Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aulia Nauli Rahman

Biomarker: Alarm Dini yang Bisa Menyelamatkan Ekosistem

Riset dan Teknologi | 2025-10-02 16:49:13
“Sumber: Oros et al. 2025(publik domain)”

Bayangkan sebuah hutan tropis yang tampak hijau dan tenang. Burung masih berkicau, pohon masih menjulang, dan sungai masih mengalir. Namun, tanpa kita sadari, di dalam tubuh ikan-ikan di sungai itu sedang berlangsung “kerusakan kecil” pada tingkat sel dan molekul. Kerusakan ini belum terlihat mata manusia, tetapi bisa menjadi pertanda awal dari bencana ekologi: hilangnya keanekaragaman hayati, runtuhnya rantai makanan, hingga hancurnya ekosistem. Pertanda dini inilah yang dikenal sebagai biomarker.

Selama ini, pemantauan kualitas lingkungan lebih banyak bertumpu pada analisis kimia atau mengamati dampak besar pada populasi dan komunitas. Misalnya, menunggu sampai ikan mati massal baru menyadari ada pencemaran. Masalahnya, saat tanda-tanda itu muncul, kerusakan sudah terlanjur parah. Seperti menunggu pasien masuk ICU baru kemudian mencari tahu penyakitnya. Padahal, dengan teknologi biomarker, kita sebenarnya bisa mendeteksi gejala sejak masih “batuk ringan”.

Biomarker adalah respons biologis pada tingkat sel atau molekul—seperti perubahan enzim, kerusakan DNA, atau tanda-tanda stres oksidatif—yang dapat menjadi alarm dini adanya tekanan lingkungan (Lemos, M.F.L. 2021). Analogi paling sederhana, ketika tubuh manusia panas, kita tahu ada infeksi. Begitu pula dengan ikan, kerang, atau bahkan organisme tanah: perubahan kecil dalam tubuh mereka bisa memberi tahu kita bahwa lingkungan sedang “sakit”.

Salah satu contoh menarik adalah biomarker enzim asetilkolinesterase (AChE). Enzim ini berperan penting dalam sistem saraf. Jika aktivitasnya terganggu oleh pestisida, gerakan hewan menjadi lambat dan koordinasi terganggu. Pada awalnya, ini hanya terlihat di laboratorium. Namun riset menunjukkan, gangguan kecil ini bisa berujung pada masalah serius: berkurangnya kemampuan ikan mencari makan, melarikan diri dari predator, hingga akhirnya menurunkan populasi (Lemos, M.F.L. 2021). Artinya, biomarker bukan hanya angka di tabung reaksi, melainkan “bahasa tubuh ekosistem” yang memberi peringatan sebelum kerusakan besar terjadi.

Pentingnya biomarker semakin terasa di tengah krisis iklim dan pencemaran global. Kenaikan suhu, polusi logam berat, pestisida, hingga sampah kimia bisa menimbulkan stres pada organisme. Namun, setiap spesies memiliki cara bertahan yang berbeda. Dengan biomarker, kita bisa mengetahui siapa yang mampu beradaptasi, siapa yang rentan, dan bagaimana perubahan itu memengaruhi keberlangsungan ekosistem. Misalnya, penelitian menunjukkan spesies kerang invasif lebih tahan terhadap gelombang panas dibanding kerang lokal karena perbedaan respons biomarker energi dan stres oksidatif (Lemos, M.F.L. 2021). Temuan ini tidak sekadar akademis: ia memberi gambaran nyata tentang bagaimana spesies asing bisa menguasai habitat baru.

Sayangnya, pemanfaatan biomarker dalam kebijakan lingkungan masih minim. Regulasi internasional, termasuk Uni Eropa, belum sepenuhnya memasukkan biomarker dalam instrumen resmi pemantauan kualitas air (Lemos, M.F.L. 2021). Padahal, jika diterapkan luas, biomarker dapat menjadi instrumen prediktif yang mencegah kerusakan ekosistem jauh sebelum bencana ekologis terjadi.

Di titik ini, kita dihadapkan pada pertanyaan sederhana: maukah kita menunggu hutan gundul, ikan mati massal, dan laut kehilangan biodiversitas, baru sadar ada masalah? Atau, berani mengambil langkah lebih maju dengan memanfaatkan biomarker sebagai sistem peringatan dini?

Sebagai masyarakat, kita memang tidak bisa serta-merta mengoperasikan laboratorium biomarker. Namun, kita bisa mendorong pemerintah dan industri agar riset biomarker dijadikan dasar kebijakan. Dunia akademik sudah menyediakan data, tinggal kemauan politik dan kesadaran publik untuk menjadikannya pijakan. Sama seperti kita percaya pada hasil laboratorium kesehatan sebelum mengobati pasien, ekosistem pun layak mendapatkan “diagnosa dini” sebelum terlambat.

Biomarker bukan sekadar konsep ilmiah. Ia adalah bahasa rahasia ekosistem yang menunggu untuk didengarkan. Jika kita abai, suara kecil itu akan berubah menjadi teriakan bencana. Namun jika kita tanggap, biomarker bisa menjadi senjata ampuh untuk menjaga keseimbangan alam—agar hutan tetap hijau, sungai tetap jernih, dan kehidupan tetap berlanjut.

Pada akhirnya, pertanyaan kuncinya sederhana: apakah kita mau menunggu tanda-tanda kerusakan terlihat jelas, atau kita memilih membaca sinyal dini yang sudah disampaikan alam melalui biomarker? Pilihan itu akan menentukan masa depan ekosistem, dan masa depan kita sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image