Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ismail Suardi Wekke

Bebas Stres, Anti-Baper: Diskusi Bijak Bermedia Sosial ala Warga Digital

Teknologi | 2025-10-02 20:39:38
Warga Digital (Photo Republika)

Media sosial kini telah menjelma menjadi ruang hidup kedua, menawarkan kemudahan koneksi, akses informasi, hingga kesempatan untuk eksistensi diri. Namun, kita juga menyaksikan bagaimana platform ini kerap menjadi sumber stres, kecemasan, dan "baper" (bawa perasaan)—suatu kondisi emosional sensitif yang mudah tersinggung atau terpengaruh oleh unggahan orang lain. Bukankah fenomena ini menarik untuk didiskusikan? Sebab, ia tidak terlepas dari sifat alami media sosial yang mendorong perbandingan, memfasilitasi interaksi anonim, dan membanjiri kita dengan informasi yang tiada henti.

Menganalisis Pemicu Emosi di Ruang Digital

Mari kita telaah lebih dalam mengapa emosi kita begitu rentan di media sosial. Secara psikologis, ada beberapa faktor fundamental yang patut kita cermati. Pertama, isu perbandingan sosial menjadi pemicu utama; bukankah media sosial didominasi oleh "sorotan" kehidupan orang lain—prestasi, liburan mewah, atau penampilan ideal—yang hanya menampilkan sisi positif? Ketika kita melihat highlight reel tersebut, wajar jika hal itu memicu kecemasan dan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, yang dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO).

Kedua, kita juga perlu mendiskusikan peran validasi diri. Sejauh mana kita telah menggantungkan harga diri (self-worth) pada likes, komentar, dan followers? Ketika kritik datang atau interaksi minim, perasaan ditolak akan muncul dan merusak citra diri kita. Ketiga, patut dipertanyakan pula peran efek disinhibisi online. Komunikasi tanpa tatap muka menghilangkan banyak isyarat sosial. Apakah ini yang membuat kita lebih mudah melontarkan kata-kata kasar (cyberbullying) atau bereaksi secara emosional dan berlebihan? Keempat, bagaimana kita mengelola banjir informasi negatif? Terpapar hoaks, ujaran kebencian, atau perdebatan sengit secara terus-menerus tentu menguras energi mental dan memicu emosi negatif.

Mencari Solusi: Sebuah Kerangka Diskusi untuk Kesehatan Digital

Sebagai Warga Digital yang bertanggung jawab, kita perlu menemukan kerangka berpikir dan praktik yang bijak untuk menjaga kesehatan mental saat berselancar di dunia maya. Diskusi ini menawarkan empat pilar utama sebagai bahan refleksi kita bersama:

Pertama. Batasan Waktu Layar (Screen Time Management) sebagai Kontrol Diri

Paparan media sosial yang berlebihan telah terbukti berkorelasi dengan peningkatan kecemasan. Mungkinkah pengendalian diri dimulai dari langkah sederhana, yaitu menentukan tujuan setiap kali membuka aplikasi? Jika kita tidak memiliki tujuan jelas, bukankah lebih baik segera menutupnya? Kita bisa mengatur batasan waktu dengan memanfaatkan fitur digital wellbeing pada ponsel. Lebih lanjut, penting untuk mengalokasikan waktu-waktu bebas media sosial, seperti saat makan atau berinteraksi dengan keluarga. Sejauh mana kita siap menerapkan digital detox berkala untuk benar-benar mengembalikan fokus dan energi mental?

Kedua. Kurasi Konten: Membangun Lingkungan Digital yang Mendukung

Lingkungan digital yang kita bangun sangat memengaruhi suasana hati kita. Di sini, prinsip selektif menjadi sangat penting. Haruskah kita berani Unfollow, Mute, atau Block akun-akun yang secara konsisten memicu perasaan negatif? Mari kita pilih untuk mengikuti akun yang betul-betul edukatif dan inspiratif. Selain itu, dalam menghadapi arus informasi, sikap kritis dan verifikasi informasi adalah keharusan etis. Bukankah sudah menjadi tanggung jawab kita untuk membiasakan crosscheck fakta dari sumber tepercaya demi meminimalkan penyebaran hoaks dan konflik?

Ketiga. Mengembangkan Perspektif dan Empati sebagai Tameng Emosional

Bagaimana kita bisa mengurangi dampak "baper" dari luar? Ini bermula dari kesadaran bahwa realitas di media sosial hanyalah sebuah konstruksi. Kita harus selalu mengingat highlight reel; bahwa apa yang diunggah orang lain hanyalah cuplikan terbaik dan bukan keseluruhan cerita hidup mereka. Di sisi lain, saat menerima komentar yang terasa menyinggung, mari kita coba prinsip mengasumsikan niat positif (Assume Positive Intent). Mampukah kita menahan diri, mempertimbangkan kemungkinan kesalahpahaman, dan menghindari merespons saat emosi memuncak? Lebih jauh, etika juga menuntut kita untuk memikirkan sebelum mengunggah. Sebaiknya kita terapkan prinsip "THINK": T True (Benar), H Helpful (Bermanfaat), I Inspiring (Menginspirasi), N Necessary (Penting), dan K Kind (Santun).

Keempat. Fokus pada Jaringan Nyata dan Produktivitas Otentik

Jika media sosial adalah ruang hidup kedua, lantas bagaimana dengan kehidupan pertama, yaitu kehidupan nyata (offline)? Kita perlu berhati-hati dalam menjaga privasi, menghindari berbagi informasi pribadi yang terlalu detail (oversharing). Ini demi menjaga batas antara ruang publik dan hal-hal yang tidak perlu menjadi sumber penilaian orang lain. Bukankah lebih penting untuk memperkuat hubungan offline dan memprioritaskan interaksi tatap muka? Terakhir, mari kita diskusikan bagaimana memanfaatkan media sosial untuk pengembangan diri alih-alih hanya scrolling pasif. Bisakah kita menjadikannya alat untuk mencari peluang atau berbagi karya yang bermakna?

Penutup

Media sosial adalah sebuah alat. Sifatnya netral, namun kekuatan untuk menjadikannya sumber kebaikan atau pemicu emosi negatif ada sepenuhnya di tangan kita sebagai pengguna. Dengan demikian, menggunakan media sosial tanpa baper adalah panggilan untuk menjadi Warga Digital yang sadar, selektif, dan bertanggung jawab. Melalui diskusi dan penerapan batasan yang bijak, kita dapat menikmati manfaat konektivitas digital sambil menjaga ketenangan mental. Sudahkah kita benar-benar menjadi pengendali, atau justru korban, dari arus digital yang kita ciptakan sendiri?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image