langsung, maka dianggap benar. Inilah yang menyebabkan pungutan liar parkir terus hidup. Pada akhirnya, masyarakat memilih “bayar saja” daripada menuntut keadilan atau ketertiban.

Tidak hanya kepada oknum yang parkir tidak baik, oknum juru parkir ilegal pun menjadi sebuah permasalahan. Menurut pandangan filsafat eksistensialis Satre, ketika individu memilih jalan pintas dengan memungut biaya ilegal atau diam saja terhadap ketidakbenaran, ia turut membangun struktur sosial yang permisif terhadap pelanggaran moral. Tidak hanya sebatas dari tanggung jawab moral pribadi seseorang dan sosial, juru parkir yang memperoleh retribusi parkir secara tidak legal pun menjadi sebuah pungli yang jika dibahas lebih lanjut menjadi sebuah budaya transaksional dan patronase yang menunjukkan bahwa kekuasaan dan ruang publik menjadi sebuah komoditas yang dapat dijual secara informal.

Berbeda dengan pandangan filsuf eksistensialisme Satre, budayawan Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud: (1) ide atau sistem nilai, (2) tindakan, dan (3) artefak. Parkir sembarangan dan pungli parkir adalah bentuk dari tindakan budaya yang mencerminkan sistem nilai di baliknya—yakni nilai permisif, individualistik, dan transaksional. Koentjaraningrat pun menambahkan bahwa kebiasaan dan nilai yang terus-menerus dilakukan oleh masyarakat dalam kurun waktu yang lama akan menjadi pola budaya. Berbagai anggapan masyarakat yang tidak mau rebut dengan juru parkir ilegal menjadi jalan pintas membayar retribusi ilegal tersebut. Oknum tampaknya memandang ruang publik sebagai milik bersama, tetapi tanpa tanggung jawab bersama. Akibatnya, muncul perilaku “asal dapat tempat” dan “asal ada pemasukan,” tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya.

Upaya menghapus praktik parkir liar dan pungutan liar tidak cukup hanya dilakukan melalui penambahan atau pengetatan peraturan. Pengalaman selama ini membuktikan bahwa berbagai regulasi, mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah, belum mampu menuntaskan persoalan tersebut secara menyeluruh. Hal ini terjadi karena akar masalahnya tidak semata terletak pada aspek hukum, melainkan pada kebudayaan etika publik yang belum terbentuk secara kuat di tengah masyarakat.

Diperlukan transformasi budaya etika publik, yakni perubahan cara berpikir, bersikap, dan bertindak warga negara terhadap ruang bersama. Masyarakat perlu memahami bahwa ruang publik—termasuk jalan raya dan area parkir—bukanlah milik pribadi yang bisa dikelola sesuka hati, melainkan milik bersama yang harus dijaga dengan rasa tanggung jawab dan saling menghormati. Kesadaran seperti ini menuntut penanaman nilai sejak dini, baik melalui pendidikan formal maupun teladan sosial dari lingkungan sekitar.

Transformasi ini hanya dapat terwujud bila kita menumbuhkan nilai-nilai kejujuran, disiplin, dan empati sosial. Kejujuran mencegah seseorang mengambil keuntungan dari situasi yang tidak semestinya, seperti memungut biaya parkir tanpa izin resmi. Disiplin mendorong masyarakat untuk menaati aturan tanpa perlu pengawasan ketat. Sementara empati sosial mengajarkan pentingnya menghormati kenyamanan dan hak orang lain di ruang publik.

Lebih jauh, masyarakat juga perlu kembali menjunjung nilai moral universal, seperti keadilan, tanggung jawab, dan integritas. Nilai-nilai tersebut menjadi fondasi bagi kehidupan sosial yang tertib dan beradab. Dengan membangun budaya etika publik yang kuat, Indonesia dapat bergerak dari masyarakat yang permisif terhadap pelanggaran kecil menuju masyarakat yang menjadikan keteraturan dan kejujuran sebagai bagian dari identitas bangsa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image