Dari Job Hugging ke Job Dignity: Saatnya Negara Hadir untuk Rakyat
Gaya Hidup | 2025-10-06 10:03:21Banyak pekerja muda kini lebih memilih bertahan di tempat kerja daripada pindah, sebuah tren yang disebut job hugging. Berbeda dengan dulu saat job hopping jadi strategi mencari gaji lebih tinggi atau pengalaman baru, kini mereka lebih mengutamakan rasa aman. Di tengah ekonomi yang tidak stabil, pasar kerja yang lesu, dan ketidakpastian politik, Gen – Z - Mile cenderung menahan diri karena khawatir sulit mendapat pekerjaan baru.
Tidak hanya di Indonesia, fenomena job hugging kini semakin meluas. Di Amerika juga menunjukkan gejala yang sama yakni kecenderungan pekerja untuk bertahan di tempat kerja yang ada daripada mencari peluang baru. Kondisi ekonomi yang kian lesu, meningkatnya angka PHK, dan pasar kerja yang kurang bergairah membuat banyak orang merasa enggan mengambil risiko pindah kerja. Di sisi lain, kinerja perusahaan yang belum optimal turut memperkuat rasa ketidakpastian, sehingga rasa aman menjadi prioritas utama bagi para pekerja muda dalam menentukan langkah karier mereka.
Tren ini tercermin dalam data Amerika Serikat, di mana tingkat pengunduran diri sukarela sejak awal 2025 hanya mencapai 2%—angka terendah dalam hampir sepuluh tahun. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak karyawan memilih bertahan di pekerjaan mereka. Survei ZipRecruiter juga mengungkapkan peningkatan kekhawatiran terhadap ketersediaan lowongan kerja, dengan 38% pekerja merasa tidak yakin pada kuartal II 2025, naik signifikan dari 26% pada tiga tahun sebelumnya.
Krisis Pekerjaan dalam Bayang-Bayang Kapitalisme Global
Fenomena job hugging—yakni kecenderungan individu mempertahankan pekerjaan yang ada dengan sangat erat karena takut kehilangan dan sulit mendapat pengganti—semakin meluas sebagai dampak dari kegagalan kapitalisme global dalam menjamin hak dasar atas pekerjaan yang layak bagi rakyat. Dalam sistem ekonomi yang didominasi oleh kepentingan pasar dan korporasi, negara perlahan-lahan melepaskan tanggung jawabnya sebagai penyedia utama lapangan kerja. Peran strategis dalam menciptakan kesempatan kerja justru diambil alih oleh sektor swasta, yang lebih mengutamakan efisiensi dan profit daripada kesejahteraan publik. Akibatnya, akses terhadap pekerjaan menjadi semakin kompetitif dan eksklusif, hanya tersedia bagi mereka yang dianggap “produktif” secara ekonomi. Sementara itu, kelompok rentan seperti buruh informal, lulusan baru, dan masyarakat miskin semakin tersisih dari sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Lebih jauh lagi, negara turut memperparah ketimpangan ini dengan melegalkan penguasaan sumber daya oleh segelintir kapitalis, menciptakan struktur ekonomi yang timpang dan tidak inklusif. Ketika aset-aset strategis seperti tanah, energi, dan teknologi dikuasai oleh segelintir elite, maka peluang untuk menciptakan lapangan kerja yang merata pun semakin mengecil. Praktik ekonomi non-riil dan berbasis riba, seperti spekulasi finansial dan investasi berbunga tinggi, justru memperlebar jurang antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Aktivitas ekonomi yang tidak menghasilkan barang atau jasa nyata cenderung memperkaya segelintir pelaku pasar tanpa memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Dalam konteks ini, job hugging bukan sekadar fenomena psikologis, melainkan cerminan dari krisis struktural yang menuntut perubahan mendasar dalam sistem ekonomi dan peran negara.
Dalam sistem kapitalisme modern, meskipun kurikulum perguruan tinggi dirancang agar selaras dengan kebutuhan dunia kerja, hal itu tidak menjamin negara akan turut serta secara aktif dalam memastikan warganya memperoleh pekerjaan yang layak. Prinsip liberalisasi perdagangan, termasuk dalam sektor jasa, mendorong negara untuk menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada mekanisme pasar. Akibatnya, individu harus berjuang sendiri untuk mendapatkan pekerjaan demi memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti pangan, tempat tinggal, dan kesehatan. Negara tidak lagi menjadi pelindung atau penyedia jaminan kerja, melainkan hanya fasilitator dalam arus perdagangan bebas yang lebih mengutamakan efisiensi ekonomi daripada kesejahteraan sosial.
Lapangan Kerja Bukan Privilege, Tapi Hak!
Negara penanggung jawab utama mengurus rakyat, termasuk menyediakan lapangan kerja, menegaskan peran sentral negara dalam menjamin kesejahteraan warganya. Negara bukan sekadar pengatur kebijakan, tetapi juga pemangku amanat untuk memastikan setiap individu memiliki akses terhadap kebutuhan dasar, termasuk pekerjaan yang layak. Dalam konteks ini, penyediaan lapangan kerja bukan hanya soal ekonomi, melainkan bagian dari tanggung jawab sosial dan moral negara terhadap rakyatnya. Negara diharapkan aktif menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan sektor produktif, mendorong investasi yang berorientasi pada penyerapan tenaga kerja, serta melindungi hak-hak pekerja agar tidak terpinggirkan oleh kepentingan pasar bebas.
Lebih jauh, peran negara dalam menyediakan lapangan kerja mencakup kebijakan pendidikan, pelatihan vokasi, pembangunan infrastruktur, dan regulasi pasar tenaga kerja yang adil. Negara harus hadir sebagai fasilitator dan pelindung, bukan sekadar penonton dalam dinamika ekonomi. Ketika negara abai terhadap tanggung jawab ini, maka yang terjadi adalah meningkatnya pengangguran, ketimpangan sosial, dan melemahnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, kalimat tersebut mengandung pesan kuat bahwa negara memiliki mandat konstitusional dan etis untuk mengurus rakyat secara menyeluruh, termasuk memastikan bahwa setiap warga memiliki kesempatan untuk bekerja dan hidup bermartabat.
Dalam sistem pemerintahan Islam yang disebut Khilafah, penyediaan lapangan kerja bukan sekadar tanggung jawab administratif, melainkan bagian dari visi besar untuk menjamin kesejahteraan umat secara menyeluruh. Negara berperan aktif dalam mengelola sumber daya alam secara adil dan produktif, memastikan bahwa kekayaan bumi tidak hanya dikuasai segelintir pihak, tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Melalui kebijakan industrialisasi yang terarah, Khilafah mendorong tumbuhnya sektor-sektor produksi yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, sekaligus memperkuat kemandirian ekonomi umat. Konsep ihyaul mawat—menghidupkan tanah mati—menjadi strategi penting dalam membuka lahan baru yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian, pemukiman, atau industri, sehingga memperluas peluang kerja dan usaha bagi masyarakat.
Selain itu, Khilafah memberikan akses nyata kepada warga yang membutuhkan melalui distribusi tanah produktif, bantuan modal usaha, penyediaan sarana pendukung, dan pelatihan keterampilan. Pendekatan ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga memberdayakan individu agar mampu mandiri secara ekonomi. Negara hadir sebagai fasilitator dan pelindung, memastikan bahwa setiap warga memiliki kesempatan untuk bekerja, berusaha, dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang bermartabat. Dengan kebijakan yang menyentuh akar persoalan dan berpihak pada rakyat, sistem Khilafah menawarkan model pembangunan yang inklusif dan berkeadilan, jauh dari praktik ekonomi eksploitatif yang sering terjadi dalam sistem kapitalisme.
Dalam pandangan Islam, pendidikan dan pekerjaan bukan sekadar aktivitas duniawi, melainkan bagian dari ruh keimanan. Setiap proses belajar dan bekerja dipandang sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT, sehingga umat melakukannya dengan kesadaran ibadah dan tanggung jawab moral. Standar halal dan haram menjadi kompas utama dalam menentukan arah dan cara menjalani aktivitas tersebut, bukan semata-mata demi keuntungan materi atau prestise sosial. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya bertujuan mencerdaskan akal, tetapi juga membentuk karakter yang taat dan berintegritas, sementara pekerjaan menjadi sarana untuk menunaikan amanah hidup secara bermartabat dan berkah.
Negara dalam sistem Islam pun tidak berdiri netral atau sekadar administratif dalam melayani rakyatnya. Setiap kebijakan, pelayanan publik, dan pengelolaan urusan masyarakat dilandasi oleh niat ibadah dan tanggung jawab sebagai wakil umat. Negara hadir bukan hanya sebagai pengatur, tetapi sebagai pelayan yang berorientasi pada kemaslahatan dan ridha Allah. Pelayanan terhadap rakyat—baik dalam pendidikan, kesehatan, ekonomi, maupun keamanan—dilakukan dengan semangat pengabdian, bukan sekadar memenuhi prosedur atau target pembangunan. Inilah yang membedakan sistem Islam dari sistem sekuler: ruh spiritual menjiwai seluruh aspek kehidupan, menjadikan pendidikan dan pekerjaan sebagai jalan menuju kebaikan dunia dan akhirat.
Saat negara abai dan pasar rakus, saatnya kita bangkit membangun sistem yang berpihak pada manusia dan bermuara pada ibadah!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
