Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Lukman Hakim

Kehidupan Kampus, Kesenjangan Sosial, dan FoMO: Perspektif Kesehatan Masyarakat

Gaya Hidup | 2025-10-04 13:29:42

Oleh: Muhammad Lukman Hakim

Nongkrong cafe
Nongkrong cafe

Media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda. Kehadirannya membuat komunikasi semakin mudah, mempercepat penyebaran informasi, dan membuka ruang berbagi momen sehari-hari. Namun, di balik kemudahan itu, muncul fenomena baru yang sering tak disadari: Fear of Missing Out (FoMO) atau rasa takut tertinggal. FoMO menggambarkan perasaan cemas ketika seseorang merasa melewatkan pengalaman, aktivitas, atau informasi penting yang sedang dinikmati orang lain (Taswiyah, 2022).

Di lingkungan kampus, fenomena ini semakin terasa. Mahasiswa sering merasa perlu mengikuti tren terbaru, nongkrong di kafe populer, mengenakan barang bermerek, hingga ikut acara mahal agar tetap dianggap “masuk” dalam lingkaran pertemanan. Bagi yang tidak mampu menyesuaikan diri, muncul rasa terasing dan rendah diri. Kesenjangan sosial pun semakin tampak: kelompok dengan kemampuan finansial lebih membentuk komunitas eksklusif, sementara mahasiswa dengan keterbatasan ekonomi berada di pinggiran. Kondisi ini dapat menimbulkan kecemasan, stres, bahkan menurunkan rasa percaya diri.

FoMO bukan sekadar rasa takut ketinggalan informasi. Fenomena ini sering berujung pada perilaku konsumtif: menghabiskan waktu lama di media sosial, membeli barang yang sedang tren, atau memaksakan diri ikut kegiatan hanya untuk mempertahankan citra sosial (Sumini et al., 2018). Pola ini sejalan dengan paham hedonisme, yakni pandangan hidup yang menempatkan kesenangan sebagai tujuan utama (Schwartz, 1992). Akibatnya, mahasiswa berisiko mengalami masalah keuangan, kelelahan mental, hingga hilangnya fokus belajar. Penelitian oleh Elhai et al. (2021) menunjukkan hubungan positif antara FoMO dengan gangguan tidur, tingkat stres, dan penurunan kepuasan hidup. Semakin tinggi FoMO, semakin rentan seseorang mengalami gangguan kesehatan mental.

Selain tekanan gaya hidup, kesenjangan sosial menjadi pemicu yang memperparah kondisi ini. Kampus mempertemukan mahasiswa dari beragam latar belakang ekonomi, dan perbedaan itu sering tercermin dalam pertemanan. Mereka yang mampu lebih mudah mengikuti aktivitas sosial berbiaya tinggi, sedangkan yang lain harus mempertimbangkan kemampuan finansial. Penelitian di Surabaya oleh Shafwa dan Handoyo (2020) menunjukkan bahwa status ekonomi memengaruhi cara mahasiswa berinteraksi. Ketika pertemanan terbentuk secara eksklusif, mahasiswa dari kelompok lain dapat merasa terpinggirkan. Penelitian Salsabila et al. (2023) juga mengungkap bahwa kualitas pertemanan berbanding terbalik dengan tingkat stres: semakin baik pertemanan, semakin rendah stres dan rasa kesepian yang dialami.

Fenomena ini merupakan isu kesehatan bersama. Kesehatan masyarakat mencakup lebih dari pencegahan penyakit fisik; bidang ini juga berperan dalam mendorong kesehatan mental dan membangun kesejahteraan sosial di masyarakat. Pendekatan kesehatan masyarakat bisa menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif FoMO melalui berbagai upaya. Edukasi literasi digital, misalnya, dapat membantu mahasiswa menggunakan media sosial secara lebih bijak. Kampus dapat mengadakan seminar tentang digital well-being dan manajemen waktu layar, agar mahasiswa terhindar dari paparan berlebihan yang memicu FoMO.

Selain itu, kampanye kesehatan mental di lingkungan kampus bisa membantu menciptakan suasana yang lebih suportif. Lokakarya manajemen stres, kelompok diskusi, dan peer support group dapat memberikan ruang aman bagi mahasiswa untuk berbagi pengalaman tanpa takut dihakimi. Kegiatan sosial yang inklusif dan berbiaya terjangkau juga penting agar semua mahasiswa bisa ikut serta tanpa merasa terbebani.

Fasilitas konseling yang mudah diakses menjadi langkah penting berikutnya. Skrining kesehatan mental secara rutin akan membantu mendeteksi mahasiswa yang mulai mengalami tekanan psikologis, sehingga bantuan bisa diberikan sejak dini. Dengan demikian, masalah tidak berkembang menjadi gangguan mental yang lebih serius.

Di kampus bergengsi , tekanan sosial untuk “ikut gaya” sering kali terasa sangat nyata. Saya sendiri pernah menyaksikan bagaimana lingkar pertemanan terbentuk hanya karena kesamaan gaya hidup. Ada kelompok yang rutin nongkrong di kafe mahal, memakai barang bermerek, dan selalu ikut acara populer. Sementara itu, ada teman yang memilih hidup sederhana karena keterbatasan finansial. Dua dunia ini jarang berinteraksi. Saat tidak bisa mengikuti tren yang sedang ramai, saya pernah merasa kikuk, takut dianggap berbeda, bahkan sempat merasa kurang layak untuk berada di tengah mereka.

Pengalaman ini membuka mata saya bahwa persoalan ini bukan sekadar soal gaya hidup. Ada sisi psikologis yang lebih dalam: rasa ingin diterima, takut tertinggal, hingga cemas jika harus sendiri. Semua itu bisa memicu FoMO dan rasa terasing yang tidak sehat. Padahal, esensi persahabatan bukan diukur dari kemampuan membeli atau seberapa “wah” penampilan seseorang. Persahabatan yang sehat adalah tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri, merasa dihargai, dan diterima tanpa harus berpura-pura mengikuti standar orang lain.

Karena itu, penting bagi kita mahasiswa, organisasi kampus, dan pihak universitas untuk bersama-sama menciptakan budaya pertemanan yang inklusif. Kita bisa menumbuhkan ruang yang ramah bagi siapa saja, tanpa melihat latar belakang ekonomi. Dengan begitu, tekanan untuk ikut-ikutan bisa berkurang, FoMO dapat diminimalisir, dan kesehatan mental seluruh komunitas kampus lebih terjaga. Harapan saya, pengalaman ini bisa mengundang lebih banyak diskusi tentang bagaimana menjadikan kampus sebagai tempat yang benar-benar mendukung pertumbuhan sosial dan emosional setiap mahasiswanya.

Kata Kunci: FoMO, media sosial, kesehatan mental, kesenjangan sosial, kesehatan masyarakat, generasi muda

Daftar Pustaka

Elhai, J. D., Yang, H., & Montag, C. (2021). Fear of missing out (FoMO): Overview, theoretical underpinnings, and literature review on relations with severity of negative affectivity and problematic technology use. Brazilian Journal of Psychiatry, 43(2), 203–209. https://doi.org/10.1590/1516-4446-2020-0870

Schwartz, S. H. (1992). Universals in the content and structure of values. Advances in Experimental Social Psychology, 25, 1–65. https://doi.org/10.1016/S0065-2601(08)60281-6

Sumini, N., Nurajizah, N., & Indriani, M. (2018). Neuro-Linguistic Programming (NLP) Based Counseling Sebagai Solusi Untuk Mereduksi Efek FoMO Pada Kecanduan Media Sosial. Prosiding Online, 109–116.

Shafwa, A. F., & Handoyo, S. (2020). Konstruksi Mahasiswa terhadap Kesenjangan Sosial Ekonomi di Lingkungan Kampus Kota Surabaya. Jurnal Psikologi, 13(2), 101-115.

Salsabila, N., et al. (2023). Kualitas Pertemanan dan Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa. Psikowipa, 5(1), 45–54.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image