Faktor Cacatnya Penafsiran Alquran dan Contohnya
Khazanah | 2025-09-25 20:16:33
Oleh: Omair | Artikel: 15
Kamis, 25/09/2023
Pagi ini, saya membaca sejarah perkembangan dakhîl dan sebab-sebabnya di kitab ad-Dakhîl fi at-Tafsîr karya Prof. Dr. Ibrahim Khalifah, yang disertai contoh penafsiran yang cacat.
Latar belakang kemunculan dakhîl atau penafsiran yang cacat, ternyata, berawal dari niat yang buruk; fanatisme terhadap warisan akidah nenek moyang; dan mengikuti hawa nafsu.
Tercatat bahwa kaum musyrik Quraisy, termasuk kalangan yang pertama kali menyebarkan keragu-raguan tentang al-Qur'an. Mereka membawa 2 tujuan besar. Tujuannya jelas sekali:
Yaitu, mendukung penyembahan patung untuk dipuja. Kedua: menjatuhkan otoritas al-Qur'an dengan memperlihatkan kontradiksi antar ayat-ayatnya sehingga bisa jadi bukti bahwa al-Qur'an bukan dari Allah SWT.
Di antara bahasan yang diulas oleh al-Qur'an adalah seputar patung-patung yang tidak berakal dan para penyembahnya dari kalangan musyrik Arab yang tidak mau berfikir.
Ketika Allah SWT menurunkan surat al-Anbiya', ayat 98 - 100. Orang musyrik Arab menafsirkan al-Qur'an dengan hawa nafsunya. Demi mencapai tujuannya. Ayat itu berbunyi:
( إِنَّكُمۡ وَمَا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنتُمۡ لَهَا وَٰرِدُونَ )
"Sungguh, kamu (orang kafir) dan 'apa' yang kamu sembah selain Allah, "adalah bahan bakar Jahannam". Kamu (pasti) masuk ke dalamnya." [QS. al-Anbiya': 98]
Pada ayat itu, orang musyrik Arab menafsirkan: kata "ma" (ما) pada ayat (إِنَّكُمۡ وَمَا تَعۡبُدُونَ), yang diartikan: "apapun", mereka memaknai bahwa kata "ma" di situ memberikan makna umum. "Apapun itu".
Seolah mereka ingin mengatakan: "segala hal yang disembah, baik dari jenis makhluk yang berakal dan tidak, termasuk hamba Allah yang disucikan, seperti malaikat dan para Nabi yang disembah. Semua akan jadi bahan bakar Jahannam".
Penafsiran di atas, tentu tidak benar. Keliru. Itu termasuk dakhîl fi tafsîr alias penafsiran yang cacat terhadap al-Qur'an. Tersebab:
PERTAMA: Orang musyrik Arab lupa bahwa kata "ma" (ما) itu diperuntukkan khusus untuk sesuatu yang tidak berakal, seperti ikan, batu. Sedangkan malaikat dan para Nabi adalah hamba Allah yang berakal dan punya sifat sempurna.
KEDUA: Dalam banyak ayat, Allah meyebutkan malaikat dan para Nabi punya tempat kembali yang baik, yaitu surga. Bagaimana mungkin tempat kembali mereka itu neraka Jahannam? Tentu ini kontradiksi.
KETIGA: Jika dilihat dari sisi dilalah an-nash atau makna teksnya. Kata "ma" (ما) pada ayat itu, memang terkesan memberikan makna umum, yang mencakup makhluk yang berakal dan tidak.
Namun, pada ayat setelahnya: al-Anbiya' ayat 101, Allah SWT berfirman: "Sungguh orang-orang yang ada sejak dulu, bagi mereka, ada ketetapan baik dari Kami. Mereka itu yang dijauhkan dari neraka."
Kehadiran surat al-Anbiya' ayat 101, justru mengkhususkan dan membatasi makna ayat sebelumnya: ayat 98. Maknanya: "kecuali orang-orang sholeh yang telah ditetapkan masuk surga, sedangkan setan tetap masuk neraka".
KEEMPAT: Surat al-Anbiya' ayat 98 turun untuk meluruskan orang musyrik Quraisy yang menyembah patung. Maka kata "ma" (ما) di situ tidak umum, dan yang dimaksud itu adalah "setan".
Setan itulah yang disembah. Ia yang memerintahkan dan senang bila manusia menyembahnya. Seperti firman-Nya: "Wahai Ayahku! Janganlah engkau menyembah setan". [QS. Maryam: 44]
Faktanya yang disembah itu patung. Bukan "setan". Dan, sebenarnya, setan itu punya akal, tapi karena sikap ingkarnya, mereka dianggap seperti benda mati. Seperti patung. Maka tersebutlah kata "ma" (ما).
Jadi, jejak penafsiran yang cacat atau dakhîl sudah ada sejak masa turunnya al-Qur'an. Muncul dari kalangan orang Arab asli. Yang mereka sangat faham dengan bahasa al-Qur'an. Hanya karena nafsunya mereka buta kebenaran. (Omair)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
