KRIS Sebagai Langkah untuk Menyongsong Layanan Kesehatan Inklusif di Indonesia
Kebijakan | 2025-09-30 08:42:56
Data dari WHO (World Health Organization) 2025, menyebutkan bahwa pada tahun 2021, sekitar 4,5 miliar penduduk di seluruh dunia tidak sepenuhnya mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan dasar. Selain itu pada tahun 2019, sebanyak 2 miliar penduduk menghadapi masalah finansial, dengan rincian 1,3 miliar penduduk mengalami kemiskinan relatif dan 344 juta mengalami kemiskinan ekstrem. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh WHO dalam upaya mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) atau Cakupan Kesehatan Universal, sehingga menjamin semua individu untuk dapat mengakses layanan kesehatan yang bermutu tanpa terhalang oleh status ekonomi. Layanan kesehatan yang dimaksud yaitu mencakup layanan kesehatan promotif sampai layanan kesehatan paliatif.
Di Indonesia sendiri, salah satu upaya untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang layak bagi masyarakat adalah dengan menghadirkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyedia asuransi kesehatan. Salah satu kebijakan BPJS tahun 2014 yang menuai kontroversi adalah adanya tingkatan kelas sebagai pembeda iuran perbulan yang harus diberikan dan berhubungan dengan fasilitas kamar rawat inap yang didapatkan. Hal ini tentunya menyalahi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Akibatnya, timbul kritik dan stigma dari masyarakat yang akhirnya membuat pemerintah merombak kebijakan tersebut.
Kebijakan baru yang diinisiasikan oleh pemerintah adalah adanya program Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang bertujuan untuk menerapkan kesetaraan akses fasilitas layanan kesehatan bagi seluruh tingkatan peserta BPJS yang dapat menjamin keselamatan dan kenyamanan pasien melalui kelas perawatan yang adil dan merata. Berdasarkan data dari Kemenkes, dari 3.176 rumah sakit skala nasional, sudah ada 3.060 rumah sakit yang akan mengimplementasikan KRIS. Dari 3.060 rumah sakit, per tanggal 30 April 2024, 2.558 rumah sakit sudah siap untuk mengimplementasikan KRIS berdasarkan 12 kriteria standar layanan. Salah satu contoh hasil penerapannya adalah ruang perawatan kelas 3 yang dulunya memiliki 8-12 kamar tidur dengan kamar mandi terpisah dan berada di luar, disesuaikan sehingga menjadi maksimal 4 kamar tidur dalam satu ruang perawatan dengan kamar mandi di masing-masing ruangan. Kebijakan seperti ini diyakini mampu untuk meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan layanan kesehatan, sehingga pemanfaatan sumber daya menjadi lebih tepat sasaran dan dapat memberikan manfaat bagi semua peserta JKN.
Dengan adanya KRIS, tidak hanya menyamaratakan kelas, tetapi juga menetapkan standar minimum mutu ruang perawatan berdasarkan pada 12 kriteria standar layanan. Diantaranya adalah ruang rawat inap maksimal terdiri dari 4 tempat tidur dengan jarak antar tempat tidur minimal 1,5 meter, ventilasi dan pencahayaan yang memenuhi standar, memiliki kamar mandi di tiap ruang rawat inap, serta suhu ruangan yang nyaman dan terstandarisasi. Dengan adanya standar ini, pasien akan mendapatkan lingkungan rawat inap yang nyaman, bersih, dan aman yang mana sangat berpengaruh terhadap proses pemulihan pasien itu sendiri.
Sebelum pengimplementasian KRIS, peserta BPJS yang membayar iuran lebih tinggi memiliki akses ke pelayanan ruang rawat inap yang lebih nyaman dan memadai, sementara peserta kelas 3 mendapatkan fasilitas ruang rawat inap yang lebih terbatas. Dengan adanya KRIS dan ditetapkannya kriteria standar layanan, semua pihak rumah sakit wajib menyediakan ruang rawat inap yang memenuhi standar minimal. Selain itu, KRIS juga dapat menghapus batasan sosial yang selama ini membedakan antar pasien, yang mana pasien kelas 3 seringkali mengalami diskriminasi dari segi penerimaan fasilitas ataupun perlakuan sosial.
Adanya kebijakan KRIS juga sangat memudahkan pihak rumah sakit dalam pengelolaan administratif. Dengan adanya kelas-kelas seperti dulu, dapat menyulitkan proses penjadwalan kamar, penagihan biaya, hingga pelaporan administratif. Melalui penerapan sistem KRIS, seluruh ruang rawat inap diharuskan memenuhi standar yang ada dan seragam, sehingga proses administrasi menjadi lebih sederhana, cepat, dan berisiko kecil mengalami kesalahan. Kebijakan ini juga turut meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan tenaga kerja dan logistik di rumah sakit.
Tidak hanya itu, kebijakan KRIS juga mendorong adanya pembangunan infrastruktur kesehatan. Hal ini dapat membantu membuka peluang pemerataan dalam merenovasi ruang rawat inap sehingga dapat sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, terutama di daerah-daerah terpencil. Pemerintah juga memiliki landasan yang kuat untuk memberikan bantuan berupa anggaran maupun insentif kepada semua rumah sakit yang sudah berupaya melakukan penyesuaian dengan kebijakan ini.
Oleh karena itu, kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) merupakan bentuk transformasi sistem layanan kesehatan Indonesia yang mendukung tercapainya Universal Health Coverage (UHC). Dengan menghapus sistem kelas pada peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), KRIS menghadirkan standar pelayanan ruang rawat inap yang adil, setara, dan bermutu bagi seluruh kalangan masyarakat, tanpa memandang besaran iuran yang mereka bayarkan. Dengan mengimplementasikan 12 kriteria standar ruang perawatan dalam kebijakan ini, tidak meningkatkan kenyamanan dan keselamatan pasien, melainkan juga mengurangi diskrimasi, menyederhanakan proses administrasi rumah sakit, serta mendorong pemerataan infrastruktur kesehatan. KRIS menjadi langkah konkret pemerintah dalam memperkuat sistem kesehatan nasional yang inklusif, efisien, dan berkeadilan sosial.
Penulis: Berliandira Razita, Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
