Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aditya Hasiholan Purba

Memorial G30S/PKI: Menelisik Ulang Sejarah Kelam Bangsa

Humaniora | 2025-09-30 18:13:12

 

"JASMERAH"

Setiap kali September tiba, Indonesia kembali dihadapkan pada pertanyaan lama yang belum sepenuhnya terjawab: apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa G30S/PKI? Tanggal 30 September bukan sekadar momentum untuk mengenang, tapi juga menjadi ruang refleksi atas sejarah yang masih menyisakan banyak tanda tanya. Lebih dari lima dekade berlalu, namun peristiwa ini tetap meninggalkan jejak yang dalam baik secara politik, sosial, maupun budaya. Ia bukan hanya bagian dari buku pelajaran sejarah, tetapi juga babak penting dalam perjalanan bangsa yang memengaruhi arah politik nasional hingga hari ini.

APA YANG TERJADI PADA MALAM ITU?

Pada malam 30 September 1965, sekelompok pasukan menculik dan membunuh tujuh perwira tinggi TNI Angkatan Darat. Jenazah mereka kemudian ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Kelompok pelaku menyebut diri mereka sebagai Gerakan 30 September.

Korban G30S PKI adalah para perwira tinggi Angkatan Darat yang menjadi target penculikan dan pembunuhan pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965. Berikut adalah beberapa nama korban

- Letnan Jenderal Ahmad Yani Kepala Staf Angkatan Darat

- Mayjen D.I. Pandjaitan Perwira Tinggi AD

- Mayjen M.T. Haryono Perwira Tinggi AD

- Mayjen R. Suprapto Perwira Tinggi AD

- Brigjen Sutoyo Siswomiharjo Perwira Tinggi AD

- Kolonel Sugiyono Perwira AD

- Letnan Satu Pierre Tendean Ajudan/penumpang A.H. Nasution

- K.S. Tubun: Korban yang ditemukan tewas terkait peristiwa

- Ade Irma Suryani Nasution Putri bungsu Jenderal Abdul Haris Nasution yang tertembak dan meninggal beberapa hari kemudian

Beberapa korban di atas kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Revolusi oleh pemerintah Indonesia, antara lain Ahmad Yani, R. Suprapto, M.T. Haryono, S. Parman, D.I. Pandjaitan, Sutoyo Siswomiharjo, dan Pierre Tendean.

Keesokan harinya, Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) saat itu, mengambil alih situasi dan menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) berada di balik gerakan tersebut. Sejak saat itu, situasi nasional berubah drastis. PKI dibubarkan, ideologi komunisme dilarang, dan gelombang penangkapan serta kekerasan terhadap orang-orang yang dianggap terlibat menyebar ke berbagai daerah.

Berbagai sumber memperkirakan bahwa ratusan ribu orang menjadi korban, baik melalui pembunuhan, penahanan tanpa proses hukum, maupun pengasingan politik yang berlangsung puluhan tahun. Angka pastinya masih simpang siur hingga kini.

Narasi resmi yang berkembang selama Orde Baru menyebutkan bahwa PKI adalah dalang tunggal dari upaya kudeta ini. Narasi ini diperkuat lewat film dokumenter, pelajaran di sekolah, dan pidato-pidato kenegaraan. Namun, sejak era Reformasi, sejumlah sejarawan dan peneliti mulai mengajukan pertanyaan kritis.

Peneliti seperti John Roosa, dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal, serta laporan Cornell Paper oleh Ben Anderson dan Ruth McVey, menunjukkan bahwa dinamika di balik peristiwa ini sangat kompleks. Beberapa teori menyebut adanya konflik internal militer, ketegangan politik antara Presiden Soekarno dan TNI AD, bahkan dugaan intervensi asing di tengah ketegangan Perang Dingin.

PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL

Apa pun versi sejarah yang diyakini, ada beberapa pelajaran penting dari G30S/PKI yang perlu terus diingat

 

  1. Bahwa kekerasan atas nama ideologi membawa luka panjang yang sulit disembuhkan.
  2. Bahwa sejarah harus dipelajari secara jujur, terbuka, dan tidak dijadikan alat politik.
  3. Bahwa keadilan dan kemanusiaan harus selalu menjadi prinsip utama, bahkan dalam konflik sebesar apa pun.

Peringatan G30S/PKI bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kedamaian, menghargai perbedaan pandangan, dan menolak segala bentuk kekerasan politik.

Generasi muda hari ini mungkin tidak mengalami langsung peristiwa G30S/PKI. Namun, mereka tetap punya tanggung jawab untuk memahami sejarah secara utuh, tidak hanya dari satu sumber, dan tidak dengan prasangka.

Penting untuk membuka ruang diskusi yang sehat, membaca banyak referensi, mendengarkan suara para penyintas, dan mendorong negara untuk mengungkap kebenaran sejarah secara jujur bukan untuk mengungkit luka, tapi untuk menyembuhkannya.

Karena bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghormati pahlawannya, tapi juga berani menghadapi masa lalunya dengan kepala dingin dan hati terbuka.

G30S/PKI adalah pengingat bahwa sejarah tidak boleh dibungkam, dan bahwa kebenaran terkadang memerlukan waktu untuk muncul ke permukaan. Dalam dunia yang terus berubah, memahami sejarah secara kritis dan adil bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.

Semoga kita tidak hanya memperingati, tetapi juga belajar agar tragedi seperti ini tidak terulang di masa depan, dalam bentuk apa pun.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image