Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ica Alfiatun Fadilah

Jejak Global Sumud Flotilla dalam Sejarah Gaza

Sejarah dunia | 2025-10-03 21:00:17
Foto oleh Brahim Guedich, via Wikimedia Commons, Lisensi CC BY 4.0.

Di tengah Laut Mediterania yang luas, sekelompok kapal kecil berlayar dengan tekad besar. Armada ini bukan kapal perang, melainkan Global Sumud Flotilla yaitu konvoi kemanusiaan internasional yang berusaha menembus blokade laut Israel terhadap Gaza.

Lebih dari sekadar misi bantuan, armada ini menandai babak baru sejarah perlawanan damai yang telah berlangsung lebih dari dua dekade.

Setiap kapal tidak hanya membawa makanan, obat-obatan, dan bahan kebutuhan pokok. Melainkan juga simbol solidaritas global, harapan, dan perlawanan moral terhadap ketidakadilan yang mengekang Gaza.

Global Sumud Flotilla dimulai pada akhir Agustus 2025, dengan rute keberangkatan dari pelabuhan-pelabuhan di Spanyol, Italia, Yunani, dan bahkan Turki. Armada ini beranggotakan lebih dari 500 aktivis dari 44 negara. Mereka datang dari berbagai latar belakang seperti aktivis HAM, anggota parlemen, pengacara, mahasiswa, dan tokoh masyarakat sipil yang bersatu dalam misi kemanusiaan.

Nama “Sumud” sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ketahanan, mencerminkan semangat juang rakyat Palestina yang tak tergoyahkan meski di tengah blokade, konflik, dan penderitaan. Armada ini bukan sekadar simbol fisik, melainkan perwujudan dari solidaritas global terhadap hak asasi manusia yang terus dilanggar.

Pada 2 Oktober 2025, armada ini dicegat oleh angkatan laut Israel di perairan internasional, sekitar 70 mil laut dari pantai Gaza. Dari 45 kapal yang berlayar, 39 berhasil dihentikan, sementara satu kapal, Mikeno, berhasil mendekati perairan Gaza sebelum hilang kontak. Di antara aktivis yang ditahan adalah Greta Thunberg, aktivis iklim asal Swedia, yang menjadi wajah simbolik gerakan ini.

Israel membenarkan tindakan mereka dengan alasan keamanan, sementara komunitas internasional menilai hal ini sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak kemanusiaan. Negara-negara seperti Spanyol, Kolombia, dan Turki mengecam keras tindakan tersebut, dan Kolombia bahkan memutuskan hubungan diplomatik sebagai bentuk protes.

Global Sumud Flotilla bukanlah peristiwa pertama dari jenisnya. Pada 2010, Mavi Marmara memimpin flotilla yang juga bertujuan menembus blokade Gaza, tetapi berakhir tragis dengan sembilan aktivis tewas. Flotilla-flotilla sebelumnya, termasuk Free Gaza dan beberapa konvoi kecil lain, telah membuktikan bahwa laut dapat menjadi arena perlawanan damai yang menyuarakan ketidakadilan dan menekan opini publik internasional.

Global Sumud Flotilla, dengan jumlah kapal dan partisipan yang lebih besar, menunjukkan evolusi strategi yang bukan hanya mengirim bantuan, tetapi juga menggunakan media internasional, livestream, dan liputan pers untuk memperkuat narasi kemanusiaan dan meningkatkan tekanan diplomatik terhadap Israel.

Di balik kapal-kapal ini, ada ribuan cerita manusia. Para aktivis rela meninggalkan keluarga, pekerjaan, dan kenyamanan untuk bergabung dalam perjuangan kemanusiaan. Ada pengacara yang ingin menyoroti pelanggaran hukum internasional, mahasiswa yang ingin menunjukkan solidaritas global, dan orang-orang biasa yang percaya bahwa keadilan harus diperjuangkan.

Setiap kapal menjadi laboratorium kecil dari keberagaman dimana satu kapal mungkin dipenuhi relawan dari Eropa, sementara kapal lain diisi oleh aktivis Asia dan Amerika Latin. Semua bersatu oleh satu misi yaitu menuntut hak asasi, keadilan, dan kemanusiaan di tengah blokade yang telah membuat kehidupan warga Gaza semakin sulit.

Kota Gaza telah hidup di bawah blokade laut, udara, dan darat selama lebih dari 20 tahun. Setiap hari, warga menghadapi keterbatasan akses terhadap pangan, air bersih, obat-obatan, dan listrik. Menurut laporan Al Jazeera dan PBB, blokade ini telah memperburuk kondisi sosial dan ekonomi, memperdalam kemiskinan, dan menghambat pemulihan infrastruktur akibat serangan sebelumnya.

Serangan udara Israel menewaskan sedikit banyaknya warga Palestina, yang menambah panjang daftar korban sipil. Kondisi ini menegaskan bahwa flotilla bukan sekadar simbol, tetapi upaya nyata untuk mengatasi penderitaan kemanusiaan yang sistematis.

Global Sumud Flotilla menjadi cermin solidaritas internasional. Di berbagai kota dunia, mulai dari Roma hingga Berlin, warga turun ke jalan memprotes tindakan Israel. Serikat pekerja di Italia menyerukan pemogokan umum, sementara lembaga HAM dan organisasi masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan resmi mengecam intersepsi kapal.

Media sosial berperan penting dalam menyebarkan kisah-kisah ini, memungkinkan dunia mengikuti perjalanan armada ini secara real time. Dalam konteks diplomasi, kejadian ini memaksa negara-negara besar dan PBB untuk meninjau kembali posisi mereka terhadap blokade Gaza, memperlihatkan bahwa aksi damai di laut dapat mempengaruhi kebijakan internasional.

Lebih dari sekadar misi kemanusiaan, Global Sumud Flotilla menegaskan bahwa moralitas dan kemanusiaan tidak mengenal batas geografis. Kapal-kapal ini menjadi simbol bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan tidak selalu harus bersenjata melainkan solidaritas, keberanian, dan tekad dapat menimbulkan gelombang perubahan. Armada ini mengingatkan dunia bahwa hak asasi manusia adalah kewajiban kolektif, bukan tanggung jawab satu bangsa saja.

Jejak kapal-kapal ini akan tetap tercatat dalam sejarah Gaza. Mereka membuktikan bahwa blokade dan kekerasan tidak dapat memadamkan solidaritas dan harapan. Aktivitas flotilla membuka pintu dialog, memaksa negara-negara untuk memperhatikan hak kemanusiaan, dan menimbulkan tekanan moral pada pihak yang melakukan blokade. Setiap kapal yang berlayar, setiap relawan yang berdiri, dan setiap narasi yang disiarkan ke dunia, menambahkan babak baru dalam sejarah panjang Gaza, sejarah yang dibangun di atas keberanian dan nurani manusia.

Global Sumud Flotilla lebih dari sekadar perjalanan laut. Ia adalah perjalanan kemanusiaan, perjalanan solidaritas, dan perjalanan moral yang mencatatkan diri dalam sejarah Gaza. Di balik setiap kapal, ada harapan yang berlayar lebih jauh daripada ombak, lebih kuat daripada blokade, dan lebih abadi daripada konflik yang membelenggu.

Armada ini mengajarkan satu hal penting bahwa dalam menghadapi ketidakadilan, solidaritas global dan tekad untuk memperjuangkan hak asasi manusia dapat menjadi senjata yang paling efektif dan paling manusiawi. Jejak kapal dalam sejarah Gaza bukan hanya soal bantuan, tetapi soal perlawanan, kemanusiaan, dan keberanian yang akan terus dikenang oleh dunia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image