Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Donny Syofyan

Paradoks Fantasie: Menjelajahi Batasan Imajinasi dan Pengetahuan dalam Roman de la Rose

Sastra | 2025-09-30 06:58:12

Donny Syofyan

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Tulisan ini mengulas secara mendalam istilah fantasie dalam Roman de la Rose karya Jean de Meun, seorang penulis abad ke-13 yang terkenal karena memperkenalkan banyak istilah ilmiah ke dalam bahasa Prancis. Fantasie (imajinasi) adalah salah satu neologisme yang ia gunakan, berasal dari De anima karya Aristoteles dan komentarnya di Abad Pertengahan, khususnya oleh Avicenna dan Aquinas.

Fantasie didefinisikan sebagai fakultas yang menjembatani persepsi indrawi (sense perception) dan kognisi intelektual, serta antara tubuh dan jiwa. Saya berupaya menganalisis istilah fantasie secara leksikal dan menggunakannya sebagai titik awal untuk mengeksplorasi pertimbangan epistemologis dan hermeneutik yang lebih luas dalam puisi Jean de Meun.

Jean de Meun menempatkan fantasie dalam ranah ilusi, kesalahan indrawi, dan patologi. Namun, secara paradoks, ia juga menunjukkan kepercayaan pada kemampuan manusia untuk mengetahui sesuatu melalui penglihatan, kemampuan penulis untuk menggunakan gambar, dan kemampuan pembaca untuk menafsirkannya. Penulis berusaha menjelaskan sikap paradoks ini dengan menempatkannya dalam konteks intelektual abad ke-13.

Istilah fantasie dan san commun (akal sehat) adalah istilah akademis yang terlambat masuk ke dalam bahasa Prancis. Meskipun sulit untuk dipastikan sebagai neologisme tanpa penelitian mendalam, kedua kata ini hanya muncul sesekali dalam konteks filosofis selama periode tersebut. Claude Roussel bahkan meragukan kemunculan fantasie sebelumnya dan menghubungkannya dengan terminologi skolastik. Menurutnya, kebangkitan pesat istilah ini pada paruh kedua abad ke-15 kemungkinan bertepatan dengan penyebaran pemikiran Thomis, yang memberi peran spesifik pada imajinasi dalam proses kognitif, sejalan dengan inspirasi Aristoteliannya. Jean de Meun mengambil bahan-bahan Aristotelian yang beredar di Universitas Paris antara tahun 1260-an dan 1280-an.

Pada abad ke-13, refleksi tentang fantasie dan akal sehat semakin memberi tempat pada persepsi dan pengalaman indrawi dalam proses perolehan pengetahuan. Fantasie Aristotelian menempati posisi batas antara yang masuk akal (sensible) dan yang dapat dipahami (intelligible), campur tangan dalam proses abstraksi data indrawi. Aristoteles membahas fantasie dalam buku 3 De anima, mendefinisikannya sebagai "gerakan yang dihasilkan oleh tindakan sensasi". Ia juga menyebutkan "akal sehat" (common sense) yang menyatukan data dari panca indra, yang dianggap sebagai indra internal pertama.

Filosof Persia abad ke-11, Avicenna, menempatkan akal sehat di otak dan mengklasifikasikan lima fakultas: akal sehat, imajinasi (retentive and formative), imajinatif (cogitative), estimatif, dan memori. Averroes, filsuf Andalusian abad ke-12, menghapus "duplikasi" ini dan menyajikan model empat fakultas: akal sehat, imajinatif atau formatif, cogitative, dan memori. Thomas Aquinas menyajikan sistem yang berbeda, mencoba menyatukan sistem Agustinus dan Aristoteles.

Istilah ymaginacion juga muncul dalam Roman de la Rose, yang diyakini sebagai kemunculan paling awal dalam bahasa Prancis yang merujuk pada fakultas untuk menciptakan gambar. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan efek ilusi visual yang menipu mata.

Empat kemunculan fantasie dan akal sehat dalam puisi ini terjadi dalam pidato Nature, yang membahas prescience ilahi, fenomena optik, dan pengalaman ilusi seperti mimpi dan pelangi. Kata fantasie pertama kali muncul dalam kaitannya dengan gambar yang dihasilkan oleh cermin, di mana Nature mempertanyakan apakah gambar tersebut memiliki keberadaan eksternal atau hanya di dalam "fantasie". Kemunculan kedua berkaitan dengan mimpi, di mana Nature membandingkan "pengembaraan malam" dengan pengalaman mimpi sehari-hari yang disebabkan oleh fantasie.

Dua kemunculan san commun terkait dengan kasus sleepwalking (tidur berjalan), yang dianggap sebagai kondisi di mana indra tubuh berfungsi secara independen dari akal sehat. Nature menolak gagasan campur tangan iblis dan menjelaskan fenomena ini sebagai akibat dari akal sehat yang tertidur. Jean de Meun tampaknya membedakan akal sehat dari fantasie, menunjukkan pengetahuan yang lebih tepat tentang terminologi skolastik.

Kosakata dalam Roman de la Rose tidak membedakan antara produk dari penglihatan jasmani dan penglihatan internal. Sebaliknya, Jean de Meun menghubungkan pengalaman patologis, optik, asmara, mimpi, dan artistik dengan menerapkan medan semantik yang luas dari visi/imajinasi/fantasi pada semuanya. Ia secara sengaja memanfaatkan ambiguitas istilah yang sudah ada.

Fantasie menjadi ide menyeluruh yang mencakup pertanyaan-pertanyaan yang bagi kita saat ini terlihat terpisah-pisah, seperti gangguan persepsi visual dan ambiguitas produk fantasie. Jean de Meun menyatukan berbagai tradisi filosofis dan sastra untuk mengilustrasikan kebingungan fantasie dalam bidang optik, patologi, mimpi, cinta, dan seni. Ia menyoroti risiko kebingungan antara keberadaan mental internal dan keberadaan eksternal, yang berulang kali ia tekankan dalam kaitannya dengan cermin, mimpi, atau khayalan erotis.

Sama seperti Roger Bacon, Jean de Meun menyiratkan bahwa penilaian rasional terhadap data indrawi sangat penting. Namun, ia menolak untuk memberikan jawaban definitif tentang status ontologis mimpi, menjaga ambiguitas melalui praeteritio (pura-pura tidak membahas).

Fantasie terhubung dengan alegori, terutama melalui konsep enargeia, sebuah prosedur retoris yang menyajikan deskripsi verbal yang kuat dan evokatif untuk membangkitkan visi imajiner yang tampak hidup. Jean de Meun menyamakan fantasie mimpi yang menciptakan efek kehadiran, dengan fantasie puitis.

Roman de la Rose menggunakan alegori untuk mendramatisasi proses psikologis dan intelektual. Figur seperti Pygmalion menjadi ilustrasi bahaya fantasie - mencampuradukkan visi mental atau artistik dengan realitas, dan gambar dengan keberadaan. Pygmalion juga menunjukkan sindrom melankolis, yang gejalanya mirip dengan yang dijelaskan dalam Problemata pseudo-Aristoteles. Melalui Pygmalion, Jean de Meun menginterogasi batas-batas kreasi artistik dan puisinya sendiri.

Namun, Jean de Meun juga memuji penggunaan fantasie dengan menempatkan pembelaan alegori di mulut Raison (Akal Sehat), yang menekankan nilai didaktik dari gambar, fabel, dan "integumen" figuratif. Fantasie memberikan dasar filosofis bagi alegori, sejalan dengan pemikiran Aristoteles bahwa tidak ada pemikiran tanpa gambar. Operasi intelektual berawal dari sensasi, dan fantasie berperan dalam pengembangan hal-hal yang dapat dipahami.

Jean de Meun secara sengaja menolak untuk memberikan "glosa" (penjelasan) yang jelas untuk puisinya, sebaliknya mengalihkan tanggung jawab interpretasi kepada pembaca. Ini menunjukkan bahwa ia mungkin mempromosikan "filosofi perspektivisme," di mana sudut pandang bersifat relatif. Ironi yang ia gunakan melayani baik kesenangan maupun keuntungan. Ironi ini juga merusak model anagogis alegori dan menonjolkan kenikmatan bermain.

Jean de Meun menggunakan imajinasi alegoris untuk menyoroti bahayanya sendiri, sebuah paradoks yang mendorong seluruh puisi melampaui interpretasi dan penutup epistemologis apa pun. Visi ideal, yang digambarkan dengan mata Lynx yang menembus, mewakili hermeneutika ideal dan bentuk pengetahuan tertinggi. Namun, ironisnya, metafora Lynx sendiri adalah hasil dari "kesalahan bacaan" sejarah yang spektakuler dari karya Boethius. Ini menegaskan bahwa pembaca akan selalu terkurung dalam satu perspektif pada waktu tertentu, dan makna Roman de la Rose adalah masalah opini, di mana setiap orang memahaminya sesuai dengan fantaisie mereka sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image