Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mila Aulia

Dari Malari ke Iqro, Jejak Perjalanan Hairel Khaliq CH Menjaga Literasi

Profil | 2025-10-03 21:26:35

Bandung – Di sebuah kios kecil di samping pagar Kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung, seorang pria berusia 67 tahun tampak sedang sibuk merapikan buku di rak. Rambutnya mulai memutih, namun matanya masih berbinar ketika berbicara tentang membaca. Seseorang itu Hairel Khaliq CH, pemilik toko buku Iqro, tempat pelajar bisa membaca gratis tanpa harus membeli. “Silakan, segelnya pun boleh dibuka. Supaya pelajar bisa baca, bisa pintar,” katanya. Bagi Hairel, kiosnya bukan sekadar tempat berjualan, tetapi ruang belajar kecil. Kecintaannya pada bacaan tumbuh sejak remaja. Ia masih ingat jelas peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974, ketika mahasiswa Jakarta turun ke jalan menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka. “Sejak Malari itu, saya makin rajin baca koran, ngikuti politik. Rame sekali waktu itu,” ucapnya. Dari situ, Hairel terbiasa membaca apa saja. Saat merantau ke Bandung, kakaknya yang menjadi agen majalah Islam membuatnya semakin dekat dengan dunia literasi. Majalah Panji Masyarakat, Tempo, hingga Kiblat, semua pernah ia edarkan. “Itu majalah keren dulu, bukan abal-abal,” ujarnya bangga. Tahun 1983, Hairel mulai kuliah di IAIN Bandung Jurusan Pendidikan Agama Islam. Sambil kuliah, ia menyewa kamar kos yang kebetulan menghadap jalan. Dari situlah lahir ide membuka kios buku kecil. “Awalnya iseng saja, tapi terus berjalan sampai sekarang,” ucapnya. Lokasi kios sempat berpindah. Dahulu ia berjualan di depan Bank BRI dengan sewa Rp75 ribu setahun. Namun, harga sewa yang melonjak hingga jutaan rupiah membuatnya berpindah ke kios sederhana yang sekarang ia tempati di samping pagar UIN Bandung. Meski sederhana, toko itu memiliki ciri khas yaitu membaca boleh gratis. “Itu sesuai dengan perintah Allah, iqro, baca dulu,” ungkapnya. Perjalanan panjang itu tidak selalu mulus. Pandemi Covid-19 menjadi masa tersulit. Selama dua tahun kampus tutup, mahasiswa pulang ke kampung, dan penjualan buku nyaris berhenti. Hingga kini, kata Hairel, kebiasaan siswa lebih banyak berpindah ke ponsel. “Mahasiswa UIN ada 20 ribu, tapi yang datang ke sini paling satu dua orang per hari,” keluhnya. Ia juga menyayangkan minimalnya dosen yang mewajibkan siswa untuk membaca buku cetak. “Kalau baca di HP itu beda, gak masuk ke kepala. Baca buku ada berkahnya,” tegasnya. Toko-toko buku lain di sekitar kampus banyak, namun di zaman sekarang sudah mulai tutup, namun Hairel tetap bertahan. Baginya, Iqro bukan sekadar sumber penghasilan, tapi bentuk pengabdian kecil untuk menjaga tradisi membaca. “Saya harap mahasiswa jangan lupa membaca buku. Kalau dosen mau, tolong wajibkan mahasiswanya membaca buku, jangan hanya copy-paste dari internet,” katanya. Di usia senjanya, Hairel Khaliq masih setia menjaga kios kecil itu dan suka sekali hidup dengan tumpukan buku-buku, sama setianya dengan kecintaannya pada bacaan sejak masa Malari. Ia sadar, tantangan literasi semakin berat. Namun, ia percaya satu hal sederhana bisa tetap menyelamatkan dalam membaca. "Yang penting baca dulu. Iqro. Dari situ hidup kita bisa lebih luas," ungkapnya. Reporter: Mila Aulia

“Kisah Hairel Khaliq, penjual buku sederhana yang setia menjaga literasi mahasiswa di samping UIN Bandung.”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image