Sprin 2749 dan Babak Baru Reformasi Polri: Mengembalikan Marwah Penegakan Hukum
Hukum | 2025-09-29 16:28:05Di tengah arus demokratisasi yang terus menguat, Polri memegang peran vital dalam menjaga stabilitas keamanan, menegakkan hukum, sekaligus melindungi hak-hak warga negara. Namun, dua dekade lebih pasca-Reformasi 1998, tuntutan masyarakat terhadap Polri semakin kompleks: profesionalisme, akuntabilitas, pelayanan publik yang humanis, dan integritas tanpa kompromi.
Pertanyaannya, apakah reformasi Polri yang sudah berjalan selama ini benar-benar menjawab ekspektasi publik dan cita-cita demokrasi?
Langkah Presiden Prabowo dan Komitmen Kapolri
Pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui Surat Perintah (Sprin) Nomor: Sprin/2749/IX/TUK.2.1./2025 yang ditandatangani pada 17 September 2025 bukanlah kebijakan rutin administratif semata. Langkah ini merupakan tindak lanjut dari inisiatif Presiden Prabowo Subianto yang sebelumnya menunjuk Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Reformasi Polri.
Dari perspektif politik-hukum, langkah Presiden Prabowo menunjukkan dua hal penting. Pertama, adanya kesadaran bahwa reformasi Polri adalah agenda strategis negara, bukan hanya urusan internal Polri. Keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum yang berkeadilan adalah fondasi utama demokrasi. Tanpa Polri yang profesional dan berintegritas, cita-cita demokrasi dan negara hukum akan mudah runtuh.
Kedua, pembentukan tim ini menegaskan kemauan politik (political will) Presiden dan Kapolri untuk mempercepat transformasi kelembagaan. Selama dua dekade pasca-Reformasi 1998, Polri telah mengalami banyak perubahan struktural. Namun, publik masih melihat adanya kesenjangan antara perbaikan di tingkat regulasi dan implementasi di lapangan. Sprin 2749 menjadi simbol bahwa pemerintah ingin menghadirkan reformasi yang tidak sekadar kosmetik, tetapi menyentuh kultur organisasi, integritas aparat, hingga pola pikir kepemimpinan Polri.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa Polri telah melakukan banyak perbaikan. Namun, seperti kata bijak, bahwa “Perbaikan sejati bukan hanya mengganti yang rusak, tetapi mengubah cara pandang agar kesalahan yang sama tidak berulang.”
Artinya, Tim Transformasi Reformasi Polri tidak boleh berhenti pada penyusunan laporan atau rekomendasi teknis, tetapi harus menghasilkan peta jalan (roadmap) reformasi yang konkret: mulai dari mekanisme rekrutmen, pola promosi dan mutasi berbasis merit, digitalisasi pelayanan publik, hingga penguatan akuntabilitas internal dan eksternal.
Dengan demikian, Sprin 2749 menjadi titik awal perubahan kelembagaan Polri yang bersifat holistik: menggabungkan agenda moral, kultural, struktural, sekaligus politik, demi memulihkan marwah Polri di mata rakyat dan dunia internasional.
Banyak Polisi Baik, Tapi Tertutupi Oknum Bermasalah
Di tengah kritik keras terhadap Polri, ada satu realitas yang sering luput dari sorotan: jumlah polisi baik di negeri ini jauh lebih banyak daripada segelintir oknum yang bermasalah. Namun, ironi muncul karena opini publik kerap terbentuk oleh peristiwa yang viral, bukan yang diam-diam bekerja dengan hati.
Di era digital, perilaku oknum aparat yang melakukan pelanggaran dengan cepat menyebar di media sosial, membentuk persepsi bahwa citra Polri identik dengan penyalahgunaan wewenang, pungli, atau kekerasan berlebihan. Sementara itu, kisah polisi yang tulus melayani rakyat sering kali tidak mendapat panggung yang sama. Inilah bias perhatian publik yang harus diakui dan diatasi.
Padahal, tak sedikit anggota Polri yang bekerja jauh di luar sorotan kamera. Lihatlah IPDA Purnomo dari Polres Lamongan yang dengan penuh kasih merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) melalui Yayasan Berkas Bersinar Abadi. Ada Bripka Sigit Prabowo dari Satlantas Jakarta Barat yang tanpa ragu menggendong pasien menuju RS Harapan Kita, dan Bripka Herinalum Ompusunggu yang berkali-kali membantu korban kecelakaan bahkan rela merogoh kocek pribadi untuk meringankan beban warga.
Mereka adalah wajah sejati Polri wajah yang sering tenggelam di balik riuh rendah pemberitaan negatif. Jika kisah-kisah seperti ini diangkat lebih luas, publik akan melihat bahwa Polri tidak hanya hadir sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pelayan kemanusiaan.
Di sinilah letak tantangan besar bagi Polri: bagaimana mengubah ekosistem kelembagaan agar polisi baik bukan sekadar kisah heroik yang bersifat individual, tetapi menjadi kultur organisasi yang sistemik. Reformasi tidak hanya soal menindak tegas oknum nakal, tetapi juga soal menciptakan sistem penghargaan (reward system) yang mendorong lahirnya lebih banyak polisi berintegritas dan humanis.
Seperti kata bijak, “Kebaikan tanpa panggung akan kalah oleh keburukan yang gaduh.” Maka, transformasi Polri harus memastikan bahwa panggung pelayanan dan kemanusiaan selalu lebih besar daripada panggung pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pelayanan Publik: Wajah Nyata Polri
Di mata masyarakat, wajah Polri bukan hanya terlihat dari operasi penegakan hukum berskala besar atau pengungkapan kasus kriminalitas yang kompleks. Wajah sejati Polri justru hadir dalam interaksi sehari-hari: saat warga mengurus SIM, saat lalu lintas diatur di tengah hujan deras, atau ketika seorang polisi menggendong anak sakit menuju rumah sakit. Di titik inilah rakyat menilai, apakah Polri hadir sebagai pengayom yang humanis, atau sekadar aparat yang kaku dan birokratis.
Secara filosofis, pelayanan publik adalah jembatan antara kekuasaan negara dan martabat manusia. Di satu sisi, Polri memegang kewenangan represif: menyelidiki, menangkap, menindak pelanggaran hukum. Namun di sisi lain, Polri juga memegang tanggung jawab moral: memastikan bahwa setiap warga diperlakukan dengan hormat, bukan semata sebagai subjek hukum, tetapi sebagai manusia yang memiliki hak dan martabat.
Inilah mengapa pelayanan publik menjadi barometer utama kepercayaan masyarakat. Sebab, “keadilan yang jauh di menara hukum akan terasa hampa bila di jalanan rakyat melihat ketidakadilan dalam pelayanan.”
Tantangan bagi Polri adalah menghadirkan pelayanan yang transparan, cepat, dan humanis di tengah ekspektasi masyarakat yang semakin tinggi. Digitalisasi pelayanan bisa mengurangi potensi pungli, tetapi teknologi tanpa empati akan melahirkan birokrasi yang dingin dan tak berjiwa. Sebaliknya, pelayanan yang ramah, jujur, dan tanpa diskriminasi akan meneguhkan bahwa Polri bukan hanya mesin penegak hukum, melainkan sahabat rakyat dalam suka dan duka.
Seorang filsuf pernah berkata, “Negara hadir bukan hanya untuk ditaati, tetapi untuk dipercaya.” Kepercayaan itu tidak lahir dari senjata, melainkan dari pengalaman konkret warga saat berhadapan dengan aparat negara. Di sinilah pelayanan publik Polri bukan sekadar urusan teknis, melainkan fondasi moral bagi demokrasi dan negara hukum.
Teladan Hoegeng: Integritas Sebagai Nafas Reformasi
Dalam sejarah Polri, Hoegeng Iman Santoso tidak hanya dikenal sebagai Kapolri yang tegas dan sederhana, tetapi juga sebagai simbol integritas yang melampaui zamannya. Kisahnya tentang menolak suap, hidup bersahaja, dan keberpihakan pada rakyat kecil telah menjadi semacam legenda moral di tengah ingatan kolektif bangsa.
Namun, teladan Hoegeng tidak boleh berhenti sebagai romantisme sejarah yang sekadar diperingati setiap tahun. Ia harus dihidupkan sebagai roh reformasi: sebuah pengingat bahwa integritas adalah fondasi kepercayaan publik.
Dalam filsafat hukum, terdapat pandangan klasik yang menyebutkan, “Fiat justitia ruat caelum” tegakkan keadilan sekalipun langit runtuh. Prinsip ini menegaskan bahwa integritas dalam penegakan hukum bukan pilihan, melainkan keharusan moral. Tanpa integritas, hukum akan kehilangan rohnya, dan penegak hukum hanya akan menjadi birokrat kekuasaan tanpa legitimasi moral.
Hoegeng menunjukkan bahwa kepemimpinan yang bersih mampu menembus sekat-sekat politik dan godaan kekuasaan. Di tengah arus pragmatisme dan tekanan kepentingan, ia berdiri teguh, seakan mengingatkan bahwa “hukum bukan sekadar teks, tetapi nurani yang hidup dalam tindakan.”
Oleh karena itu, penghargaan seperti Hoegeng Awards tidak boleh sekadar seremoni. Ia harus menjadi cermin moral bagi setiap insan Bhayangkara bahwa menjadi polisi berarti menjadi teladan integritas, bukan hanya di kantor, tetapi juga di jalanan, di hadapan rakyat yang menuntut keadilan.
Jika integritas Hoegeng diinternalisasi dalam setiap kebijakan dan tindakan, reformasi Polri tidak hanya akan melahirkan struktur yang profesional, tetapi juga jiwa kelembagaan yang memuliakan hukum dan kemanusiaan sekaligus.
Reformasi Sistemik: Meritokrasi dan Demokrasi
Reformasi Polri tidak bisa berhenti pada simbol, pidato, atau seremoni belaka. Ia membutuhkan perubahan sistemik yang menyentuh akar persoalan: rekrutmen, promosi, pendidikan, hingga mekanisme akuntabilitas yang transparan dan adil. Di sinilah prinsip meritokrasi bahwa jabatan dan penghargaan ditentukan oleh kemampuan, integritas, dan prestasi, bukan kedekatan politik atau patronase harus menjadi fondasi utama.
Dalam filsafat politik modern, meritokrasi adalah lawan dari feodalisme dan nepotisme. Ia berpijak pada gagasan bahwa kekuasaan tanpa legitimasi moral akan rapuh, karena hanya menghasilkan aparatur yang setia pada atasan, bukan pada hukum dan kepentingan publik.
Sementara itu, demokrasi menuntut bahwa setiap keputusan publik, termasuk di tubuh Polri, berakar pada transparansi dan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, meritokrasi memberikan kualitas kepemimpinan, sedangkan demokrasi memastikan legitimasi sosial. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama dalam mencetak Polri yang profesional dan berintegritas.
Sebagaimana diingatkan filsuf hukum Gustav Radbruch, “Hukum tanpa keadilan bukanlah hukum, melainkan kekuasaan belaka.” Prinsip ini relevan bagi Polri: reformasi struktural tanpa keadilan substantif hanya akan melahirkan mesin birokrasi yang dingin, bukan lembaga penegak hukum yang memanusiakan rakyatnya.
Karena itu, peta jalan reformasi Polri harus memuat langkah-langkah konkrit: digitalisasi pelayanan, evaluasi berkala kinerja personel, pendidikan etik yang berkelanjutan, serta pengawasan eksternal yang independen. Tanpa itu semua, meritokrasi akan terjebak pada jargon, dan demokrasi akan tinggal dalam retorika belaka.
Reformasi sistemik sejatinya bukan hanya tentang mengubah cara Polri bekerja, tetapi juga mengubah cara Polri dipersepsikan: dari aparatur yang dilihat dengan rasa takut, menjadi institusi yang dihormati karena integritas dan profesionalismenya.
Revisi UU Polri: Fondasi Hukum Reformasi
Transformasi Polri tidak boleh hanya berlabuh pada semangat moral dan kemauan politik sesaat. Reformasi sejati membutuhkan fondasi hukum yang kuat agar perubahan tidak terhenti di tengah jalan atau bergantung pada figur pemimpin tertentu. Di sinilah urgensi revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi sangat mendesak.
Undang-undang saat ini, meskipun pernah menjadi tonggak penting pasca-Reformasi 1998, belum sepenuhnya mengantisipasi kompleksitas tantangan Polri di era demokrasi digital dan keterbukaan informasi. Kebutuhan akan pengawasan eksternal yang independen, sistem kepegawaian berbasis meritokrasi, serta mekanisme akuntabilitas yang transparan dan berkeadilan semakin mendesak untuk dipertegas dalam norma hukum.
Filsuf hukum Lon L. Fuller pernah menekankan bahwa hukum yang baik bukan hanya soal aturan yang tertulis, tetapi juga bagaimana aturan itu menjaga moralitas dan tujuan publik. Dalam konteks Polri, revisi UU harus memastikan bahwa kekuasaan kepolisian dibatasi sekaligus diarahkan dibatasi agar tidak tergelincir menjadi alat politik kekuasaan, dan diarahkan agar selalu berpihak pada keadilan, demokrasi, serta hak asasi manusia.
Revisi ini juga menjadi penting untuk mencegah “paradoks reformasi”: di satu sisi menuntut profesionalisme Polri, namun di sisi lain tidak menyediakan perangkat hukum yang memadai untuk menjamin transformasi kelembagaan secara berkelanjutan. Tanpa landasan hukum yang kokoh, reformasi berisiko menjadi retorika musiman, bukan mandat institusional yang mengikat semua pihak.
Sebagaimana adagium klasik fiat justitia ruat caelum, keadilan harus ditegakkan walaupun langit runtuh, revisi UU Polri adalah perintah moral dan politik untuk menegakkan keadilan melalui instrumen hukum yang jelas, tegas, dan berpihak pada rakyat. Hanya dengan demikian, Polri dapat bertransformasi menjadi institusi yang modern, profesional, dan humanis, bukan sekadar penegak aturan, melainkan penjaga nurani hukum bangsa.
Era kepemimpinan Presiden Prabowo dan komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membuka babak baru bagi transformasi Polri. Keseriusan politik ditandai dengan pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri melalui Surat Perintah Kapolri Nomor: Sprin/2749/IX/TUK.2.1./2025, menegaskan bahwa reformasi Polri bukan sekadar jargon, melainkan agenda strategis negara.
Namun, reformasi sejati tidak hanya bergantung pada dokumen kebijakan atau instruksi politik. Ia memerlukan kehendak moral, konsistensi kelembagaan, dan keberanian untuk mengoreksi diri. Di titik inilah, Polri dihadapkan pada pilihan historis: apakah tetap terjebak dalam reformasi yang bersifat administratif dan seremonial, atau melangkah menuju transformasi mendasar yang menyentuh budaya, sistem, hingga cara pandang aparatnya terhadap kekuasaan dan rakyat.
Harapan baru bagi Polri sesungguhnya terletak pada keberanian untuk menanamkan integritas sebagai nafas kelembagaan, menjadikan pelayanan publik bukan sekadar tugas administratif, melainkan panggilan moral yang berakar pada hati nurani. Di saat yang sama, profesionalisme berbasis meritokrasi harus ditegakkan agar jabatan dan kewenangan lahir dari kompetensi serta rekam jejak yang bersih, bukan karena patronase politik atau kedekatan pribadi semata. Lebih jauh lagi, netralitas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus menjadi kompas moral agar Polri tetap menjadi pengayom rakyat, bukan sekadar perpanjangan tangan kekuasaan atau kepentingan ekonomi.
Dengan meneladani integritas Hoegeng, memantapkan reformasi berbasis hukum melalui revisi UU Polri, dan membangun budaya pelayanan publik yang humanis, Polri dapat memulihkan kepercayaan yang sempat terkikis dan mengembalikan marwahnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Sebagaimana diingatkan filsuf hukum Hans Kelsen, “Keadilan bukan hanya soal kepastian hukum, tetapi tentang memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.” Polri yang adil, profesional, dan berintegritas adalah fondasi bagi tegaknya demokrasi dan negara hukum yang beradab.
Dan pada akhirnya, sejarah hanya akan mengenang satu hal: Apakah Polri berani menatap cermin dirinya sendiri dan memilih jalan yang benar, meski jalan itu terjal, demi sebuah cita-cita abadi: keadilan yang hidup dalam hati rakyat, bukan sekadar di lembaran undang-undang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
