Tradisi Busuk Perpeloncoan: Saatnya Kita Katakan Tidak
Info Terkini | 2025-09-28 23:23:01
Setiap tahun, orientasi mahasiswa baru di berbagai kampus selalu diwarnai cerita kelam. Di balik euforia penyambutan, terselip kisah pemaksaan, pelecehan, bahkan kekerasan yang dibungkus dengan istilah “tradisi”. Kasus perpeloncoan terbaru di Universitas Sriwijaya menjadi pengingat pahit bahwa budaya busuk ini belum benar-benar berakhir.
Video yang memperlihatkan mahasiswa baru dipaksa melakukan tindakan merendahkan martabat bukan sekadar tontonan memalukan, tetapi juga tamparan keras bagi dunia pendidikan tinggi kita. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang aman untuk tumbuh dan belajar, justru dipelintir menjadi arena uji kekuasaan senior atas junior. Pertanyaannya: sampai kapan kekerasan ini akan terus dilanggengkan atas nama persaudaraan?Warisan membusuk kerap dibenarkan dengan alasan “menguji mental” atau “membangun kekeluargaan”. Namun faktanya, yang diwariskan hanyalah trauma dan rasa takut. Inilah warisan membusuk yang terus berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ironisnya, banyak yang menganggap praktik semacam ini sebagai bagian normal dari kehidupan kampus.Padahal, tidak ada satu pun nilai pendidikan yang lahir dari pemaksaan, ancaman, atau pelecehan. Kekerasan hanya menciptakan hierarki semu: senior merasa berkuasa, junior dipaksa tunduk.
Hubungan semacam ini bukanlah persaudaraan, melainkan bentuk penindasan yang dilestarikan dengan berbagai dalih.Saat mahasiswa berani bicara di tengah kelamnya peristiwa ini, ada secercah harapan. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsri memilih jalan berbeda: mereka bersuara menolak perpeloncoan, membentuk tim advokasi, bahkan menyediakan pendampingan psikologis bagi korban. Sikap ini patut diapresiasi karena menandai perubahan penting: budaya diam mulai digantikan oleh budaya peduli.Selama ini, diam sering kali dianggap lebih aman. Tetapi sesungguhnya, diam justru memperpanjang umur kekerasan.
Ketika mahasiswa berani menyuarakan penolakan, rantai kekerasan yang diwariskan itu mulai retak. Inilah langkah awal yang harus ditiru oleh organisasi mahasiswa di seluruh Indonesia.Luka yang tak terlihat tidak hanya meninggalkan memar di tubuh, tetapi juga luka yang lebih dalam: trauma psikologis. Korban mungkin tetap hadir di kelas, tetap tersenyum di hadapan teman-temannya, tetapi di dalam hati menyimpan rasa malu, cemas, atau kehilangan percaya diri.
Luka seperti ini tidak sembuh dengan sekadar permintaan maaf atau sanksi administratif.Karena itu, pemulihan yang utuh harus ditempatkan sebagai prioritas. Kampus perlu menyediakan layanan konseling, mekanisme pelaporan yang aman, serta komitmen nyata melindungi korban. Tanpa itu, kekerasan akan terus berulang, hanya dengan wajah yang berbeda.Introspeksi Perguruan TinggiKasus di Unsri adalah alarm keras bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Sudah saatnya kampus melakukan introspeksi mendalam.
Apakah prosedur orientasi mahasiswa baru benar-benar berisi edukasi, atau masih disusupi praktik merendahkan? Apakah mekanisme pengaduan bisa diakses tanpa rasa takut, atau justru membuat korban semakin terpojok?Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebenarnya sudah mengeluarkan aturan pencegahan kekerasan di lingkungan kampus. Namun regulasi hanya akan menjadi kertas kosong jika tidak ditegakkan dengan konsisten.
Tanggung jawab ada di tangan rektorat, organisasi mahasiswa, dosen, dan tentu saja para mahasiswa itu sendiri.Sebagai mahasiswa baru, saya percaya hubungan senior-junior seharusnya dibangun di atas penghargaan, kepercayaan, dan keikhlasan. Persaudaraan sejati tidak lahir dari rasa takut, tetapi dari solidaritas. Jika benar kita ingin mencetak generasi intelektual yang kritis dan peduli, maka tidak ada tempat bagi kekerasan di dalamnya.Kampus adalah ruang untuk melahirkan manusia merdeka, bukan tempat membentuk manusia tunduk pada tradisi busuk.
Sudah saatnya kita bersikap tegas: kekerasan, dalam bentuk apa pun, adalah musuh pendidikan.Saatnya Berkata “Cukup” dan Insiden di Unsri seharusnya menjadi momentum bersama. Dari sana, suara penolakan harus bergema ke seluruh penjuru negeri: cukup sudah kekerasan di kampus. Kita tidak boleh lagi bersembunyi di balik alasan tradisi atau kekeluargaan.Pendidikan adalah hak setiap mahasiswa. Dan setiap hak itu menuntut adanya rasa aman. Tradisi busuk perpeloncoan harus berakhir sekarang juga—bukan besok, bukan nanti, tetapi hari ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
