Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Almira Ayu Estiningrum

Tragedi Mutilasi Pacet Mojokerto: Potret Kelam Emosi Brutal dan Lemahnya Kontrol Sosial

Info Terkini | 2025-09-29 17:40:46

Sabtu pagi, 6 September 2025, warga Desa Sendi Pacet Mojokerto, dikejutkan dengan temuan potongan-potongan tubuh manusia di sebuah jurang yang cukup dalam, sekitar lima belas meter. Setelah melakukan penyisiran, polisi menemukan lebih banyak potongan tubuh lainnya yang tersebar hingga seratus meter dari lokasi pertama ditemukan. Jumlah potongan yang ditemukan berjumlah lebih dari enam puluh, terdiri dari kulit, otot, rambut, bahkan beberapa bagian yang hanya menyisakan tulang (BeritaSatu, 2025a).

Berita tentang penemuan mengerikan ini segera menyebar luas. Media lokal dan nasional, baik layar kaca, cetak dan online tak putus-putus memberitakannya. Bahkan, saat itu, platform media sosial ada yg live. Aparat kepolisian bergerak cepat dengan menurunkan tim K9 untuk melakukan pelacakan. Tim forensik dengan sigap mengidentifikasi potongan-potongan korban itu.

Kasus mutilasi yang terjadi ini, menjadi salah satu peristiwa kriminal yang paling menghebohkan di tahun ini. Kejadian memilukan tersebut melibatkan sepasang kekasih muda yang semestinya menjalani hubungan penuh kasih, tetapi berakhir dramatis dengan tindakan pembunuhan yang sangat sadis. Seorang wanita berusia 25 tahun ditemukan tewas di tangan pasangannya sendiri, yang kemudian memutilasi tubuhnya menjadi puluhan bagian.

Peristiwa ini bukan hanya menimbulkan ketakutan yang mendalam, tetapi juga mengangkat berbagai persoalan mengenai lemahnya pengendalian emosi dan minimnya kontrol sosial. Lalu, bagaimana sebuah pertengkaran dalam hubungan pribadi bisa berubah menjadi tindakan brutal seperti itu? Apa yang membuat seseorang mampu memperlakukan pasangannya bak benda mati tanpa perasaan?

Dari Asmara Menjadi Tragedi Emosi Brutal

Identitas korban dengan cepat berhasil terungkap. Dari berbagai sumber dapat diketahui, wanita muda yang tewas diketahui bernama TAS, berumur 25 tahun. Sumber polisi mengonfirmasi bahwa pelakunya adalah kekasihnya sendiri, Alvi Maulana, lelaki 24 tahun asal Surabaya. Keduanya diketahui mempunyai jalinan asmara yang cukup dekat, bahkan disebut telah menikah secara siri.

Hasil penyelidikan polisi mengungkapkan, bahwa pembunuhan berlangsung di kamar kos milik Alvi di Surabaya. Pelaku menggunakan pisau dapur dan palu untuk menghabisi nyawa korban. Setelah itu, jasad TAS dipotong menjadi banyak bagian, dimasukkan ke dalam kantong plastik, dan dibuang di kawasan hutan di Desa Sendi Kecamatan Pacet.

Pihak kepolisian menegaskan bahwa tindakan mutilasi ini bukanlah perbuatan spontan. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan, bahwa tindakan itu sudah direncanakan sejak awal, mulai dari mempersiapkan alat, menyembunyikan bukti, hingga memilih lokasi pembuangan yang jauh dan sepi. Oleh karena itu, Alvi dikenakan pasal pembunuhan dengan perencanaan matang.

Atas kejadian itu, Alvi mengaku bahwa dia membunuh korban karena emosi yang memuncak akibat sikap korban yang dianggap kasar dan sering memicu pertengkaran. Namun, alasan ini tidak cukup untuk menjelaskan tindakan mutilasi brutal yang dilakukan. Dari sudut pandang psikologi kriminal, tindakan memotong tubuh korban hingga terpisah-pisah menunjukkan adanya proses dehumanisasi ekstrem. Pelaku tidak lagi memandang korban sebagai manusia melainkan hanya sebagai objek tanpa perasaan. Tindakan tersebut menunjukkan hilangnya empati dan kendali moral yang sangat parah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kondisi mental pelaku.

Selain emosi, faktor kesempatan juga berperan penting. Lokasi kos yang relatif privat memberi pelaku ruang untuk melakukan aksinya tanpa diketahui orang lain. Kemudian memilih hutan di Pacet sebagai tempat pembuangan membuktikan usaha untuk menghilangkan jejak kejahatan.

Pendekatan Kriminologi

Terdapat beberapa teori kriminologi yang bisa menjelaskan insiden ini. Teori strain menunjukkan bahwa tekanan emosional yang tak terselesaikan dapat menjadi pemicu perilaku kriminal. Dalam konteks ini, pertengkaran dan rasa kesal berkepanjangan dari hubungan yang bermasalah mungkin menjadi pemicu utama.

Sementara teori kontrol sosial menyoroti lemahnya pengawasan moral dan norma di lingkungan sosial. Hubungan yang tidak memiliki ikatan formal dan dukungan sosial cenderung tanpa pengawasan, sehingga konflik berkembang tanpa ada penengah.

Teori belajar sosial juga relevan, di mana pelaku mungkin pernah melihat kekerasan sebagai metode penyelesaian masalah, meski hal ini masih butuh konfirmasi lebih lanjut. Secara keseluruhan, kasus ini adalah hasil dari ledakan emosi, kondisi psikologis yang rapuh, dan situasi yang memungkinkan tindakan kekerasan terjadi.

Dampak dan Refleksi

Kasus ini meninggalkan luka mendalam tidak hanya bagi keluarga korban, tetapi juga masyarakat di sekitar Pacet dan bahkan daerah-daerah lain di negeri ini. Rasa takut meresap ke dalam kehidupan sehari-hari warga, sementara penghuni kos dan komunitas lain mulai merasa cemas terhadap keamanan mereka. Peristiwa ini menimbulkan kesadaran bahwa konflik pribadi yang tidak ditangani dengan tepat dapat berakibat pada bahaya besar.

Media yang memberitakan kasus ini secara masif dengan menonjolkan potongan tubuh secara detail memperkuat rasa panik di masyarakat. Meskipun informasi tersebut penting untuk transparansi, efeknya malah menimbulkan keresahan. Di sisi lain, tragedi ini memicu diskusi serius mengenai moralitas, sistem hukum, dan kebutuhan pencegahan agar kasus serupa tidak terulang.

Kasus mutilasi di Pacet ini juga memberi pelajaran penting mengenai bahayanya konflik dalam hubungan jika tidak diiringi dengan kemampuan mengatur emosi. Pendidikan emosional harus diperkuat sejak dini, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat luas.

Selain itu, akses layanan psikologis juga perlu diperluas dan dipermudah. Banyak pelaku kekerasan yang terjadi akibat ketidaktahuan pelaku dalam mengelola stres dan tekanan batin. Pemerintah dan lembaga sosial diharapkan menyediakan layanan konseling yang terjangkau khususnya untuk pasangan muda.

Lingkungan sosial juga berperan besar. Tanda-tanda hubungan yang berpotensi berbahaya seperti kekerasan verbal atau pertengkaran berulang seharusnya bisa dikenali lingkungan sekitar untuk memberikan intervensi dini. Kepedulian sosial dapat menjadi benteng untuk mencegah konflik menjadi kekerasan.

Dari sisi hukum, aparat patut diapresiasi atas kecepatan penanganan kasus ini. Pelaku berhasil diamankan hanya sehari setelah penemuan potongan tubuh. Namun, penegakan hukum tidak boleh berhenti pada pemberian hukuman. Perlu ada upaya pencegahan dan edukasi supaya peristiwa serupa tidak terjadi lagi.

Tragedi mutilasi di Pacet, Mojokerto akan terus diingat sebagai salah satu kasus kriminal paling mengerikan di Indonesia. Kasus ini bukan semata soal pelaku dan korban, tapi juga soal bagaimana masyarakat mampu mengelola konflik, menjaga hubungan, dan menciptakan rasa aman bersama.

Jika peristiwa ini hanya dipandang sebagai kejadian kriminal biasa, maka tidak ada pelajaran yang bisa diambil. Namun, jika dijadikan bahan pembelajaran, tragedi ini dapat mendorong penguatan kontrol sosial, peningkatan literasi emosi, dan perbaikan sistem pencegahan kekerasan sebagai bekal untuk masa depan yang lebih aman dan harmonis.

Almira Ayu Estiningrum

Mahasiswa Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Tahun 2025.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image