Ketika Dunia Maya lebih Riuh dari Dunia Nyata
Guru Menulis | 2025-09-29 13:24:39Keramaian Semu
Perasaan terhubung di media sosial tidak serta-merta menghilangkan rasa sepi. Ada orang yang tampak begitu aktif di dunia maya, seperti : mengunggah foto, memberi komentar di sana-sini, atau sekadar menekan tombol “like”, namun dalam kehidupan nyata justru jarang memiliki percakapan mendalam dengan orang-orang di sekitarnya.
Notifikasi yang terus berdenting memang bisa memberi kesan ramai, tetapi sering kali itu hanya keramaian semu. Hati manusia tetap membutuhkan interaksi yang lebih hangat: berbicara langsung, mendengar nada suara, melihat ekspresi wajah, atau sekadar duduk bersama sambil berbagi cerita. Misalnya, seseorang bisa saja memiliki ratusan teman di media sosial, tetapi saat ia merasa sedih atau membutuhkan bahu untuk bersandar, belum tentu ada satu pun yang benar-benar hadir menemaninya.
Inilah yang menunjukkan bahwa kehadiran dunia maya tidak bisa sepenuhnya menggantikan kebutuhan dasar manusia akan hubungan yang nyata. Interaksi digital bisa jadi pelengkap, tetapi bukan pengganti. Karena itu, penting bagi kita untuk menyeimbangkan keduanya dengan cara, menggunakan media sosial secukupnya, namun tetap menjaga hubungan tatap muka yang lebih mendalam agar tidak terjebak dalam kesepian yang tersembunyi di balik layar.
Kejadian unik ini menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mereka melakukan riset berjudul "Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual . Menurut teori hiperrealitas, representasi digital kerap dianggap lebih 'nyata' daripada realitas itu sendiri, sehingga emosi yang dibentuk media dapat memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang.
Dampak Buruk Industri Kapitalis
Masyarakat di era digital banyak yang merasa kesepian di tengah hiruk-pikuk bermedia sosial. Fenomena ini kian terasa pada Gen Z yang sering disebut sebagai generasi paling rentan merasa kesepian, insecure, bahkan mengalami berbagai masalah kesehatan mental. Kondisi tersebut tentu tidak bisa hanya disederhanakan sebagai akibat kurangnya literasi digital atau lemahnya manajemen penggunaan gawai. Ada faktor-faktor lain yang lebih dalam, seperti rapuhnya hubungan sosial nyata, berkurangnya ruang interaksi tatap muka, hingga tekanan gaya hidup yang dibentuk oleh dunia maya.
Fakta hari ini, Industri kapitalis telah membuat arus di media sosial menimbulkan banyak dampak buruk, salah satunya adalah tumbuhnya sikap asosial. Masyarakat semakin sulit bergaul di dunia nyata karena lebih nyaman bersembunyi di balik layar gawai. Bahkan, di tengah keluarga sendiri, pola hubungan antaranggota terasa jauh dan dingin. Momen kebersamaan yang seharusnya hangat sering terpecah oleh perhatian yang lebih tertuju pada layar, bukan pada orang-orang terdekat
Sikap asosial dan perasaan kesepian akan berdampak buruk dan merugikan umat. Terlebih bagi generasi muda yang pada dasarnya memiliki potensi besar untuk menghasilkan karya-karya produktif, akan menjadi generasi yang lemah tak berdaya. Kepedulian terhadap persoalan umat juga tak akan mampu dipotret oleh masyarakat yang terjebak dalam kesepian dirinya.
Islam Solusi Nyata
Masyarakat harus menyadari bahwa pengaruh media sosial yang tidak dikelola dengan bijak bisa berdampak serius. Alih-alih mempererat hubungan, justru banyak orang yang makin terjebak dalam sikap asosial dan merasa kesepian di tengah keramaian. Interaksi yang seharusnya hangat di dunia nyata bergeser menjadi sekadar "like" dan komentar singkat di dunia maya.
Fenomena ini bukan hanya persoalan individu, tetapi juga membawa kerugian bagi umat secara kolektif. Rasa kebersamaan, kepedulian, dan kekuatan ukhuwah yang semestinya menjadi fondasi masyarakat perlahan terkikis oleh budaya digital yang serba instan dan dangkal.
Maka sebagai muslim, kita mempunyai panduan yang jelas dalam bersikap. Masyarakat harus menjadikan Islam sebagai identitas utama dalam kehidupan, bukan sekadar simbol, melainkan sebagai pedoman nyata dalam setiap aspek. Tanpa itu, umat akan terus menjadi korban sistem sekuler-liberal yang hanya melahirkan krisis demi krisis, baik dalam keluarga, sosial, maupun negara.
Peran negara sangat penting dalam mengendalikan pemanfaatan dunia digital agar tidak hanya menjadi ruang hiburan semata, tetapi juga sarana yang mendorong lahirnya kreativitas dan produktivitas. Terutama bagi generasi muda, negara seharusnya memberikan arahan, regulasi, serta fasilitas yang mampu menjadikan mereka tetap fokus berkontribusi dalam menyelesaikan problematika umat dan membangun peradaban yang lebih baik.
Wallahu a’lam bisshawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
