Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Munawar Khalil N

Mengubah Selera Pangan Kita

Eduaksi | 2022-03-09 15:22:22
Foto: dokumen pribadi

Pada sesi makan siang di sebuah kegiatan pemerintah daerah, makanan disajikan secara prasmanan. Para peserta berjajar rapih, saya ikut antri. Antrian berjalan sangat lambat. Rupanya para peserta kebingungan karena cara penyajian makanan berbeda. Biasanya nasi berada di bagian paling awal yang akan diambil. Kemudian lauk pauk, sayuran dan di ujung ada kerupuk dan buah sebagai pelengkap.

Namun, di prasmanan kali ini nasi ditempatkan di bagian paling akhir. Jadi peserta mengambil piring terlebih dahulu, lalu lauk pauk dan sayuran. Setelah itu ada umbi-umbian seperti singkong dan ubi jalar rebus. Baru kemudian, di ujung ada nasi. Banyak peserta yang kebingungan karena mencari nasi duluan. Mereka enggan mengambil lauk pauk sebelum ada nasi. Setelah diberitahu bahwa nasi ada di pojok tidak sedikit yang beranjak mengambil nasi terlebih dahulu. Akhirnya antrian agak sedikit kacau.

Penyelenggara acara sengaja menata prasmanan seperti itu sebagai pesan untuk mengurangi konsumsi nasi. Ubi jalar dan singkong sebagai alternatif sumber karbohidrat pun disajikan. Ini menjadi bagian dari gerakan diversifikasi pangan yang terus digalakkan pemerintah.

Diversifikasi pangan merupakan upaya untuk meragamkan pangan agar tidak bergantung pada satu atau dua komoditas pangan saja. Dalam hal ini, orang Indonesia masih bergantung pada beras sebagai pangan pokok.

Beras memang sudah sejak lama menjadi pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Belum kenyang jika belum makan nasi. Begitu ungkapan yang sering terdengar, menunjukkan bagaimana dominannya beras dalam pangan kita. Bahkan Indonesia masih menempati lima besar negara dengan tingkat konsumsi beras tertinggi di dunia (statista.com). Tingkat konsumsi beras ini harus diturunkan karena berdampak pada ketidakseimbangan konsumsi dan dinamika pertumbuhan penduduk.

Konsumsi beras yang tinggi membuat ketidakseimbangan pada menu makan. Konsumsi energi yang bersumber dari beras berada di 60,3%, masih di atas ambang ideal sebesar 50% (Pola Pangan Harapan 2021). Ketidakseimbangan ini akan membuat tubuh tidak menerima asupan pangan yang beragam.

Para ahli mengatakan konsumsi nasi dalam sehari sebaiknya tidak lebih dari 500 gram atau sekitar 5 centong nasi. Namun, kebanyakan orang Indonesia makan nasi tiga kali sehari yang tentu saja kemungkinan besar akan lebih dari 500 gram. Itupun ditambah dengan sumber karbohidrat lain dan kadang tidak disertai lauk pauk yang beragam.

Di sisi lain, pertambahan penduduk artinya penyediaan pangan juga harus bertambah. Bergantung pada beras sebagai pangan pokok akan membuat kita kesulitan, sebab produksi beras di dalam negeri berhadapan dengan berbagai tantangan seperti perubahan iklim. Jika tidak ada alternatif sumber pangan pokok lain, dikhawatirkan terjadi impor. Importasi ini kerap menjadi perdebatan di ruang publik yang berdampak pada stabilitas ekonomi bahkan politik.

Beragam pangan sumber karbohidrat yang tidak kalah dari beras tumbuh subur di negeri ini. Ada singkong, jagung, ubi jalar, kentang, talas, dan sagu. Jika semua sumber daya pangan tersebut dimanfaatkan, maka kita tidak perlu khawatir kekurangan pangan.

Tantangan Mengubah Selera

Mengubah selera pangan tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab pangan merupakan produk budaya yang secara turun temurun dikenalkan. Ketergantungan terhadap beras ini bukan hal baru. Sejarawan gastronomi Fadly Rahman (historia.id, 2021) mengatakan akar ketergantungan terhadap beras bisa dilacak sejak zaman kerajaan Mataram. Beras dipandang sebagai simbol keberhasilan raja dalam kepemimpinannya. Hingga pada masa Orde Baru program Revolusi Hijau menjadi salah satu keberhasilan pemerintahan Soeharto dalam swasembada beras.

Dari sini nampak bahwa selera pangan tidak terlepas dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Karena itu, untuk mengubah masyarakat agar tidak bergantung hanya kepada beras sebagai pangan pokok harus didukung oleh kebijakan pemerintah.

Sejak pandemi melanda, Kementerian Pertanian menggaungkan kembali gerakan diversifikasi pangan sebagai salah satu strategi dalam menjaga ketersediaan pangan. Pemerintah tidak ingin warning FAO bahwa akan terjadi krisis pangan global akibat pandemi terjadi. Sebab pandemi nyatanya telah mengganggu distribusi dan perdagangan pangan antarnegara.

Kita bisa relatif tidak terganggu dengan dinamika distribusi pangan global manakala sumber daya pangan yang beragam di dalam negeri dapat dikelola dengan baik pada tiga aspek; ketersediaan dan keterjangkauannya. Dari sisi ketersediaan, produksi pangan lokal tersebut harus ditingkatkan dengan memperluas areal tanam, mendorong petani untuk berproduksi. Sejalan dengan itu, juga diusahakan kemudahan akses pangan tersebut baik secara ekonomi, fisik, maupun sosial.

Di sisi lain, mengubah selera ini berkaitan erat dengan perubahan mindset mengenai pangan lokal. Karena itu, harus diupayakan melalui berbagai sosialisasi, edukasi, dan komunikasi yang baik.

Mengubah selera pangan harus dimulai dari pembiasaan sejak kecil bahkan sejak dalam kandungan. Pakar Nutrisi dari RSCM dr. Damayanti R. Sjarif mengatakan asupan makanan ibu hamil memengaruhi janin (republika.co.id 2021). Anak yang susah makan atau pilih-pilih makanan dipengaruhi oleh kebiasaan sang ibu pada saat hamil dan menyusui. Hal ini disebabkan karena sang anak mengonsumsi makanan yang sama dengan ibunya. Karena itu, Ibu hamil harus diupayakan mendapat asupan pangan beragam dan bergizi. Pangan lokal menjadi pilihan yang baik agar janin tumbuh sehat serta mampu mengenali lebih awal cita rasa ragam pangan yang ada di negerinya.

Anak-anak harus sejak dini dikenalkan aneka ragam pangan lokal. Peran orang tua baik ibu maupun ayah sangat berpengaruh terhadap selera anak dalam mengonsumsi pangan. Selain itu, pemerintah perlu mendorong upaya pengenalan pangan lokal ini. Pemberian makanan tambahan berupa pangan lokal untuk anak usia SD, materi muatan pangan lokal dalam kurikulum pendidikan, hingga literasi pangan lokal melalui berbagai media menjadi pilihan yang rasional dalam mengenalkan pangan lokal sejak dini. Dengan begitu, kita berharap selera pangan masyarakat akan menjadi lebih baik ke depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image