Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ismail Suardi Wekke

Menaikkan Skor SINTA, Lalu Apa?

Didaktika | 2025-09-28 12:52:24
Ekosistem Pendidikan Tinggi Indonesia (Dok ISW)

Ismail Suardi Wekke, Sekretariat Nasional Dosen Produktif Indonesia

Prolog: Kisah di Balik Angka Kredit

Di jantung hiruk pikuk kampus, SINTA telah menjelma menjadi detak jantung baru bagi para akademisi. Bukan lagi sekadar portal daring, Science and Technology Index (SINTA) telah menjadi arena pacu, mengukur kinerja peneliti, penulis, dan institusi di Indonesia. Dari waktu ke waktu, obrolan di ruang dosen seringkali diselingi bisikan angka: "Skor SINTA-ku sudah naik," atau "Jurnal itu targetnya SINTA 2."

Tekanan untuk mempublikasikan kian menjadi-jadi. Dosen dan peneliti berpacu dengan waktu, dengan tenggat akreditasi, dan dengan tuntutan kenaikan pangkat. Mereka mengubah hasil riset yang berdarah-darah, yang sejatinya bertujuan menjawab masalah bangsa, menjadi selembar naskah yang harus lolos peer-review ketat—semua demi satu tujuan: mendapatkan indeks dan sitasi di SINTA, yang berarti poin berharga dalam sistem meritokrasi akademik.

Pagi buta hingga larut malam, meja kerja disulap menjadi medan perang data dan referensi. Setiap kutipan, setiap kolaborasi, setiap partisipasi dalam konferensi, dihitung. Rasa lelah terbayar lunas ketika notifikasi persetujuan publikasi muncul, diikuti dengan pembaruan profil SINTA yang menampilkan angka-angka yang memuaskan—sebuah simbol pengakuan atas jerih payah intelektual yang panjang.

Institusi pun tak mau kalah. Ranking SINTA institusi menjadi lambang gengsi, alat pemasaran, dan indikator kesuksesan yang dipamerkan di berbagai forum. Dekan dan rektor memantau pergerakan angka ini dengan saksama, menyediakan insentif, dan terkadang, memberikan tekanan tak terucapkan kepada para staf untuk "menyumbang" skor. SINTA, tanpa disadari, telah mengubah budaya akademik, dari sekadar proses pembelajaran menjadi perlombaan angka.

Namun, di tengah euforia pencapaian skor yang meningkat, sebuah pertanyaan kontemplatif mulai menggema di benak beberapa akademisi yang lebih tua dan bijaksana: "Menaikkan SINTA, lalu apa?"

SINTA: Dari Alat Ukur Menjadi Tujuan Utama

SINTA adalah sebuah alat ukur yang krusial, dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, untuk memetakan kualitas dan kuantitas publikasi ilmiah di Indonesia. Fungsinya sangat vital: meningkatkan visibilitas penelitian nasional, mendorong perbaikan mutu jurnal melalui proses akreditasi (SINTA 1 hingga 6), dan menjadi basis evaluasi untuk karir dosen, pendanaan riset, hingga akreditasi institusi. SINTA telah berhasil menciptakan standar minimal dan memacu produktivitas.

Namun, di sinilah letak dilemanya: ketika sebuah alat ukur menjadi terlalu dominan, ia berpotensi menggeser tujuan utama dari aktivitas akademik itu sendiri. Tujuan fundamental dari riset adalah kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan, masyarakat, dan kebijakan publik. Mengejar skor SINTA, yang berfokus pada luaran (output) berupa publikasi dan sitasi, tidak selalu sejalan dengan tujuan tersebut.

Distorsi Budaya dan Bahaya 'Sitasi Artifisial'

Fokus berlebihan pada skor SINTA telah memunculkan beberapa distorsi yang mengancam integritas dan relevansi riset:

1. Kuantitas Melawan Kualitas dan Relevansi

Akademisi seringkali dipaksa memilih topik penelitian yang "aman" dan cepat terbit, atau yang berpotensi tinggi untuk cepat dikutip (high-citation potential), seperti tema-tema populer yang tren secara internasional. Hal ini berisiko mengesampingkan penelitian yang sifatnya fundamental, jangka panjang, atau relevan secara lokal bagi solusi masalah bangsa. Riset yang lambat berbuah, namun mendalam, terpaksa dikalahkan oleh riset yang cepat terbit demi angka.

2. Fenomena 'Kolaborasi Transaksional'

Ketergantungan skor SINTA pada kolaborasi dan sitasi melahirkan fenomena 'kolaborasi transaksional'. Peneliti bekerjasama bukan murni atas dasar sinergi keilmuan untuk memecahkan masalah kompleks, tetapi untuk saling mengutip dan membagi angka kredit. Kolaborasi adalah jantung riset, tetapi jika didorong oleh motif 'peningkatan skor' semata, nilai dan integritas ilmiahnya dapat tereduksi.

3. Tekanan dan Stres Profesional

Perlombaan skor ini secara tidak langsung menciptakan lingkungan kerja yang toksik di beberapa institusi. Dosen pemula, khususnya, menghadapi tekanan luar biasa untuk segera mencapai SINTA Score tinggi, yang seringkali bertabrakan dengan beban mengajar, pengabdian masyarakat, dan kebutuhan akan waktu untuk refleksi mendalam dalam riset.

Refleksi: Mengembalikan Kompas Intelektual

Lalu, setelah skor SINTA tinggi dicapai, apa yang seharusnya menjadi fokus berikutnya? Kontemplasi ini membawa kita kembali pada hakikat Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.

1. Dampak sebagai Indikator Sejati

Skor SINTA harus dipandang sebagai indikator kinerja awal, bukan tujuan akhir. Kontemplasi yang mendalam harus beralih dari "Bagaimana cara menaikkan skor SINTA?" menjadi “Bagaimana riset yang terindeks SINTA ini benar-benar berdampak?”

Dampak di sini bersifat multidimensi. Apakah temuan riset diadopsi oleh industri? Apakah ia diimplementasikan dalam kebijakan pemerintah daerah? Apakah riset tersebut berhasil memberdayakan masyarakat di komunitas tertentu? Keberhasilan tertinggi seorang akademisi seharusnya diukur dari kedalaman dan keluasan jejak kontribusi intelektualnya, bukan hanya dari tingginya angka di portal daring.

2. Penguatan Ekosistem Riset yang Sehat

Institusi perlu menggeser fokus dari 'kuantitas publikasi' menjadi 'kualitas ekosistem riset'. Ini mencakup: mendukung peneliti untuk mempublikasikan di jurnal yang benar-benar bereputasi dan relevan, meningkatkan dukungan dana untuk riset fundamental, serta menghargai bentuk luaran lain yang memiliki dampak sosial-ekonomi, seperti paten, kebijakan, atau purwarupa yang inovatif.

Penutup: SINTA dalam Ekosistem Pendidikan

Menaikkan SINTA adalah langkah awal yang baik dan merupakan keharusan untuk menertibkan serta meningkatkan standar akademik di Indonesia. Namun, jika SINTA menjadi tiran yang mengendalikan setiap keputusan riset, maka kita akan menciptakan generasi akademisi yang pandai bermain angka, tetapi lupa untuk menjadi pemikir orisinal dan pemecah masalah. SINTA adalah gerbang, bukan tujuan. Tujuan sejati kita adalah kualitas dan relevansi penelitian yang mencerahkan bangsa, hari ini dan di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image