Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rafi Hamdallah

Kecewa dengan Program Makan Bergizi Gratis

Politik | 2025-10-01 18:17:08
Sumber: riau.suara.com

Retizen.

Kita semua tentu mengetahui kasus Makan Bergizi Gratis (MBG) saat ini, bukan?

Ya, salah satu program andalan yang dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ini sedang mendapatkan sorotan publik. Wajar mengingat program ini yang sedari awal dicanangkan untuk menstimulasi perbaikan gizi dan pencegahan stunting menjadi program skala prioritas pemerintah, bahkan anggarannya lebih besar dibandingkan program lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. MBG dikelola oleh Badan Gizi Nasional (BGN) yang dibentuk sejak Agustus 2024 lalu, bahkan 2 bulan sebelum transisi kepresidenan. Anggaran yang dialokasikan pun begitu besar, yakni Rp335 T dari APBN tahun 2026 atau sekitar Rp1,2 T per-hari). Apabila program ini berhasil dikelola dengan baik akan berdampak konkret terhadap 82 juta penerima MBG (termasuk peserta didik dan juga ibu hamil. Ditambah lagi sempat diwacanakan agar para pendidik (guru) juga dibekali oleh menu seperti ransum ini.

MBG sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Secara global, program ini disebut Feeding Schools (walaupun berbeda nomenklatur di setiap negara). Menurut laporan The State of School Feeding Worldwide 2024 dari World Food Programme (WFP), ada 107 negara melaporkan telah menerapkan kebijakan makanan sekolah. Bila dilihat secara spesifik, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah negara kedelapan yang menerapkan program sejenis MBG. Negara Thailand bahkan menerapkan MBG sejak 1952 silam. Di Malaysia ada namanya "Bantuan Makanan Bermasak", lima hari dalam sepekan. Di Timor Leste ada namanya Merenda Escolar yang sudah diterapkan pada 82% jumlah sekolah. Lintas benua deh seperti Brazil, Prancis, Kenya, Ukraina, dan lainnya juga menerapkan ini dan hasilnya cukup progresif.

Indonesia, sebagai negara dengan bonus demografi dan potensi pangan yang begitu besar seharusnya lebih unggul untuk urusan gizi dan perut ini. Banyak stakeholder yang bisa dilibatkan pada program ini, mulai dari produsen lokal, satgas dapur, ahli gizi, sampai instansi pendidikan.

Mengapa Harus Kecewa?

Ya, tentunya kecewa. Program MBG yang begitu besar ternyata sudah bermasalah pada periode awalnya, apalagi dapat mengancam kesehatan dari penerimanya. Padahal publik sudah berekspektasi tinggi terhadap keberhasilan program ini, ya walaupun masih banyak juga yang "menyesakkan". Bahkan presiden kita sudah berulang kali mempromosikan program ini ke sejumlah delegasi multiregional untuk meyakinkan mereka. Mantan CEO Microsoft, Bill Gates, bahkan langsung meninjau pelaksanaan MBG bersama presiden di SDN 03 Jati, Pulogadung, Jakarta Timur (7/5). Tetapi tampaknya promosi tersebut tidak bisa dijadikan acuan.

Hampir 6.000 kasus keracunan massal yang mayoritas dialami oleh peserta didik terjadi di sejumlah daerah. Bahkan sebagian di antaranya harus mendapatkan penanganan intensif dari RSUD setempat. Tidak hanya kasus keracunan, tetapi juga adanya hipotesis berdasarkan penelitian mengenai dugaan kontaminasi makanan. Sebagai contoh, Laboratorium Kesehatan Provinsi Jawa Barat menemukan adanya dugaan kontaminasi bakteri Salmonella dan Bacillus pada beberapa menu. Selain itu juga dipengaruhi oleh suhu udara atau bisa juga kontaminasi silang dari peralatan yang tidak steril dan higienis. Dalam urusan administrasi ditemukan dapur-dapur fiktif dan tidak sesuai dengan SPPG sehingga hal tersebut perlu dipertanyakan dan diaudit total.

Di perbincangan publik juga muncul stigma militerisasi pada distribusi MBG ini. Apalagi pada awal pelaksanaannya dikontrol secara ketat oleh TNI. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan publik, mengapa harus demikian? Apakah ini sebagai bentuk kontrol terhadap sipil? Atau justru menerapkan kehidupan konsumsi di barak ala sipil?

Akibat kasus tersebut, publik (sebagai "hakim" paling ramai dalam perkembangan demokrasi di Indonesia) mengkritik program ini, bahkan menuntut agar program ini dihentikan. Tuntutan tersebut sebenarnya sudah diopinikan bahkan saat konstetasi Pemilihan Presiden 2024 tetapi pemerintah tetap kekeuh menjalankan program ini hingga berdampak pada efisiensi fiskal secara besar-besaran. Namun, efisiensi tersebut tidak sebanding dengan malpraktik MBG ini. Maka, pemerintah melalui Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, ikut mengambil sikap tegas dan memonitor kondisi di lapangan bahkan akan diproyeksikan hanya menghabiskan anggaran MBG sebesar Rp99 T (dari sebelumnya Rp171 T tahun ini). Tidak hanya itu, ahli gizi, Tan Shot Yen, dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI mengkritik beberapa menu yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak seperti burger, spageti, dsb. Menurutnya, menu MBG seharusnya 80% menu lokal. Kalaupun tidak semua anak menyukai menu lokal setidaknya mengacu pada produk industri sebagai Ultra Processed Food (UPF), bukan berdasarkan permintaan para peserta didik.

Satu hal yang perlu dipertanyaan dari keberadaan MBG ini adalah mengapa ada hal seironi ini? Apakah selama ini gizi seimbang, pencegahan stunting, dan lainnya hanya sekadar retorika tanpa pembudayaan yang konkret? Apakah setiap keluarga tidak mampu memenuhi kualitas gizi anak-anaknya sendiri? Sesulit apakah mengupayakan konsumsi pangan yang bergizi dan sehat? Sesulit apakah menyediakan menu bergizi setiap hari? Contoh sederhana, 44,7% anak-anak tidak dapat memenuhi energi secara maksimal melalui sarapan. Bisa jadi karena gizinya kurang, menunya sedikit, atau malas. Bagaimana program MBG ini bisa berhasil bila masih banyak peserta didik yang tidak mau sarapan, suka request dan pilah-pilih makanan, dan alergi terhadap makanan tertentu?

Lalu persoalan berikutnya, mengapa sasaran MBG harus distandardisasikan bagi semua penerima? Bukankah ada sebagian penerima yang sudah memiliki standar gizi sendiri (terutama dari keluarga mampu)? Bukankah ini menjadi paradoks bila seorang siswa sudah diperhatikan gizi oleh orang tuanya sedangkan siswa lainnya membawa pulang menu MBG untuk dibagikan kepada ibunya? Bagaimana jika anak-anak lebih suka menu bakmi ketimbang nasi liwet?

Maka sangat disayangkan bila sampai detik ini, Indonesia dengan kekayaan sumber daya pangan yang melimpah, sasaran pasar yang berpotensi besar, serta ketersediaan instrumen yang mendukung terciptanya komunal yang bergizi baik, begitu abai terhadap pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Seharusnya program MBG ini tidak perlu diadakan, jika dan hanya jika, masyarakat kita mampu memenuhi MBG secara mandiri dan produktif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image