MBG: Mengapa Guru yang 'Buntung' dan Vendor yang 'Untung'?
Politik | 2025-09-26 10:08:25
Beban Tambahan di Balik Lonceng Bergema
Profesi guru adalah salah satu pilar utama dalam pembangunan bangsa. Namun, di tengah tuntutan kualitas pendidikan yang semakin tinggi, guru seringkali dibebani dengan berbagai tugas administratif yang memakan waktu dan energi.
Salah satu beban tambahan yang belakangan ini menjadi sorotan dalam program MBG, atau Makan Siang Bergizi. MBG merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas murid-siswa melalui pemberian makan siang.
Tentu, tujuan ini sangat mulia. Namun, dalam pelaksanaannya, guru ketika harus turut mengelola program ini justru menjadi "beban tambahan" yang tidak proporsional.
Beban yang membengkak dan Vendor yang 'Untung'
Guru diwajibkan untuk membagikan makanan, mengumpulkan kembali nampam, dan menghitungnya. Sampai kemudian menyerahkan kembali ke vendor.
Proses ini seringkali memakan waktu di luar jam kerja mereka. Padahal, waktu dan energi tersebut seharusnya bisa digunakan untuk menyusun materi pembelajaran yang lebih inovatif, melakukan pendekatan personal dengan siswa, atau sekadar beristirahat untuk mengembalikan kebugaran.
Di balik beban guru yang membengkak, ada pihak-pihak yang justru meraih keuntungan besar. Mereka adalah vendor atau penyedia makan siang yang terlibat dalam program MBG.
Vendor hanya mengantarkan makanan sampai ke sekolah, dan setelahnya hanya akan kembali mengambil nampan makanan yang sudah disiapkan guru.
Tentu saja, jasa guru diapresiasi dengan kata gratis. Fenomena ini menciptakan protes. Dimana vendor-vendor ini meraup untung, sementara guru bekerja dengan bukan bagian dari tugas mereka.
Paradoks yang Merugikan Pendidikan
Kondisi ini menciptakan paradoks yang merugikan dunia pendidikan. Di satu sisi, pemerintah berupaya meningkatkan kualitas pendidikan. Di sisi lain, guru justru terbebani secara tenaga dan mental.
Fokus mereka beralih dari mendidik siswa menjadi menyelesaikan tugas SPPG. Kecuali kalau MBG dijadikan integral dalam kurikulum dan menjadi program pendidikan karakter. Nyatanya, sejauh ini tidak ada rancangan itu disampaikan ke publik.
Kondisi ini dapat memicu burnout atau kejenuhan kerja pada guru, yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada kualitas pembelajaran.
Penutup: Sukses MBG, Sukses Pendidikan
Pemerintah perlu meninjau kembali implementasi program MBG. Merdeka Belajar seharusnya benar-benar memerdekakan guru, bukan justru membelenggu mereka.
Penyederhanaan birokrasi, penyediaan fasilitas yang memadai, dan peninjauan ulang peran vendor adalah langkah-langkah yang perlu segera diambil. Sehingga, guru bisa kembali fokus pada tugas utamanya: mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas, bukan sekadar menjadi "robot" yang dibebani proyek yang dikelola vendor.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
