Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desti Ritdamaya

Apakah Persyaratan Menjadi Wakil Rakyat dalam Sistem Islam?

Agama | 2025-09-28 20:52:36

Apakah Persyaratan menjadi Wakil Rakyat dalam Sistem Islam?

Oleh : Desti Ritdamaya

Praktisi Pendidikan

DPR terus menjadi pusat perhatian publik. Tak hanya karena minim empati pada kesulitan ekonomi rakyat yang memicu gelombang demo besar-besaran dan berujung kerusuhan. Tapi juga kompetensi anggota DPR yang terus dikritisi. Lantaran tak nampak kualitas negarawan, profesionalitas dan tanggung jawab terhadap amanah. Yang ada hanya tuntutan gaji, tunjangan dan fasilitas selangit.

Wajar ada pihak yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan anggota DPR dalam UU Pemilu. Selama ini persyaratan pendidikan menjadi anggota DPR hanya SMA. Pun realita dalam Pemilu hari ini, popularitas lebih diandalkan untuk mendulang suara dibandingkan kompetensi. Alhasil kerap terjadi akrobat dan kontroversi legislasi dari Senayan terkait kepentingan dan pengurusan rakyat.

Yang miris ada anggota DPRD yang berstatus buron dari kasus pembunuhan dan belum diadili sama sekali. Aturan UU Pemilu memang tak mensyaratkan calon anggota DPR menyertakan SKCK dalam pendaftarannya. Saat Pemilu 2024 lalu, ICW mengungkap ada puluhan mantan narapidana yang mendaftar menjadi anggota DPR. Patut dipertanyakan apa sebenarnya standar moral dari para wakil rakyat. Wajar ada sarkasme yang mengemuka, DPR adalah sarang mafia politik.

Wewenang DPR Berbeda dengan Majelis Umat

DPR merupakan institusi perwakilan rakyat dalam sistem demokrasi (kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Wewenang DPR meliputi fungsi legislasi, pengawasan, perwakilan aspirasi rakyat dan anggaran. Wewenang ini dianggap sebagai amanah rakyat. Telaah secara mendalam, sistem seperti ini berasas pada sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sejarah mencatat asas sekulerisme ini lahir dari rahim peradaban Barat.

Trauma peradaban Barat pada agama berdampak luas dan panjang. Karena penjajahan Barat menancapkan dan meninggalkan jejak sekulerisme di berbagai negeri Islam. Sekulerisme mengharuskan kedaulatan dan kekuasaan inheren dalam tubuh rakyat. UU dan kebijakan negara nihil agama. Jelas sekulerisme bertentangan dengan akidah Islam yang mengharuskan muslim mengimani Allah SWT sebagai pengatur kehidupan dengan syariat Islam.

Dalam sistem Islam ada lembaga perwakilan rakyat yaitu majelis umat. Tapi wewenangnya berbeda dengan sistem demokrasi. Wewenangnya hanya dalam fungsi pengawasan (muhasabah) dan syura (musyawarah). Muhasabah penguasa yang menyimpang dan menyelisihi hukum syara’ merupakan bagian syari’at Islam yang agung. Karena hal tersebut tanda sayang dan kepedulian sesama muslim. Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ

Artinya : Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman (HR. Muslim).

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Artinya : Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim (HR Abu Daud).

Rasulullah SAW acapkali syura bersama shahabat. Beberapa shahabat sering dimintai pendapatnya seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Salman al farisi, Hudzaifah dan sebagainya. Bahkan sepeninggal Rasulullah SAW syura dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Adanya syura sesuai firman Allah SWT :

وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ

Artinya : dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting) (QS. Ali 'Imran ayat 159).

Pembahasan syura berupa tasyri’ (hukum syara’ yang berdalil dzhanni), ta’rif atau persoalan yang membutuhkan pemikiran mendalam, keilmuan dan kompetensi tertentu, serta perkara/amal praktis yang tak membutuhkan pemikiran mendalam. Dalam bidang tasyri’ aktifitas syura menstandarkan pada kekuatan dalil. Dalam bidang ta’rif atau persoalan yang membutuhkan pemikiran mendalam, keilmuan dan kompetensi tertentu aktifitas syura menstandarkan pada kebenaran mendekati realitas dari ahlinya. Dalam perkara/amal praktis yang tak membutuhkan pemikiran mendalam aktifitas syura menstandarkan pada suara mayoritas.

Tak ada wewenang majelis umat dalam fungsi legislasi. Karena yang berhak membuat hukum (legislasi) hanyalah Allah SWT sesuai firmanNya :

اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗيَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ

Artinya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (QS. Al-An'am ayat 57).

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

Artinya : Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (QS. Al Maidah ayat 50).

Tak ada fungsi anggaran pada majelis umat dalam sistem Islam. Karena pengaturan keuangan negara harus sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Kepala negara (khalifah) dalam Islam memiliki hak tabanni (adopsi) untuk menyusun keuangan sesuai hukum syara’. Tanpa harus mendapat persetujuan dari wakil rakyat.

Persyaratan Anggota Majelis Umat

Terkait fungsi pengawasan (muhasabah) dan syura dalam majelis umat harus dirinci terlebih dahulu. Untuk fungsi muhasabah, syarat keanggotaan majelis umat yaitu baligh, berakal, muslim dan non muslim. Yang terpenting mereka melakukan nahi munkar pada penguasa.

Untuk fungsi syura dipersyaratkan keanggotaan majelis umat harus baligh, berakal dan muslim saja. Untuk syura’ berupa tasyri’ berarti dipersyaratkan muslim yang faqih dalam syariat Islam, menguasai bahasa Arab, Al-Qur'an, Hadis, serta prinsip-prinsip ushul fiqh. Afdhalnya seorang mujtahid. Untuk syura’ berupa ta’rif atau persoalan yang membutuhkan pemikiran mendalam, keilmuan dan kompetensi tertentu dipersyaratkan muslim yang berpendidikan tinggi sesuai bidangnya. Tak boleh muslim yang berpendidikan rendah yang tak ahli di bidangnya. Dalam perkara/amal praktis yang tak membutuhkan pemikiran mendalam dipersyaratkan muslim, baligh dan berakal saja, yang penting pendapatnya untuk kemashlahatan Islam dan umat Islam.

Spirit untuk menjadi anggota majelis umat dalam sistem Islam adalah keimanan pada Allah SWT. Karena dengan landasan iman, muslim berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dan memberikan manfaat untuk Islam dan umat Islam. Berarti akhlaq dan moral anggota majelis umat terjaga sesuai syari’at Islam. Tak ada keinginan untuk memperkaya diri, karena anggota majelis umat tak mendapat gaji rutin sama sekali apalagi tunjangan dan fasilitas. Hanya mendapat santunan dari Baitul mal dalam rangka menunaikan fungsinya saja.

Wallahu a’lam bish-shawabi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image