Smart TV di Sekolah: Canggih di Atas Kertas, Kosong di Kelas
Pendidikan dan Literasi | 2025-10-03 09:21:27
Belakangan ini pemerintah gencar meluncurkan program bantuan smart TV untuk sekolah. Program ini terdengar modern dan ambisius, sejalan dengan visi digitalisasi pendidikan. Namun, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: apakah bantuan ini benar-benar menjawab akar persoalan pendidikan kita, atau sekadar simbol keberhasilan yang menguras anggaran?
Menurut data resmi, pemerintah menargetkan distribusi 330.000 unit smart TV ke sekolah hingga 2025, dengan total anggaran sekitar Rp 7,9 triliun. Harga rata-rata per unit mencapai Rp 26 juta, lengkap dengan garansi dan pengiriman. Dari sisi tampilan, kebijakan ini terlihat menjanjikan. Akan tetapi, jika kita turun ke lapangan, banyak sekolah belum memiliki infrastruktur dasar yang layak. Ada yang listriknya terbatas, jaringan internetnya lemah, bahkan gedung sekolahnya masih rusak. Dalam kondisi seperti itu, kehadiran smart TV lebih mungkin menjadi pajangan daripada sarana belajar.
Selain soal kesiapan, mekanisme pengadaan juga menimbulkan tanya. Skema proyek raksasa semacam ini rawan disalahgunakan. Kita masih ingat kasus pengadaan laptop/Chromebook beberapa tahun lalu yang justru menimbulkan kerugian negara. Tidak mengherankan jika publik menganggap kebijakan ini lebih berorientasi pada proyek daripada kebutuhan riil pendidikan.
Di saat yang sama, pemerintah juga menggelontorkan dana besar untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Tujuannya mulia: meningkatkan gizi siswa dan melibatkan UMKM lokal sebagai penyedia makanan. Namun, catatan kritis bermunculan. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menemukan sejumlah masalah, mulai dari lemahnya mekanisme pengadaan, potensi benturan dengan anggaran tunjangan guru, hingga kasus keracunan siswa di beberapa daerah. Menteri Keuangan bahkan menegaskan bahwa kelanjutan MBG bergantung pada efektivitas penyerapan anggaran, yang hingga kini masih dipertanyakan.
Jika kita refleksikan, dua program besar ini menunjukkan kecenderungan pemerintah: lebih senang memberikan bantuan fisik atau program simbolik ketimbang menyentuh inti persoalan. Padahal, akar masalah pendidikan Indonesia terletak pada kualitas guru.
Teori pendidikan sejak lama menegaskan bahwa guru adalah kunci. Piaget dan Vygotsky melalui teori konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi aktif antara guru, siswa, dan lingkungan. Teknologi secanggih apa pun tidak akan bermanfaat tanpa guru yang mampu memfasilitasi proses belajar secara bermakna.
Ekonom Theodore Schultz lewat teori human capital juga menegaskan hal serupa: investasi paling produktif dalam pendidikan adalah pada manusia, bukan benda. Guru yang kompeten dan sejahtera akan membawa dampak jangka panjang, jauh melebihi perangkat yang masa pakainya terbatas. Sementara itu, Creemers dan Kyriakides dalam kajian educational effectiveness menyebutkan bahwa intervensi pendidikan harus relevan, efisien, dan berkelanjutan. Bantuan smart TV dan MBG, jika tanpa evaluasi matang, berisiko gagal memenuhi ketiga prinsip ini.
Karena itu, sudah saatnya arah kebijakan pendidikan digeser. Bayangkan jika sebagian dana triliunan rupiah itu dialokasikan untuk pelatihan guru berbasis Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK). Guru tidak hanya diajari mengoperasikan teknologi, tetapi juga mengintegrasikannya secara kreatif dalam pembelajaran. Tambahkan pula peningkatan kesejahteraan guru, sehingga mereka bisa fokus mendidik tanpa terbebani masalah ekonomi. Hasilnya akan lebih terasa, berkelanjutan, dan berdampak langsung pada siswa.
Pendidikan sejatinya bukan tentang seberapa besar layar televisi yang ada di kelas, melainkan seberapa bermakna interaksi guru dan siswa di dalamnya. Kebijakan yang hanya menghadirkan simbol tidak akan pernah menjadi solusi. Pemerintah perlu kembali ke logika dasar: investasi terbesar adalah pada manusianya. Tanpa guru yang unggul, semua perangkat canggih hanya akan menjadi hiasan mahal yang kehilangan makna.
Ahmad Muflihin, M.Pd.
Dosen Tetap dan Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, UNISSULA, Semarang
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
